Melakukan pekerjaan yang tidak biasa, bisa menemukan pengalaman yang luar biasa.
*Tahukah kamu keajaiban takdir? Kamu meminta yang baik\, tapi Tuhan memberikan yang terbaik*
Immanuel Kagendra Hara.
Jika aku tahu pekerjaan yang diberikan Reyfan akan sesantai ini, aku tidak akan berpikir panjang untuk menerimanya. Tidak akan aku mengulur waktu berlarut-larut untuk segera mengerjakannya.
Aku tidak perlu berkutat dengan harga saham, MOU kesepatakan perusahaan, tender, deadline proposal dan lain-lain. Karena disini, pekerjaanku hanya mengikuti satu orang. Yang ternyata tidak terlalu sulit, seperti yang pernah kubayangkan.
Beberapa hari mengikuti Ghufron, sedikit sudah kutahu beberapa informasi tentangnya. Dimana ia tinggal, nongkrong, siapa orang tuanya, dan kira-kira bagaimana sifatnya.
Tidak ada yang menarik bagiku. Ghufron adalah orang biasa yang berperilaku sewajarnya. Keluarganya juga seperti orang kebanyakan, begitu pula dengan teman-temannya. Clear. Sejauh yang kuketahui, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, jika ia menjalin hubungan dengan Jenar sekali pun.
Ghufron adalah mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang rajin, pintar, berdedikasi tinggi, dan dia taat beribadah. Menurut teman-temannya Gufron juga orang baik dan bertanggung jawab. Salah satu pengelola komunitas literasi di kota pelajar ini.
“Kang Ghufron punya target lulus tahun ini, sudah diterima sebagai dokter muda di rumah sakit akademik kampus. Dia akan melanjutkan pendidikan spesialis agar mendapat gelar SPa.” Terang seorang teman Ghufron yang kutanyai kemarin.
Oh! ternyata Gufron adalah calon dokter anak.
“Kang Ghufron juga sedang berencana mau buka cafe, kerja sama dengan temannya.” Terang teman Gufron yang lain.
Menambah yakin, bahwa penilaianku terhadap Ghufron tidak salah. Dia orang baik, tidak mungkin memanfaatkan Jenar. Apalagi dia taat beribadah, tidak mungkin berbuat macam-macam. Bahkan sejauh yang kutahu, Ghufron tidak pernah pergi berduaan dengan Jenar, selalu ada adiknya bersama.
Penilaianku kepada pria muda itu bertambah baik, ketika aku tak sengaja bertemu di sebuah rumah makan. Pada suatu siang, saat mbak Nabila memintaku menggantikan mas Akmal mengantar dagangan. Karena mas Akmal sakit.
Mbak Nabila dan mas Akmal adalah pemasok sayuran organik di beberapa restoran dan rumah sakit di sekitar jogja sampai Magelang. Kemarin kebetulan mas Akmal sakit ketika permintaan dagangan sedang tinggi. Jadi mbak Nabila memintaku menggantikan mas Akmal, sebab diantara aku dan bapak hanya aku yang bisa menyetir mobil.
“Tolong, ya, Hara! Sayang kalau libur, mumpung permintaan sedang banyak dan dagangan juga mudah didapat.” Begitu pinta mbak Nabila.
Aku menyanggupi. Sejak pagi aku sudah berkeliling bersama mbak Nabila. Dari mengambil dagangan di beberapa petani dan pengepul, pergi ke pasar induk mencari dagangan, sampai mengantar dagangan ke lokasi pemesan.
Aku mendapat pengalaman baru selama mengantar mbak Nabila. Pengalaman tentang proses distribusi sayuran organik sebelum sampai ke restoran dan bisa dinikmati oleh konsumen akhir seperti aku ini.
Hasil panen dari petani, akan dibeli oleh tengkulak. Biasanya tengkulak akan menjual ke pasar induk, lalu dibeli oleh pedagang eceran. Dari pedagang eceran ini sayuran bisa sampai ke konsumen akhir. Bisa ibu rumah tangga atau diolah menjadi masakan siap santap di restoran dan rumah makan.
“Kamu pasti nggak biasa dengan suasana seperti ini, kan, Hara?” Mbak Nabila menatapku penuh sesal ketika kami menata dagangan yang diperoleh di pasar induk.
“Nggak pa-pa, Mbak. Aku jadi punya pengalaman baru, siapa tahu nanti aku bisa jadi distributor sayuran juga seperti Mbak Nabila dan mas Akmal.
“Jangan, Hara! Kamu sudah bener kerja kantoran, jangan serabutan seperti mbak.”
“Kenapa? Kerja seperti mbak asyik, lho. Bisnis punya sendiri, nggak harus ikut aturan karena nggak punya atasan. Mbak sendiri bosnya, dan yang paling asyik bisa ketemu banyak orang.”
“Maksud kamu … cewek-cewek yang tadi?”
Aku mengangguk, membenarkan tebakan mbak Nabila. Sejak tadi banyak gadis-gadis cantik yang tebar pesona padaku. Mungkin karena tidak biasa melihatku.
“Mbak Nabila ngejak brondong, jal.”
“Wah! Dengaren ono artis sinetron ning kene.”
“Mbak Nabila oleh seko ngendi wong guanteng e koyo ngene?”
“Wah! Iki ono syuting film ning kene, po?”
Seketika aku menjadi bulan-bulanan orang-orang disana. Mereka menggodaku, sedangkan aku tak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan. Mbak Nabila sampai tertawa terpingkal-pingkal karena aku kewalahan meladeni guyonan orang-orang, tepatjnya para gadis di pasar.
“Besok ikut lagi, ya, Mbak?”
“Wah! Ketagihan digodain cewek nggunung.”
“Cantik, Mbak. Kulitnya putih bersih bersemu merah.”
Mbak Nabila tertawa mendengar keterusteranganku. Memang gadis-gadis yang tadi bertemu dengan kami di pasar, kebanyakan berkulit putih bersih dan seketika menjadi semu kemerahan ketika terkena sinar matahari. Khas kulit gadis yang tinggal di pegunungan.
“Langsung melek kalau lihat yang putih bersih.”
Aku tertawa sumbang menanggapi gerutuan mbak Nabila, ‘Yang pasti mereka masih polos, belum terjamah, Mbak.’ Tentu saja hanya suara dalam hati, tak sampai kulontarkan kepada mbak Nabila. Bisa shock mbak Nabila kalau tahu siapa aku dan bagaimana kelakuanku sebenarnya.
Dari pasar induk yang penuh sesak mobil pick up membawa berbagai macam sayuran, kami menuju beberapa tempat untuk mengantar pesanan.
Tidak kuduga sebelumnya, jika kami akan berpapasan dengan Ghufron di sebuah rumah makan. Dia tidak sendiri, tapi bersama dua orang. Ya, sudah bisa ditebak, dia bersama adiknya dan Jenar.
Aku tergerak untuk mengambil gambar ketiganya, sebagai bukti yang bisa kukirimkan kepada Reyfan. Bahwa Ghufron adalah orang yang tepat menjadi suami adik iparnya.
klik.
Gambar ketiga anak muda yang sedang berbincang sembari melihat map berisi beberapa lembar kertas sudah berhasil kuambil. Sebagai jejak digital, bukti nyata bahwa aku bekerja dengan sungguh-sungguh.
Sent.
Kukirimkan foto kepada Reyfan, dengan caption. ‘Sepertinya adik iparmu telah menemukan tambatan hati yang satu server dengannya.’
Benarkan? Calon bidan dan calon dokter anak, mereka serasi, bukan?
“Hara! Mbak ke toilet dulu, ya? Tunggu disini! Nanti ada orang yang bayar dagangan.”
Suara mbak Nabila menjauh seiring dengan kepergiannya tergesa melewati pintu masuk rumah makan, menghilang di balik riuhnya suasana di dalam rumah makan. Aku bahkan tidak sempat menjawab, hanya bisa terpaku diam di tempat, menunggu seperti yang diperintahkan mbak Nabila.
Aku tidak menyangka jika keberadaanku diketahui oleh Jenar. Aku juga tidak mengira dia akan menghampiri dan marah padaku. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di hadapanku, bertanya dengan nada ketus dan pandangan penuh selidik lengkap dengan tangan terlipat di depan dada.
“Pak Hara ngapain disini?”
Aku mengernyit, reflek menunjuk mobil pick up dengan bak terbuka di belakang punggungku. “Bisnis,” jawabku singkat.
“Pak Hara disuruh ayah atau kakak ngikutin aku?”
Aku melongo, menatap jenar yang bicara tanpa memberiku jeda untuk menjawab, “bilang sama siapapun yang suruh pak Hara! Jenar bukan anak kecil yang harus diawasi dimanapun, kapanpun!”
Tanpa menunggu jawabanku, Jenar berlalu begitu saja. Berjalan cepat meninggalkanku yang hanya bisa diam. Menghampiri Ghufron yang mengangguk seraya tersenyum padaku dari jauh. Kubalas anggukannya, mataku mengikuti langkah mereka berjalan keluar dari tempat parkir. Sudah bisa dipastikan mereka akan mencari taksi untuk pulang,
Aku menatap punggung tiga orang itu sampai masuk ke dalam sebuah mobil yang kuperkirakan adalah taksi online. Sampai seorang pria berseragam kaos warna merah datang menghampiri, “katakan pada Nabila, besok dua kali lipat, ya. Lunas untuk hari ini.”
Aku hanya mengangguk, membiarkan karyawan rumah makan itu berlalu tanpa jawabanku. Masih terlalu shock untuk sekedar menjawab, karena kilatan kejadian yang terjadi begitu cepat.
Tidak salah Jenar menebak siapa yang menyuruhku, tapi jelas aku tidak sedang mengikutinya sekarang. Hanya tak sengaja saja bertemu disini, dan aku memanfaatkan keadaan. Ah! Peduli apa dia salah paham terhadapku. Yang penting pekerjaanku berjalan seperti seharusnya, bukan?
“Hara!” sebuah tepukan di bahu menyadarkanku. Segera kulepas pandangan dar taksi online yang makin bergerak menjauh.
“Sudah, Mbak?” kuserahkan uang dan nota yang diberikan karyawan rumah makan tadi kepada mbak Nabila.
Mbak Nabila mengangguk sembari menerima uang yang kuulurkan, “makasih, ya, Hara! Kita mampir mini market dulu sebelum pulang, ya. Beli oleh-oleh buat Naufal.”
Aku mengikuti langkah mbak Nabila memasuki mobil. Selanjutnya aku melajukan mobil pick up yang telah kosong, keluar dari area parkir rumah makan. Pekerjaan kami hari ini selesai. barang dagangan sudah didistribusikan kepada pemesan semuanya.
“Rame, ya? Akhir pekan, sih.”
Aku mengangguk menjawab gumaman mbak Nabila. Sesaat kemudian, notifikasi pesan kuterima di ponsel. Kubaca tulisan dari layar yang terlihat tanpa membuka kunci, hanya satu kalimat.
[Goog job, Hara!]
Kumasukkan lagi ponsel ke dalam saku, lebih tertarik mendengarkan mbak Nabila bicara dari pada menjawab chat.
“Maaf, ya, Hara! Harusnya akhir pekan kamu istirahat, bukan malah bantuin Mbak seperti ini.”
“Anytime, Mbak. Biar akhir pekanku bermanfaat.”
“Tenang … nanti kubayar.”
“Bayaranku mahal, lho, Mbak!”
“Wah! Bisa rugi bandar, dong, aku.”
“Nggak, Mbak. Cukup bayar dengan secangkir kopi ples ketela goreng isi gula jawa.”
“Cemplon maksud kamu?”
“Apalah itu namanya, Mbak. Suka banget kalau mbak Nabila bikin makanan itu.”
“Di Jakarta nggak ada, ya?”
Aku menggeleng. Setelahnya kami membicarakan cemplon, makanan dari ketela pohon yang diparut, ditambah kelapa dan diisi dengan gula jawa kemudian di goreng. Mbak Nabila sering membuat makanan itu semenjak aku tinggal di rumahnya.
Awalnya aku asing dengan makanan seperti itu, tapi melihat bapak dan Naufal lahap, aku jadi tergoda untuk mencoba. Ternyata makanan itu memang enak, terenak dibanding junk food yang sering kumakan.
“Nanti Mbak buatkan.”
Tapi kalimat mbak Nabila membuat aku merasa tidak enak hati. Sudah berapa lama aku tinggal di rumahnya. Pasti mbak Nabila repot sekali karena penghuni rumah bertambah.
Bukannya aku tak tahu malu terus tinggal di rumahnya, tapi aku sedang ingin egois, tidak ingin kehilangan rasa nyaman yang selama ini kudambakan.
Aku tidak ingin cuma-cuma tinggal di rumah mbak Nadia. Suatu hari kubelikan beras dan berbagai macam bahan makanan pokok yang banyak. Bapak malah berkaca-kaca sembari terus mengucapkan terima kasih. Sedangkan mbak Nabila selalu menolak dengan halus.
“Besok lagi tidak perlu seperti ini, Hara. Kamu boleh tinggal disini, tanpa memberikan kami apapun.”
Juga ketika kubelikan baju dan mainan untuk Naufal, mbak Nabila juga menolak. Walaupun meminta Naufal untuk mengucapkan terima kasih.
“Sudah cukup, Hara! Jangan manjakan Naufal.”
Kalimat yang hampir mirip juga dikatakan oleh mas Akmal, ketika aku membelikan rokok dan kain sarung untuknya dan bapak.
“Jangan seperti ini, Hara! Gunakan uangmu untuk keperluanmu sendiri. Kamu pasti lebih membutuhkan.”
Mereka selalu menolak pemberianku, padahal aku tidak pernah keberatan. Juga tidak ada maksud tersembunyi. Murni sebagai ucapan terima kasih karena sudah diijinkan untuk tinggal lama bersama mereka.
“Kamu ini bagian dari keluarga, Hara! Tidak perlu sungkan.” Begitu yang bapak katakan setiap kali aku merasa telah merepotkan dengan tinggal di rumah mereka.
Dengan ekor mataku, kulihat mbak Nabila terpekur, larut dalam bacaan kitab sucinya. Kegiatan yang selalu mbak Nabila lakukan jika sedang ada waktu luang. Seperti tidak ingin membuang waktu percuma, harus ada manfaatnya.
Kuperhatikan cara mbak Nabila membaca Al-qur’an. Tanpa suara, namun seperti sedang menghayati isinya. Sesuatu yang selalu membuatku tertarik. Sebenarnya tentang apa yang sedang dia baca, firman Tuhan macam apa yang sedang mbak Nabila pelajari.
Saat di rumah pun aku sering memerhatikan bapak dan mas Akmal yang khusyuk membaca kitab sucinya. Mereka orang-orang yang hidup dalam kesederhanaan, tapi tidak pernah lupa membaca kitab suci. Tidak sepertiku yang selalu harus diingatkan oleh mbok Jum, pun sering kali kuabaikan.
Aku lupa kapan terakhir kali aku membuka al-kitab. Atau kapan terakhur kali aku mengikuti misa pagi ke gereja? Setiap kali bapak mengingatkanku untuk pergi ke gereja, aku justru pergi ke Magelang untuk bertemu dengan mas Faiz.
Sejak tinggal di Jogja aku seperti menemukan pengalaman lain. Pekerjaan yang kulakukan membawaku ke dalam ketertarikan yang berbeda. Aku tertarik untuk mengetahui bagaimana bapak sekeluarga hidup. Aku tertarik untuk mengetahui bagaimana anak sekecil Naufal sudah terbiasa hidup sederhana dan seadanya.
Semua ketertarikanku bermula saat melihat Naufal belajar huruf-huruf arab, juga saat aku melihat betapa romantisnya mbak Nabila dan suaminya ketika bersahutan menghafalkan surat dalam kitab suci mereka. Aku tertarik, saat mendengar bapak bergumam pelan sebelum tidur, ‘bahagiakan anak ini, ya, Alloh!’
Mungkin bapak tidak tahu, jika malam itu sebenarnya aku belum tidur. Mungkin mereka tidak tahu, jika selama tinggal bersama, aku selalu memerhatikan apa yang mereka kerjakan. Mungkin mbak Nabila tidak tahu, jika setiap malam aku memerhatikan Naufal yang sedang berdo’a.
Mereka pasti juga tidak tahu, jika setiap pulang bepergian aku pasti menyambangi makam mama. Bahkan suatu malam kurasakan kehadiran mama di rumah itu, melihat kami yang sedang menonton televisi bersama. Dengan Naufal yang terus berbicara tanpa henti.
“Om, sesuk tumbaske robot meneh, ya?” ( Om besok belikan robot lagi,
Lalu mbak Nabila akan menghardik, "Naufal, mboten pareng!" (Naufal, tidak boleh!)
“Om, sesuk minggu tumbas eskrim ning indo juli, ya?” (Om, besok minggu beli eskrim ke indo juli, ya.)
Kemudian mas Akmal menasehati putranya, “Om Hara suk minggu tindakan.” (Om Hara besok hari minggu mau pergi.)
Kurasakan kehadiran mama diantara kami, tapi tak dapat kusentuh, tak dapat kuraih. Mama berdiri, diam mematung tanpa ekspresi. Wajahnya pucat, namun terlihat sangat cantik.
Mama seperti ingin mengatakan padaku, ‘kamu tidak seharusnya berada disini, Hara! Ini bukan tempatmu, kamu bukan bagian dari kami.’
Jika mengingat akan perbedaan kami, ingin rasanya aku kembali ke masa lalu. Ingin rasanya aku bertanya kepada mama, mengapa dulu mama tidak mengajarkanku agar seperti mama? Mengapa dulu mama membiarkanku mengikuti papa? Sedangkan sekarang, bayangan mama berkelebat seolah memintaku mengikutinya.
Mama … apakah aku masih bisa berdo’a untukmu, dengan Tuhan yang berbeda denganmu ….
Pekerjaan baru ini, membuatku merasakan pengalaman yang baru juga. Dan aku tidak rela jika pengalaman baru ini segera berlalu ....
.
.
.
Bersambung....
Komentar selain up dan lanjut tembus 100, besok up lagi. ha ha ha.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Hearty 💕
Cowok mah mo menang sendiri yaaa mau dapet yang masih polos.. sementara dirinya??
2023-03-04
0
Lheea Amelia
mungkin inilah titik dimana hara harus mengbil leputusan. antara sedih dan senang bersama keluarga yang sesungguhnya. ayooo hàra....ttp sangaaatttttþt
2022-07-31
0
‼️n
Nyampe sini lo mb aq reread nya.......sampun up dereng????? ayo to mb, semangat nambah pahala.......,😉😉😉
2022-07-24
0