...🍁Apa kabar dengan jarak dan waktu? Saat rindu menyapa, baru Aku sadar bahwa dua hal tersebut sangat berharga.🍁...
Hara.
Aku adalah orang yang sudah terbiasa dengan jadwal, rencana dan sistem. Bekerja sebagai asisten pribadi membuatku bersahabat dengan kedisiplinan. Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa rencana, sudah terbiasa dengan jadwal harian, mingguan bahkan bulanan.
Oleh karena itu, tak pernah aku membuang waktu percuma, time is money. Bagiku satu detik saja sangat berarti, tidak akan kulewatkan begitu saja secara percuma. Karena bisa saja aku kehilangan kesempatan pada detik terakhir.
Selama aku tinggal di rumah bapak, prinsipku ini tidak lantas pudar. Justru makin kupegang teguh. Aku banyak belajar dari bapak, mbak Nabila, mas Akmal juga si kecil Naufal. Mereka adalah orang-orang yang memegang prinsip bahwa waktu tidak boleh terbuang peecuma.
“Bersyukurlah karena kita masih diberi badan sehat dan waktu luang, sehingga masih bisa melakukan apa saja,” kata mas Akmal tempo hari, saat sedang membantuku berkemas.
Pekerjaan yang diamanatkan Reyfan kepadaku sudah selesai. Aku harus kembali ke Jakarta, kembali pada pekerjaanku semula. Berkutat dengan jadwal meeting, laporan-laporan dan semua urusan perusahaan yang menjemukan.
Padahal aku sudah terlanjur betah di Jogja, terlanjur terbiasa dengan suasana rumah sederhana namun penuh cinta. Sudah terbiasa dengan mbak Nabila yang mengomel setiap kali aku pulang larut malam, juga celoteh Naufal yang tidak ada habisnya. Ah! Aku pasti akan merindukan semua itu.
Apa mau dikata? Aku ini hanya seorang pelayan, bukan? Harus menurut setiap kali atasan memberi perintah. Harus selalu siap, ketika dibutuhkan oleh atasan. Untuk itulah aku digaji.
Hari keduaku kembali ke Jakarta. Sejak pagi tadi aku sudah sangat sibuk. Banyak tender yang harus segera dieksekusi, juga meeting dengan petinggi perusahaan. Sampai-sampai aku baru sempat makan siang, ketika hari sudah menjelang sore.
“Setelah ini kamu boleh pulang, Hara! Aku juga akan pulang.” Ucap Reyfan disela makan siang yang kesorean. Kami makan siang di dalam ruangan Reyfan, dengan menu yang kupesan melalui aplikasi pesan antar.
“Jangan lupa hubungi Dini dan Nur! Kalau bisa minggu depan mereka sudah bisa masuk kerja.”
Tidak ada hari tanpa tugas, begitulah hidupku. Beruntung kemarin aku sudah berhasil menghubungi Nur dan Dini, mereka bersedia kembali bekerja sebagai perawat pribadi di rumah Reyfan. Hanya menunggu ijin resign mereka keluar dari tempat mereka bekerja sekarang.
Reyfan memintaku memperkerjakan lagi Nur dan Dini, karena kondisi Aneesha yang sedang sangat lemah. Istri Reyfan itu mengalami hiperemesis. Kata dokter hal tersebut normal terjadi pada ibu hamil di trimester pertama. Tapi sudah mau memasuki trimester kedua, Aneesha masih kesulitan makan. Apa yang masuk ke perut akan dimuntahkan kembali. Mual akut katanya.
Jadi ia harus dirawat, meski hanya di rumah. Keberadaan perawat pribadi tentu saja dibutuhkan, karena Reyfan harus bekerja. Sedangkan Lia dan bibi Sri tidak mungkin bisa menghandle Aneesha. Dibutuhkan tenaga medis yang lebih kompeten.
“Kata Noura kamu cari rumah kontrakan sendiri, tinggal dimana kamu?” Pertanyaan yang sebenarnya tak kuharapkan. Aku belum ingin bercerita tentang bapak dan keluarganya kepada Reyfan. Setidaknya tidak untuk waktu dekat ini, jika sampai waktunya nanti pasti akan kuceritakan.
“Iya. Dapat tempat tinggal deket sama rumahnya Ghufron.” Aku tidak sepenuhnya berbohong. Sebab rumah bapak memang dekat dengan rumah Ghufron, walau beda kecamatan, masih satu kabupaten.
Reyfan mengangkat alis, sudah kuduga ia tidak semudah itu percaya padaku. Aku dan dia seperti dua jiwa yang terpisah raga, tidak ada yang bisa kami sembunyikan satu sama lain. Tapi untuk yang satu ini, belum saatnya dia tahu.
Tok tok tok
Pintu ruangan diketuk, lalu terbuka dari luar setelah Reyfan mengijinkan. Seorang pria beetubuh kekar terlihat di ambang pintu.
Aku mengernyit menatap pria yang sedang berjalan masuk, dengan senyum khasnya yang menurutku menyebalkan. Pria itu menepuk bahuku, seperti kami sudah sangat akrab saja.
“Wes bali, to? Kangen ro aku mesti.” (Sudah pulang, ya? Rindu padaky pasti.)
“Ngapain kamu disini?”
Aku menatap heran, tidak biasanya pria ini berada di kantor. Apalagi di ruangan Reyfan seperti ini. Biasanya aku menemui pria ini di warung tembakau milik Reyfan pribadi, atau di tempat aku membuat janji dengannya. Kalau dia sedang melakukan pekerjaan untukku.
Bukan pekerjaan kantor atau yang berhubungan dengan perusahaan, aku membayar secara pribadi kepada pria ini untuk melakukan pekerjaan pribadi juga. Pekerjaan yang hanya aku dan dia yang tahu.
“Kerja, dong.” Jawaban yang membuatku makin mengernyit dalam.
Aku menatap pria itu dan Reyfan bergantian. Reyfan sedang terpekur menghabiskan makanan, sedangkan pria itu tersenyum lebar seperti tidak punya dosa. Aku tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban kenapa pria itu berada di kantor.
“Soleh akan membantumu pekerjaanmu mulai besok. Ajari dia apa saja yang harus dikerjakan disini.”
Rasanya aku tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Tapi mimik wajah serius Reyfan sudah menjelaskan semuanya. Ia tidak sedang bercanda, ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh, bahkan sembari menatapku. Justru membuatku ingin marah.
“Kamu ingin membuangku, Rey?”
Reyfan tertawa, “siapa yang akan membuangmu? Memangnya aku punya kekuatan untuk itu? Sampai saat ini aku tidak bisa lepas dari bantuanmu."
“Lalu untuk apa dia bekerja disini? Untuk apa aku mengajarinya tentang pekerjaanku?” aku sudah hampir tidak bisa menahan amarahku. Merasa disingkirkan, merasa posisiku akan digantikan.
“Hara! Dengar dulu ...," Reyfan menelan suapan terakhir makanannya.
Box di atas meja sudah tandas isinya tak bersisa, “untuk sekarang, aku lebih membutuhkanmu secara pribadi. Dalam arti, kamu lebih kubutuhkan untuk urusan rumah dan kepentingan pribadiku. Kamu tahu sendiri keadaan Aneesha sekarang. Dia membutuhkan kehadiranku setiap saat. Aku bisa tiba-tiba pulang, atau bahkan tidak masuk kantor. Aku bisa tiba-tiba membutuhkan dokter dan rumah sakit. Jadi, aku butuh kamu untuk membantuku.”
Aku melipat tangan di dada, masih tidak sepaham dengan penjelasan Reyfan. Karena selama ini, akulah yang mengurus perusahaan selain Reyfan dan pak Reza. Jika posisiku harus digantikan, tentunya bukan oleh pria yang berpendidikan rendah.
“Soleh akan mengurus kepentingan perusahaan bersama Carissa dan bang Amir. Selama bang Amir masih di Belanda, kamu tolong ajari Soleh! Apa saja yang harus dia lakukan, apa saja yang harus dia kerjakan.”
“Kamu sudah gila, Rey? Menyerahkan urusan perusahaan sebesar ini kepada dia.” Kutunjuk wajah Soleh. Dia justru meringis, membuatku mendecak sebal, “dia bahkan tidak punya ijasah SMA.”
“Soleh ikut program kejar paket, minggu depan ujian akhir. Setelah itu dia akan kudaftarkan di universitas terbuka. Jangan khawatir! Kalaupun dia tidak sepintar kamu, ada Carissa dan bang Amir. Mereka sangat kompeten.”
Reyfan menghela napas panjang, “jujur saat ini ... seandainya aku tidak memikirkan masa depan, sudah kulepas perusahaan pada bang Amir dan Noura. Biar mereka yang mengurus. Tapi aku punya keluarga sekarang dan Aneesha pasti tidak setuju.”
Aku tahu pasti soal ini, kepemilikan saham Reyfan dan Aneesha memungkinkan untuk mereka duduk manis di rumah. Tinggal mendelegasikan urusan perusahaan kepada orang kepercayaan mereka.
“Masih banyak orang yang lebih ahli dari pada dia, Rey! Kenapa tidak membuka lowongan pekerjaan saja?”
“Yang lebih pintar dan ahli dari pada soleh memang banyak, tapi yang bisa dipercaya?" Reyfan menggeleng, "Soleh sudah teruji, seperti kamu dan Carrisa. Aku tidak mau sembarang memilih orang, karena taruhannya terlalu berat.”
Kuhembuskan napas kasar, beranjak untuk membereskan sisa makanan kami. Mengumpulkan bungkus makanan, membuangnya ke dalam tempat sampah kemudian berjalan ke lemari pendingin yang ada di sudut ruangan. Aku butuh minuman dingin untuk menyegarkan kepalaku yang mendadak merasa gerah. Padahal pendingin ruangan bekerja secara optimal.
“Tolong, aku hanya percaya padamu, Hara! Siapa lagi yang bisa membantuku selain kamu?”
Ucapan Reyfan membuatku mau tidak mau mengangguk. Meskipun selanjutnya entah aku harus mengajari Soleh dari mana. Untuk menjadi sepertiku butuh waktu bertahun-tahun dan pengalaman yang banyak. Agar bisa mengerti dan paham apa yang harus dikerjakan. Untuk bisa berpikir dengan cepat sekaligus cermat.
Kubuka pintu lemari pendingin, melihat isi di dalamnya. Tanganku tergerak untuk mengambil bir dalam kemasan kaleng. Pasti sangat segar dan bisa menenangkan kepalaku yang memanas.
Tapi baru saja aku menggenggam kaleng berwarna biru tua itu, ingatanku melayang kepada celoteh anak kecil beberapa waktu yang lalu. Saat aku mengajaknya ke minimarket dekat rumah bapak.
“Om! Ojo tumbas kuwi, jare pa'e ora oleh dimimik, marai sakit.” (Om! Jangan beli itu. Kata bapak tidak boleh diminum, bisa sakit.)
Hanya celoteh seorang anak berusia empat tahun, tapi berhasil membuatku urung mengambil minuman dengan kadar alkohol paling rendah itu. Naufal sekarang tidak melihatku, kami terpisah jarak dan waktu. Tapi mengapa rasanya seperti dia berada di sekitarku.
“Hara?”
Aku menoleh, ketika suara meninggi Reyfan mampir di telinga. Seketika membuyarkan anganku yang berkelana. Menggerakkan alis tanda bertanya, ‘ada apa?’
“Kamu tidak mendengarku?”
“Kamu bicara apa?’
Reyfan menarik napas panjang, “ambilkan air mineral untukku dan Soleh.”
Segera kuambil tiga botol air mineral lalu menutup lemari pendingin dengan cepat. Baru saja aku akan melangkah, tiba-tiba aku seperti melihat bayangan mbak Nabila berdiri di tengah ruangan. Sedang memandangku penuh selidik sembari berkacak pinggang, "Jangan pulang kalau kamu sedang mabuk! Mbak nggak suka bau alkohol.”
Aku mengedipkan mata beberapa kali, mengusir bayangan mbak Nabila yang sedang mengomel. Ah! Ada apa denganku? Mengapa bayangan-bayangan mereka yang berkelebat? Padahal kami berada di lain kota, terpisah jarak yang begitu membentang.
“Hara? Kamu mau membuatku mati kehausan?”
Aku kembali mengedipkan mata sembari menggeleng keras. Berusaha mengembalikan kesadaran, lalu berjalan kembali ke sofa. Dimana Reyfan dan Soleh sudah menunggu.
Kuusap wajah kasar, setelah duduk dan memberikan masing-masing satu air mineral kepada Reyfan dan Soleh. Baru kuingat akan pesan singkat yang dikirimkan mbak Nabila pagi tadi. Belum kubalas karena aku sangat sibuk. Nanti saja, saat aku sudah pulang akan kubalas.
Tapi rupanya mbak Nabila tidak sabar. Baru saja aku meneguk air mineral dalam botol, kurasakan ponsel di dalam saku jas bergetar tanda panggilan masuk. Aku merogoh saku celana untuk mengambil benda pipih yang menjadi benda terpenting saat ini.
“Permisi, aku angkat telepon dulu.”
Baru kali ini aku menjauh dari hadapan Reyfan hanya untuk mengangkat telepon. Biasanya telpon dari siapapun selalu kuangat begitu saja. Walaupun aku sedang bersama Reyfan sekalipun.
Tapi tidak untuk kali ini, aku harus keluar ruangan untuk menerima panggilan dari mbak Nabila.
“Halo, mbak! Ada apa?” sapaku begitu sambungan terhubung dan aku sudah berada di luar ruangan.
“Hara! Maaf, ya. Mbak ganggu kamu. Ini Naufal dari tadi nangis nanyain kamu. Dia nggak mau makan, nggak mau ngaji, katanya nunggu kamu.”
Aku menggaruk kepalaku yang tentu saja tidak gatal. Anak kecil itu, bocah yang selalu membayang di setiap waktu. Bahkan saat aku berada jauh darinya. Padahal kami baru dekat beberapa minggu, berpisah dua hari rasanya sudah rindu.
“Mana dia, Mbak? Biar saya bicara sama Naufal.” Aku mendengar suara tangisan anak kecil meraung-raung makin keras dan gaduh. Itu pasti suara Naufal. Ya ampun … anak itu memang kalau sudah menangis susah mendiamkannya.
“Ganti panggilan video ya, Mbak. Biar lebih jelas.”
Aku menarik ponsel dari telinga, kini kuarahkan ke wajahku sendiri setelah menekan ikon video pada panggilan yang sedang berlangsung.
Tak lama kemudian wajah mbak Nabila muncul di layar, lengkap dengan wajah bocah kecil yang merah padam beruai air mata. Jangan lupakan ingus yang keluar dari hidungnya. Naufal benar-benar sedang menangis keras tadi, tapi berangsur mereda ketika melihat wajahku dalam layar ponsel milik ibunya.
“Naufal kenapa nangis, sayang?” Aku geli mendengar ucapanku sendiri. Ini untuk pertama kalinya, aku memanggil sayang kepada seseorang. Panggilan itu kutujukan untuk anak kecil yang telah berhasil mencuri perhatianku sejak pertama kami bertemu.
“Om, kok, ora bali? Kapan om bali?” (Om kenapa tidak pulang? Kapan om pulang?).
“Om lagi kerja, Sayang. Besok kalau Om libur, om kesana, ya?”
“Emoh! Saiki om kudu bali!” (Nggak mau! Sekarang om harus pulang!)
Naufal sudah menampilkan wajah ingin menangis lagi. Buru-buru kucegah agar tidak meledak.
“Naufal pengen beli eskrim yang besar sekali, tidak? Pengen Om beliin robot yang bagus tidak? Atau lego bentuk pesawat?” Naufal mengangguk.
“Nah! Kalau Naufal mau dibeliin eskrim dan mainan yang banyak, Om harus kumpulin uang dulu. Harus kerja dulu, ya.?"
“Om, kan, uang e wes akeh. Keri jikuk ning mesin koyo wingi kae, kan?” (Om, kan, uangnya sudah banyak. Tinggal ambil di mesin seperti kemarin, kan?)
Susah memang mengelabuhi anak sepintar Naufal. Tidak bisa dibohongi, tidak bisa dikelabuhi.
Aku memang tidak banyak mengerti kosa kata dalam bahasa jawa, tapi tinggal di rumah bapak membuatku banyak belajar. Sedikit demi sedikit mulai mengerti apa yang dikatakan Naufal. Walau masih kesulitan untuk menjawab menggunakan bahasa jawa.
“Om ming ngapusi, to? Om ora bali rene meneh, to?” (Om hanya berbohong, kan? Om nggak akan pulang kesini lagi, kan?)
“Naufal … Om pasti pulang, tapi tidak sekarang. Besok kalau Om libur, Om pulang, ya.”
Kulihat mbak Nabila membisikkan sesuatu kepada Naufal, mungkin kalimat yang bisa menenangkan bocah itu. Samar-samar kudengar suara mas Akmal juga sedang merayu Naufal.
“Om tenan arep bali rene?” (Om beneran mau pulang kesini?)
“Iya. Om pulang, nanti Om bawain oleh-oleh kalau Om pulang. Sekarang Om ngumpulin uang dulu, ya? Biar bisa beli oleh-oleh buat Naufal, bapak dan mbah kakung.”
“Janji, lho. Om ora oleh ngapusi.”
“iya. Om janji.”
“Tenan!”
“Iya. Asal Naufal nggak nangis lagi, asal Naufal jadi anak pintar, nggak nakal dan nggak nyusahin bapak ibu. Bisa?”
Naufal mengangguk, membuatku menarik kedua sudut bibir ke atas. Dasar bocah, ada saja tingkah yang membuat orang tua repot.
“Sekarang Naufal makan, nurut sama bapak ibu. Kalau nggak mau, Om juga nggak akan pulang.”
Aku tercekat dengan kata terakhir yang kuucapkan. Pulang? Memang dimana rumahku? Aku tidak sadar telah menganggap rumah bapak seperti rumahku sendiri, sungguh tidak tahu diri.
Naufal akhirnya mengerti dan tidak menangis lagi. Aku melihat raut penuh kelegaan pada wajah mbak Nabila. Membuat perasaanku menghangat, setiap kali melihat mbak Nabila tersenyum.
“Makasih, ya, Hara! Maaf, sekali lagi maaf karena ganggu kamu kerja.”
“Nggak apa, Mbak. Nanti kalau Naufal rewel lagi, telepon aja nggak apa. Maaf tadi belum sempat bales pesan mbak, karena lagi meeting.”
“Iya, Hara. Kamu baik-baik di sana, jaga kesehatan, ya. Dapat salam dari bapak dan mas Akmal.
Aku tidak bisa menjawab perkataan mbak Nabila, karena jauh di dasar hati sana ada satu perasaan asing yang hinggap. Perasaan yang mendesak mataku memanas dan hampir berair. Beruntung segera kususut, agar jangan sampai berkabut. Bisa ditertawakan banyak orang jika ada yang melihatku semelankolis ini.
Mbak Nabila mengakhiri panggilan video setelah memastikan Naufal tenang dan sudah puas berbicara denganku. Aku pun merasa lega, bocah kecil itu tidak lagi menangis. Jujur, melihat dia berurai air mata tadi, rasanya hatiku patah.
Ah! Jadi begini rasanya mencintai seseorang. Merindukan seseorang yang terbiasa berada di sisi, lalu tiba-tiba terpisah jarak dan waktu. Baru kali ini aku merasakan perasaan asing ini, inikah yang dinamakan rindu?
“Siapa dia?”
Sebuah suara mampir di telinga, ketika aku sedang memandangi foto mbak Nabila dan Naufal di dalam ponsel. Segera kumatikan layar ponsel tanpa keluar dari aplikasi. Kemudian memasukkannya ke dalam saku jas dengan secepat kilat.
Aku berlalu begitu saja melewati Soleh yang tiba-tiba saja berada di belakang punggungku. Aku tidak tahu dia mendengar percakapanku tadi atau tidak. Aku enggan membahasnya, masih sedikit merasa marah karena keputusan Reyfan menggantikan posisiku dengannya.
Aku tahu Soleh mengikuti langkahku sembari mengatakan hal yang membuatku tertarik. Dia memang selalu bisa mencairkan suasana beku, hingga tidak bisa membuat orang lain berlama-lama kesal.
“Ono gawean meneh ora? Wes suwe ora rasan duitmu, je.” (Ada pekerjaan lagi nggak? Sudah lama tidak merasakan uangmu.)
Tiba-tiba aku ingat pesan singkat yang dikirimkan Alex tempo hari. Pesan yang kuabaikan, tapi sekarang ingin kubaca ulang dan kubalas. Segera kuambil lagi ponsel, membuka aplikasi kirim pesan terkini berwarna hijau. Mencari nama Alex dan menghubunginya.
Kembali ke Jakarta, artinya aku tidak akan menyia-nyiakan waktu meski satu jam pun tanpa manfaat. Hari ini aku pulang lebih awal, artinya aku bisa menghabiskan waktu dengan melakukan hal menyenangkan yang sudah lama kutinggalkan sejak berada di Jogja.
“Lex! How much?” Langsung kucecar Alex dengan pertanyaan menjurus yang hanya dia yang tahu jawabannya.
Aku menutup sambungan telepon setelah Alex menyebutkan nominal yang membuatku menggelengkan kepala.
“Gila! Dua belas juta? Alex mau main-main denganku rupanya.” Gerutuku kesal. Nominal yang fantastis untuk harga seorang …. if you know what I mean?
“Wah! Mesti istimewa iki nanti larang ngunu. Jikuk wes jikuk” ( pasti istimewa sampai semahal itu. Ambil sudah ambil! )
“Soleh! Indonesian, please!” Kesalku setiap kali Soleh bicara dalam bahasa jawa.
“Ambil, sudah!”
Aku membuang napas sembari berjalan menyusuri koridor kantor, dengan sesekali mengangguk ketika berpapasan dengan karyawan. Soleh mengikuti langkahku dengan terus bertanya tentang banyak hal. Inilah kehidupanku yang sebenarnya, penuh kesibukan tapi selalu merasa kesepian.
Jika aku bisa menemukan satu alasan saja, agar aku bisa berhenti berurusan dengan Alex. Tapi rasanya tidak mungkin selama Alex masih tidak berhenti menawariku barang dagangan menarik.
.
.
.
Bersambung....
*Dear Readers tersayang, tercinta, terlope-lope,
Semoga kita selalu dalam lindungan Alloh, aamiin....
Maaf ya, dears, belum bisa up cepet dan banyak😁. Semua dikarenakan satu dan lain hal yang tidak bisa disebutkan.
Kemarin ada yang tanya di inbox Fb saya, begini :
"Mbak, ini cerita mau dibawa kemana, sih? Kok, masih belibet aja?
Hehehe ....
Namanya juga cerita, kan, ada alurnya. Biar gimana gitu😁
Seperti yang dikatakan pemain sinetron yang lagi hits, Glenca Chysara 'coba, deh, pahami alurnya. Di tiap episode itu pasti ada clue nya, kok.'
Nah, jadi selamat menikmati alurnya aja, ya. Belum, ini belum masuk ke konflik. Nanti ada pemanasan dulu, kok. Tenang ....
Eh, kalau ada kritik dan saran boleh lho langsung pc saya😁. Atau dm, inbox juga sangat diperbolehkan. Akan saya baca meskipun slow respon😁.
Selamat membaca* ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Ersa
tapi gak mengisi waktu dg kegiatan " ..." juga Kalik om Hara 🤭
2023-10-26
1
Hearty 💕
Ingat Naufal ... eh salah ingat Tuhan
2023-03-04
0
April Lia
ihh 🤧🤧🤧qu kok mewek ya bagian hara tlpon ma nauval, ngena bnget dehhh👍👍👍
2022-12-18
1