Merapah Asa (Menjelajah keinginan/harapan)
...🌸Setiap yang terjadi di muka bumi ini tidak lain adalah kehendak Tuhan, bahkan daun yang telah mengering pun sudah ditetapkan kapan dan bagaimana akan jatuh ke tanah.🌸...
Immanuel Kagendra Hara.
Jika orang-orang bertanya apa tujuan hidupku? Akan kujawab, tujuan hidupku adalah untuk menyenangkan diri sendiri. Tapi yang utama adalah memastikan hidup Reyfan baik-baik saja. Jika ada yang bertanya apa cita-citaku, maka tidak akan kujawab. sebab aku belum tahu apa yang ku cita-citakan.
Akhir pekan bagiku adalah waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Melakukan hal yang bisa membuatku senang, tanpa memikirkan pekerjaan. Biasanya di akhir pekan, aku me non-aktifkan ponsel untuk masalah pekerjaan.
Tidak mau masalah pekerjaan mengganggu waktu santaiku. Karena aku harus merefresh otak setelah bekerja sepanjang minggu. Melakukan hobi, pergi ke tempat hiburan yang bisa mengalihkan pikiranku sejenak dari masalah pekerjaan yang kadang membuat kepala pusing.
Seperti malam ini. Aku memarkirkan mobil di area parkir sebuah kelab malam. Tempat yang selalu kukunjungi jika sedang suntuk dan butuh hiburan. Setiap akhir minggu hampir bisa dipastikan aku selalu mengunjungi tempat-tempat seperti ini.
Suara musik yang keras, lampu berkelip temaram, suara gelak tawa bercampur aroma alkohol menyambut, begitu aku melangkah masuk. Beberapa penjaga dan pengunjung yang mengenalku menyapa saat kulewati koridor.
“Hai, Bro!”
“Hara!”
“Bro! Apa kabar?”
“Sendirian, nih? Yang dua sudah pensiun rupanya?”
“Ada barang baru, loh. Mau coba tidak?”
Aku hanya melambaikan tangan sekedar menanggapi sapaan mereka. Melanjutkan langkah melewati dance flour, dimana orang-orang sedang bergoyang mengikuti irama musik, sampai lupa diri.
Kumasuki ruang VIP yang sudah kupesan sebelumnya. Dan seseorang sudah menungguku disana. Seorang pria berwajah indo segera berdiri begitu aku memasuki ruangan.
“I’m sorry! Terpaksa kamu harus menunggu sebentar, barang pesananmu sedang dalam perjalanan.” Ucapnya dengan mimik wajah menyesal yang kutahu hanya sandiwara. Sebab ditempat ini hampir tak bisa dibedakan yang tulus dengan yang hanya sandiwara saja.
“It’s ok!”
aku menjawab singkat sembari menghempaskan pan-tat di atas sofa. Kuambil rokok dari saku celana, mengeluarkannya bersama dengan korek api dan ponsel. Kuletakkan ponsel di atas meja, lalu menyulut satu batang rokok.
“Ori, kan?” tanyaku lugas kepada pemilik kelab.
“Untuk anda sekalu ori dan bersih. Mana mungkin saya mengecewakan pelanggan sekelas pak Hara?"
"Yang ini fresh, baru datang tiga hari yang lalu dari kampung."
Aku mengangkat sebelah alis, meremehkan ucapan pria itu. Ia begitu sigap menuangkan vodka pada gelas kosong yang memang sudah tersedia sebelum aku datang. Kuambil gelas yang sudah berisi itu, meminumnya sedikit, merasakan sensasi vodka yang seperti membakar lidah.
Tak berselang lama, seseorang mengetuk pintu. Pria itu beranjak untuk membukakan. Dan muncullah seorang gadis bertubuh proporsional dengan pakaian serba kurang bahan.
Kulihat pria tadi berbisik kepada perempuan yang masih berdiri diambang pintu. Lalu pergi meninggalkan ruangan setelah berpamitan, “have fun, Bro! Aku tinggal dulu, pakai sesukamu dan sepuasmu.”
Aku tidak menjawab. Kuhembuskan asap rokok yang baru saja kuhisap. Menguarkan asap putih yang mengepul ke segala penjuru ruangan. Gadis itu hanya bergerak dua langkah, menghindar saat pemilik kelab menutup pintu. Aku tahu dia pasti tidak tahu harus melakukan apa.
“Apa kau akan berdiri disana sampai pagi? Apa kau tidak mendapat training sebelum ini?” Tanyaku tanpa melihatnya, dan dengan ekspresi wajah datar.
Kulihat melalui ekor mata gadis itu bergerak pelan, sembari menarik rok yang hanya menutup bagian bawah perutnya saja. Mengekspos paha yang putih mulus dan berisi.
“Duduk!” Perintahku ketika gadis itu telah berdiri di hadapanku.
Gadis itu duduk dengan ragu-ragu. Masih mencoba menutupi paha yang tereskpos. Padahal ia tahu usahanya sia-sia karena pakaiannya memang sangat kurang bahan. Bagian atas hanya menutup dari dada ke bawah, mengekspos punggung dan bahunya. Belahan dadanya bahkan terlihat jelas.
Kalau ditanya apa aku menikmati semua pemandangan gratis itu? Tentu saja, ya. Aku menikmatinya. Memangnya untuk apa aku datang ke tempat ini dan membayar mahal kalau tidak untuk menikmati semua yang tersaji?
Aku mengambil batang rokok kedua. Baru saja aku akan mengambil korek di atas meja, wanita disampingku sudah berinisiatif mengambilnya duluan. Lalu menyulutkan rokok yang sudah kuletakkan di mulutku.
Kuhisap rokok dalam-dalam sambil memerhatikan dia yang sedang berusaha menutupi bagian tubuh yang terekspos dengan rambut panjangnya. Tentu saja sia-sia. Aku tahu ini pasti kali pertamanya memakai pakaian kurang bahan seperti ini. Karena pekerjaannya memang mengekspos diri.
“Kamu-” Aku menjeda kalimat, memindainya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Hari pertama?”
Gadis itu mengangguk pelan, lalu menunduk. Aku tahu dia baru pertama kali ini melakukan pekerjaan ini. Karena memang aku selalu minta yang fresh dan aku rela membayar mahal untuk ini.
“Sudah tahu tugasmu?” Tanyaku lugas, sembari menenggak minuman yang tersisa hanya di bagian dasar gelas.
Ia mengangguk lagi, “I-iya, Tu-an.”
“Bagus. Kita mulai!” Kusodorkan gelas yang telah kosong. Ia pun mengambil botol di atas meja, menuangkan isinya ke gelasku. Seperti sedang mempraktekkan apa yang diajarkan sebelumnya.
Ini adalah salah satu hobi menyenangkan yang kulakukan di akhir pekan. Menghabiskan malam dengan menghangatkan badan dan di temani oleh wanita berpakaian kurang bahan.
Biasanya aku akan menikmati waktu di ruangan itu sampai minumanku habis, atau sampai aku merasa bosan. Lalu aku akan mengajak perempuan-perempuan yang kubeli itu pindah ke hotel. Melakukan sesuatu yang lebih menghangatkan badan sekaligus menyenangkan.
Kalau ditanya sejak kapan aku punya hobi seperti ini, aku sendiri tidak tahu pastinya. Yang kuingat sejak aku sering menemani Reyfan menghabiskan malam sampai pagi di tempat seperti ini. Aku pun mulai tertarik untuk melakukan hal lain yang lebih menantang.
Bukan hanya sekedar minum sampai mabuk, atau bergoyang di dance floor sampai jengah. One night stand juga sudah tidak menarik lagi bagiku. Yang kulakukan sekarang ini, justru lebih menyenangkan sekaligus menantang.
Malam ini seperti malam-malam yang lain, aku menghabiskan sisa malam di hotel bersama wanita itu. Wanita yang baru pertama kali menjajakan diri. Sungguh ia bernasib malang, sebab Tuhan mempertemukan denganku pada hari pertamanya.
Biasanya perempuan-perempuan yang sudah kupakai, mereka akan merasa menjadi manusia yang paling sengsara. Karena aku akan melakukan hal menyenangkan yang membuat mereka semua menyesal pernah bertemu denganku. Walau tidak semuanya berhasil kubuat menyesal.
Jam dinding berdetak, menjadi satu-satunya irama yang terdengar di dalam kamar hotel yang sunyi ini. Kupakai sepatu, menyimpulkan talinya dengan kencang agar tak mudah lepas. Lalu aku berdiri, mengambil dompet dari saku celana. Menarik berlembar-lembar uang berwarna merah dan biru, hingga hanya menyisakan beberapa lembar berwarna hijau dan ungu saja. Kebiasaan jika aku sudah merasa puas bermain dan memakai perempuan itu.
“Buy something and use it for yourself!” (Belilah sesuatu dan gunakan untuk dirimu sendiri.) Kulemparkan berlembar-lembar uang dihadapan perempuan yang sedang duduk di atas ranjang, memegangi selimut dengan kedua tangan gemetar. Ia pasti tidak ingin tubuh tanpa sehelai benang itu terlihat olehku. Percuma, karena aku sudah melihat semuanya tadi.
“Tunggu, Tuan!”
“SHIT!” Aku mengumpat, karena perempuan itu tiba-tiba mengambil telapak tanganku, “kau tidak tahu aturan mainnya?” Sentakku marah, menghempaskan tangannya begitu saja, “DON’T TOUCH ME!” (Jangan sentuh saya!) mataku nyalang menatap wajahnya yang memucat.
“Ma-ma-af, Tu-an.” Dia menunduk setelah melepas cekalan tangannya, nada suaranya bergetar menahan tangis. Ia bergumam, meski masih bisa kudengar dengan jelas, “siapa nama anda, Tuan?”
“Bukankah barang dagangan tidak perlu tahu siapa nama pembelinya?” Tanpa menatapnya, kuambil jaket. Me langkah lebar menjauh dari ranjang yang sangat berantakan karena permainan kami tadi, tepatnya permainanku. Karena aku yang selalu mengambil peran, tak terkecuali malam ini.
“Nama saya Ti-ti-tiara, Tuan!” Aku mendengar gadis itu berteriak. Teriakan bernada serak itu tidak kuasa menahan langkahku. Sempat kudengar suara tangis, seperti biasanya. Tangisan pilu seorang wanita yang harga dirinya telah kubeli dan kuhancurkan.
Permainanku sudah usai, waktunya aku kembali pada kehidupan normalku. Kehidupan nyata yang terlihat baik di mata semua orang. Meninggalkan sisi buruk dan menyebalkan yang kusembunyikan dari orang lain. Meskipun tetap ada yang mengetahuinya.
“Whatever!” gumamku ketika aku membuka pintu kamar.
Puluhan wanita yang kubeli, dan tidak satu pun dari mereka ingin kuketahui namanya. Untuk apa? Kami hanya bertemu sekali, tiap minggu ganti wanita. Lucu rasanya jika aku harus mengingat nama mereka. Jadi lebih baik tidak pernah tahu, lebih baik memanggil mereka dengan sebutan wanita saja.
Aku segera pergi dari hotel itu karena sebentar lagi pagi. Kuambil ponsel dari dalam saku celana, menghubungi seseorang yang akan membereskan sisa kekacauan malam ini.
“I’ve done!” (Aku sudah selesai.)
Dia sudah menungguku di lantai dasar, seperti biasa. Tepatnya, di tempat aku memarkirkan mobilku. Aku mengambil kunci kontak mobil dari saku celana, melemparkan padanya yang ditangkap dengan sigap.
Pria bertato hampir di seluruh tubuhnya dan memakai anting berwarna hitam di sebelah telinga itu bertanya dengan bahasa jawa yang sedikit kumengerti artinya, “nandi?” (Kemana?)
“I’ve send you a message! Just open your phone, before ask!” (Aku sudah mengirimimu pesan! Buka dulu ponselmu sebelum bertanya!)
“Ayu ora sing iki?” (Cantik tidak yang ini?)
“As Allways!” (Seperti biasanya.)
Kudengar gelak tawanya membahana, menggema di dinding area parkir. Aku menepuk bahunya, begitu melihat sebuah mobil mendekat. Kaca jendela mobil itu terbuka ketika berhenti di hadapanku. Kepala seorang gadis menyembul dengan wajah kesal. Ia bersungut-sungut saat aku mendekati pintu mobil.
“Sampai kapan kakak melakukan hal menjijikan seperti ini?”
Aku tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Kutepuk lagi bahu pria bertato dua kali, sebelum aku masuk ke dalam mobil bersama Cecilia.
“Mau kakak apa sebenarnya? Tiap akhir pekan bermain dengan perempuan-perempuan nggak jelas. Memangnya kakak tidak takut kena penyakit?” Cecilia masih bersungut-sungut. As always, seperti biasanya dan aku sudah sangat hafal kata-kata yang diucapkannya.
Cecilia adalah salah seorang yang tau tabiatku, selain Reyfan. Ya, aku hampir tak bisa menyembunyikan apapun dari Reyfan.
Bukannya menjawab Cecilia, aku malah bertanya kepada mang Saeb. Pengemudi mobil yang setia menjemputku setiap aku selesai melakukan hobi menyenangkan ini, “sudah dibawakan semuanya, Mang?”
Kudengar Cecilia mencebik, sambil melipat kedua tangan di depan dada. Aku yakin bibirnya sampai bisa diikat dengan tali rambut, saking kesalnya denganku. Biarlah! Toh, dia selama ini tahan denganku dan segala sifatku.
“Sudah, Mas Hara. Oya-” Mang Saeb mengulurkan sebuah paperbag dengan tangan kiri tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya. Sedangkan tangan kanannya memegang kemudi, “ini titipan simbok.”
Aku menerima paperbag kecil pemberian mang Saeb, kulirik isinya yang membuat dahiku berkerut dalam. Sebuah Al-kitab, kalung salib dan gelang tali yang biasa kupakai.
Aku baru ingat jika tadi pagi aku melepas gelang itu waktu mandi, gelang pemberian mamaku. Aku pasti tadi lupa memakainya lagi. Gelang ini sudah seperti jimat bagiku, harus kupakai setiap waktu agar selamat.
Mbok Jum dan mang Saeb adalah muslim yang taat. Sering kulihat mereka beribadah ditengah malam, atau mengaji pada siang hari. Tapi keduanyalah yang selalu mengingatkanku setiap hari untuk membaca al-kitab. Atau jika hari minggu pagi hujan deras, mereka akan menemaniku menonton sebuah acara keagamaan di televisi. Mereka menemaniku melihat seorang pastur yang sedang membaca sekaligus menjabarkan firman Tuhan. Definisi kehidupan keragaman yang rukun, damai, sejahtera.
“Kakak bawa baju banyak sekali, apa kali ini kakak akan tinggal lama di Jogja?”
Pertanyaan Cecilia membuyarkan lamunan. Segera kusimpan paperbag, lalu mengusap kepala adik sepupuku itu dengan lembut, “ya. Minimal sebulan kakak tinggal disana.”
“Jadi kita bisa sering jalan bareng, dong?”
“Tidak seperti itu juga. Kakak kerja disana, tidak sedang piknik.”
“Yang penting kakak disana, jadi aku tidak perlu repot pulang seminggu sekali kalau kangen sama kakak.”
Dasar Cecilia. Emosinya cepat berubah, naik-turun. Beberapa menit yang lalu ia bersungut-sungut padaku. Sekarang dia bergelayut manja di lenganku. Apa memang seperti itulah perempuan? Gampang berubah moodnya, suasana hatinya.
Kubiarkan dia memeluk lenganku. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota metropolitan dini hari yang sepi ini. Menuju ke suatu tempat.
Bandara Soekarno-Hatta. Ini adalah tujuan kami, kami akan pergi menggunakan pesawat menuju sebuah kota. Kota yang mendapat julukan sebagai kota pelajar. Yogyakarta …
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan dengan merusak wanita-wanita itu. Aku hanya berpikir tentang kepuasan dan menyenangkan hati.
Hidupku yang belum mempunyai tujuan dan cita-cita, padahal usiaku telah dewasa. Seharusnya sekarang, aku mulai menjelajahi keinginan. Agar aku punya alasan, mempunyai harapan hidup.
Mungkin di kota pelajar nanti ia bisa menemukan apa yang sedang dijelajahi. Tentang asa (harapan) dan cita-cita … atau mungkin cinta ….
.
.
.
Bersambung ....
Hai teman-teman ... apa kabar? Melalui ini saya mohon maaf, jika belum bisa membalas satu per satu komentar kalian. Tapi kebaca, kok.😁😁
Terima kasiuh sekali untuk kalian semua. Dari yang hanya mampir, sampai yang benar-benar membaca. I love you all, semoga kebaikan selalu menyertai kalian😁😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
ian
tuuuuuhkan benaaaar dr konselingnya jenar bekas teman makn jenar😭
kalau baca bab ini kayanya beratlah perjuangan pak hara dapat jenar...dan jelas pak fres bakalan pasang badan cowo kayak pak hara deketin anak gadisnya
2022-10-22
1
Siti Fajar Herlina
Yah sebenernya ngak rela ya klw akhirnya Jenar ama Hara. tiap minggu kelakuan dia bgt sedangkan Jenar gadis sholehah... bukan nya wanita baik2 akan DPT laki2 yg baik pl. tp keputusan ada di kak Desi sih...
2022-06-26
0
Parti
Oalah ini pasti salah satu alasan kenapa sikap fares sama suami jenar kurang baik ...ternyata oh ternyata hmmm makin seru nih kisah jenar dan hara
2022-05-31
0