...*Saat rasa berubah menjadi asa, segala yang ada di dalam benak akan tertju tentang dia.*...
Jenar.
Ini benar-benar akan menjadi liburanku yang paling berbeda. Lain dari pada yang lain. Sebab biasanya aku liburan dengan berkumpul bersama keluarga, main bersama teman, atau bertamasya ke tempat wisata yang indah. Kali ini aku liburan dengan tinggal di rumah kakakku.
Ya, hanya tinggal di rumah kakakku, tidak kemana-mana.
Terkesan biasa saja, tapi nyatanya aku benar-benar bisa merefresh otak dan tenagaku. Aku sepenuhnya menikmati masa liburan. Tanpa memikirkan pekerjaan rumah, atau tugas kuliah. Disini aku merasakan hidup yang serba dilayani, difasilitasi.
Dan jangan salah. Di rumah kakakku, mau apa saja ada. Mau nge-gym atau renang tidak usah keluar rumah, ada fasilitasnya disini. Koleksi buku kakakku juga banyak, nggak bakal bosen habisin waktu buat baca buku.
Atau mau nonton televisi serasa nonton bioskop juga bisa. Dengerin musik dari audio paling mutakhir yang baru kali ini kulihat juga bisa.
Rumah ini seperti disiapkan agar penghuninya betah tinggal di rumah. Karena fasilitas lengkap sudah ada, tak perlu keluar rumah.
Meskipun disini semua kebutuhanku sudah disediakan, tentu saja aku tetap berpegang pada etika menginap di rumah orang.
Kata bunda, saat menginap di rumah orang lain, biar saudara sekalipun, jangan berpangku tangan! Bantu pekerjaan rumah sebisanya. Dan semua nasehat bunda selalu kuingat, kulakukan selama tidak memberatkan.
Sore ini, tidak seperti biasanya. Jika biasanya aku hanya duduk manis di depan televisi, atau menemani kak Aneesha di studio pribadinya. Maka ini diluar kebiasaan, kak Aneesha sibuk di dapur sejak siang tadi sampai sekarang. Katanya dia ingin memasak udang asam manis dan cumi saus tiram, kesukaan suaminya.
Meski bibi Sri dan mbak Lia sudah melarang, karena mereka juga bisa memasak apapun yang diinginkan kak Aneesha. Tapi rupanya kakakku ini sedang ingin turun tangan sendiri.
“Nanti kalau tangan princes jadi kasar bagaimana?” Seloroh mbak Lia ketika kak Aneesha mengambil udang dan ingin membersihkannya sendiri. Mbak Lia segera mengambil alih, “biar sama saya saja. Mbak Aneesha tinggal masak.”
“Tumben princes pengen masak sendiri? Nanti tangannya bau bawang, lho.” Bibi Sri ikut berseloroh, "nanti mas Reyfan marah sama bibi, lho."
Sejak tinggal di jakarta, kak Aneesha memang jarang memasak. Tidak seperti dulu waktu tinggal di Surabaya, aku dan kakak bergantian membantu bunda masak. Walaupun lebih sering aku yang bantu bunda dari pada kakak.
Karena kakak lebih suka mencuci baju dari pada masak. Kalau mencuci baju, nggak ada yang protes keasinan atau kurang garam, atau terlalu manis. Jadi kak Aneesha tidak suka masak sejak dulu, karena tidak suka diprotes.
Praktis setelah tinggal di rumah sendiri, kakak makin jarang masuk ke dapur. Lagi pula sudah ada asisten rumah tangga, urusan masak bukan lagi prioritas bagi kak Aneesha.
Tadi pagi, tiba-tiba kak Aneesha menghampiriku di kamar. Minta ditemani ke pasar, padahal bisa saja dia minta mbak Lia belanja. Memang hari ini kakak sedang tidak seperti biasanya.
“Mungkin bawaan bayi, ikuti saja.” Kata bibi Sri padaku tadi, sebelum kami ke pasar.
Aku sedang mengulek bumbu dan cabe untuk membuat sambal baby cumi. Kalau yang ini masakan kesukaanku. Aku bisa habisin nasi se bakul kalau ada sambal baby cumi sebagai lauk. Kebetulan tadi waktu belanja ada baby cumi fresh, jadi aku bisa masak menu favoriteku ini.
Kak Aneesha yang baru saja memasukkan udang ke dalam wajan berisi tumisan bumbu, tiba-tiba menutup mulut. Segera kuletakkan munthu (ulekan yang terbuat dari batu alam), menghampiri kak Aneesha yang hampir terhuyung.
“Kakak kenapa?” Kupegang kedua bahu kakakku, menopangnya agar tidak jatuh.
“Nggak tahu, nih. Tiba-tiba pusing …,” kak Aneesha memegang pelipis, memejamkan mata sebentar sambil menggelengkan kepala pelan. Lalu mendesis dengan dahi berkerut dalam.
“Duduk dulu, Kak!” Kubimbing kak Aneesha, menuju kursi yang terletak di dapur. Mengalihkan perhatian bibi Sri dan mbak Lia yang sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing.
“Mbak Aneesha kenapa?” Mbak Lia menghampiri dengan mimik wajah panik.
“Kak Neesha pusing katanya, Mbak." Jawabku.
Kak Aneesha duduk sembari memijat pelipis, dahinya berkerut makin dalam tanda menahan sakit. Kuulurkan tangan, memberi pijatan pada tengkuk kakakku, mungkin bisa sedikit membantu meredakan pusing.
“Sudah! Istirahat saja! Pasti kecapekan itu.” dari kejauhan bibi Sri berkata, “perempuan hamil memang lebih sering capek, badannya lemah. Apalagi masih trimester awal.”
“Tapi masaknya belum selesai, Bi.” Sanggah kak Aneesha. Dia memang pantang meninggalkan pekerjaan, jika belum selesai.
“Biarin bibi sama saya yang selesaikan. Jenar antar mbak Aneesha ke kamar, ya! Takut nanti malah pingsan disini, bisa kena marah semua sama mas Reyfan.” ucap mbak Lia dengan nada takut yang dibuat-buat.
“Iya, Kak. Yuk, ke kamar!”
Kupaksa kak Aneesha yang masih ragu untuk beranjak. Kubimbing dia keluar dari dapur, sebab wajahnya sudah mulai memucat. Benar kata mbak Lia, bisa pingsan kak Aneesha kalau keadaannya seperti ini.
Baru saja kami melewati ruang makan, suara derap langkah terdengar. Bersamaan dengan gumaman orang sedang bicara.
“Kakak kamu kenapa, Jen?” Ternyata kak Reyfan dan Pak Hara yang datang.
“Tadi kami sedang masak, tiba-tiba kak Neesha pusing katanya.” Jawabku menjelaskan.
“Aduh! Aneh-aneh,sih, masak segala. Biasanya juga tinggal suruh. Memangnya bibi Sri sama mbak Lia kemana sampai kalian yang masak? Heem?” Tanya kak Reyfan, ada nada khawatir yang kutangkap dari suaranya.
Kak Reyfan mengambil bahu kak Aneesha, segera aku bergeser, memberi akses padanya. Kak Reyfan tidak memedulikan rasa capek, karena khawatir dengan keadaan istrinya. Padahal dia baru saja pulang kerja.
“Biar aku yang bawa Aneesha ke kamar. Kamu tolong bilang ke Lia suruh dia buatkan kopi untuk Hara, ya, Jen!”
Aku mengangguk, tanpa menjawab. Kulihat kak Reyfan dengan penuh hati-hati dan sayang membimbing kak Aneesha menaiki satu per satu anak tangga. Sungguh definisi pasangan romantis tanpa kata-kata puitis. Ah! Kak Aneesha pasti bahagia punya suami pengertian seperti kak Reyfan.
“Sudah kubilang, kan? Kalau pengen makan sesuatu, tinggal suruh bibi Sri masak. Kalau bibi Sri atau Lia nggak bisa masakin, tinggal beli.”
“Aku, tuh, pengen masak buat kakak. Masa jadi istri belum pernah masakin suaminya.”
“Tapi kamu lagi hamil, sayang. Jangan capek-capek. Lagi pula kalau tangan kamu kena minyak atau air panas gimana? Nanti melepuh, jadi kasar tangan princes nggak mulus lagi.”
“Ihh! Kakak lebay!”
Tentu saja aku mendengar semua yang dibicarakan kak Aneesha dan suaminya. Mungkin kak Reyfan hanya bercanda, tapi peehatiannya bukan sandiwara.
“Ha ha ha. Tuh! Tangan kamu bau bawang. Jilbab kamu bau nggak enak. Baju sama badan kamu … aduh! Kumandiin, ya!”
“Kakak, iihh!”
Kudengar kak Reyfan tertawa, sedangkan kak Aneesha mencubit pinggang suaminya berkali-kali. Mungkin kak Aneesha kesal karena kak Reyfan menggodanya. Mereka romantis sekali, bukan? Membuatku iri saja.
“Hati-hati jalannya, atau mau kugendong?”
“Kakak apa-apaan, sih. Aku cuma hamil, bukan cedera kaki.”
“Ya, nggak apa. Gendong istri hamil dapat pahala nggak, sih?”
“Kakak! Jangan keras-keras, ah! Malu didengar mereka.”
Aku tahu kak Aneesha melirik ke belakang, ke tempatku dan pak Hara. Kami berdua masih berdiri di bawah anak tangga, menyaksikan adegan romantis sepasang suami istri itu.
Membuatku ingin berteriak, “hei! Ada anak dibawah umur, nih! Jangan ngomong mesra-mesraan, dong.”
“Ha ha ha. Kamu biar belajar, Jen. Besok kalau udah nikah, nggak kaget digombalin suami.”
“Kakak! Adikku belum mau nikah, kuliah aja baru mau masuk tahun kedua.”
“Eh! Siapa tahu, besok dilamar sama Ghufron langsung disetujui sama ayah. Niat baik harus disegerakan. Ya, kan, Jen?”
“Terserah kalian aja, deh. Jenar masih belum cukup umur ngomongin nikah.”
Aku membalikkan badan, mengambil langkah, berlalu dari suasana romantis yang membuatku iri. Meskipun masih kudengar suara kak Aneesha dan suaminya berdebat tentangku.
Lebih baik aku ke dapur menyelesaikan masakan yang ditinggal oleh kak Aneesha. Kali ini aku tidak mau membuatkan kopi untuk pak Hara lagi. Aku tahu dia tidak suka kopi buatanku, biar mbak Lia saja yang buat.
Dalam hati aku berharap, semoga jika aku menikah nanti suamiku juga perhatian seperti kak Reyfan. Memikirkan tentang itu, aku jadi ingat dengan mas Ghufron.
***
Kami makan malam berempat, tidak seperti biasanya yang hanya bertiga. Ini kali pertama selama aku tinggal disini, pak Hara ikut makan malam bersama.
Sepertinya kak Reyfan masih punya urusan serius dengan pak Hara, sehingga dia belum diperbolehkan pulang. Dan perbincangan mereka di meja makan pun masih seputar pekerjaan yang tak kupahami.
“Pertemuan dengan Mr. Gerald tadi bagaimana, Kak?” Tanya kak Aneesha kepada suaminya.
“Lancar, dong. Berjalan seperti rencana kita. Semuanya beres, selama ada Hara. Dia selalu menjadi the best negosiator.” Jawab Kak Reyfan memuji asisten pribadinya.
Pak Hara seperti biasanya, memasang wajah datar. Padahal kak Reyfan memujinya berkali-kali.
“Oya, Jen. Tempo hari Ghufron bilang ingin mulai usaha. Dia bisa belajar sama Hara, kalau dia sungkan bertanya padaku. Sebagai pemula, Ghufron pasti butuh bimbingan.”
Kak Reyfan memang baik, sampai ingat obrolan dengan mas Ghufron tempo hari. Memang mas Ghufron sedang ingin mulai usaha. Katanya demi masa depan kami, so sweet, kan?
“Aku harus sudah punya usaha sendiri sebelum lulus. Jadi waktu melamar kamu, aku bisa bilang kalau aku sudah punya penghasilan sendiri. Supaya orang tuamu yakin melepas putrinya untuk menjadi istriku.” Begitu ucapnya padaku. Juga yang diceritakan kepada kak Reyfan.
“Baru rencana, sih. Aku ingin buka cafe dengan konsep tempat yang jadi satu dengan toko buku. Nanti kamu yang cari nama, ya?”
Sepertinya mas Ghufron memang sedang menyiapkan bekal masa depan. Membuatku makin kagum saja padanya dan yakin akan kesungguhannya. Selain tampan, dia juga pintar, bertanggung jawab dan insyaAlloh soleh. Siapa saja beruntung bisa menjadi istrinya.
Ah! Kenapa aku jadi memikirkan mas Ghufron. Padahal dia jauh dari pandangan. Akhir-akhir ini memang aku sering melamunkan tentang dia. Apapun yang kulakukan sering berakhir dengan memikirkannya.
Mas Ghufron yang kukagumi sejak pertama kali kumelihatnya, namun tidak kuasa aku mengatakannya. Dia yang sudah membuatku tertarik karena pribadinya yang santun dan pembawaannya yang luwes.
Kini ketika gayung bersambut, ternyata rasa yang kurasakan padanya sama seperti yang ia rasakan terhadapku. Kami pun merajut asa, mengukir mimpi tentang masa depan yang indah bersama.
Meski baru rencana, meski baru sebatas asa. Tapi yang dilakukan mas Ghufron, cukup untuk menumbuhkan benih dalam hati. Memupuk akar hingga kuncup bunga cinta mekar kian bersemi.
Mas Ghufron membuatku berpikir, aku harus punya cita-cita dan rencana pula. Dia memberiku semangat baru untuk menapaki kehidupan yang mungkin akan sedikit terjal.
Mas Ghufron mampu mengubah gadis plegmatis sepertiku menemukan gambaran tentang masa depan. Ia membuatku mengubah pandangan tentang masa depan. Bahwa hidup harus punya mimpi, harus punya tujuan, agar tidak monoton.
Ah! Tidak bisakah aku berhenti memikirkannya? Sepertinya otak dan hatiku telah dipenuhi oleh satu nama yaitu Ghufron al Ghazali.
“Jadi tadi kamu mau masak ini? Sampai repot di dapur, hampir pingsan juga.” Kalimat kak Reyfan membuyarkan lamunan. Menerbangkan bayangan mas Ghufron yang baru saja berkelebat,
“Iya. Tapi karena keburu pusing, mual dan lemes, akhirnya Jenar sama bibi yang masak.” Kak Aneesha menampilkan wajah penuh penyesalan, "padahal pengen bikin kejutan, masakin suami.”
Aku melirik kak Reyfan yang tertawa lebar sambil mangusap kepala kak Aneesha yang tertutup jilbab. Ah! Harus, ya, mereka menampilkan kemesraan didepanku?
“Nggak perlu masak kalau mau bikin kejutan, cukup sambut aku dengan senyum termanis, tiap hari sudah membuatku terkejut.”
Tuh, kan? Kalimat gombal kak Reyfan membuat pipi kak Aneesha bersemu merah. Dan sikapnya ... ah! Manis sekali.
Kupingku memanas, mendengar kak Reyfan gombalin kak Aneesha. Ingin rasanya aku protes, tapi bukankah ini rumah mereka? Sudah pasti keseharian mereka seperti ini, kan? Salahku mengapa ada di tengah mereka yang sedang dimabuk cinta.
Klontang.
“Kalian membuat selera makanku hilang.”
Hampir saja aku melonjak karena terkejut. Pak hara menjatuhkan sendok di atas piring dengan kasar. Sedangkan kak Reyfan dan kak Aneesha saling berpandangan, lalu kompak menatap pak Hara yang berdiri.
“Lebih baik aku makan di taman,” dengan gerakan kasar pak Hara mengambil sayur dan lauk dalam jumlah banyak. Sampai piringnya penuh.
“Hei! Itu cumi punyaku, jangan dihabisin!” gertak kak Reyfan dengan nada tinggi. Tapi tak berusaha mencegah pak Hara pergi setelah tidak menyisakan cumi saus tiram sedikit pun.
“Lama-lama makin kurang ajar dia! Kupecat baru tahu rasa,” Gerutu kak Reyfan, “Kusumpahi jadi perjaka tua! Nggak ada yang mau nikah sama dia.”
“Kakak!” Kak Aneesha memprotes.
“Enak saja habisin cumi kesukaanku. Nyebelin banget, sih!”
“Udah, nggak usah marah-marah gitu! Kan, hanya cumi.” Kak Aneesha berusaha menenangkan suaminya yang jadi marah tak jelas.
“Tapi cuminya habis, sayang. Aku baru makan dikit.” Rengek kak Reyfan, “dasar asisten nggak tahu diri! Beneran kupecat dia!”
“Beneran mau pecat Hara hanya gara-gara cumi?”
“Ngeselin, sih!”
Aku ingin tertawa rasanya, melihat kak Reyfan yang terus marah-marah. Sedangkan pak Hara tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Mungkin sedang menikmati makanan di taman, seperti yang dia katakan.
Orang-orang dewasa yang berlaku seperti anak kecil. Tadi saja dipuji dengan bangga, sekarang hanya karena hal sepele dimaki-maki
Tapi aku iri dengan keakraban mereka, rasa kekeluargaan yang tercipta atas dasar ketulusan. Definisi keluarga yang sebenarnya.
Tidak ingin kak Reyfan terus menggerutu, kak Aneesha memintaku pergi ke dapur guna mengambil lagi cumi saus tiram. Tadi kami masak cukup banyak, tidak dihidangkan semua. Jadi masih ada sisa di dapur.
Kak Reyfan tidak perlu merasa kesal karena masih bisa makan cumi saus tiram kesukaannya. Kak Aneesha tentu sangat paham dengan sifat suaminya.
Begitulah cinta, segala yang dilakukan, yang dipikirkan dan diprioritaskan adalah tentang dia yang ada di hati ....
Bayangan itu berkelebat lagi ... dia yang kudamba menjadi imamku kelak ... mas Ghufron ....
.
.
.
...Bersambung .......
*Assalamu'alaikum readers terkasih, tercinta dan terlope lope ....
Maaf, untuk jadwal up sementara ini baru bisa seminggu sekali. Bayik belum bisa diajak kerja sama, kesibukan di RL juga masih menumpuk. Maklum, ya. Karena saya masih aktif di organisasi juga (lebay, padahal cuma pkk se RT)😁.
Jadi, belum bisa memenuhi keinginan kalian untuk rajin up. Semoga tidak mengurangi semangat kalian untuk membersamai kisahnya pak Hara yang gak punya ekspresi wajah hehe.
Saya masih berpedoman bahwa menulis sebagai hobi, jadi memang tidak seharusnya meninggalkan prioritas kehidupan nyata. Saya juga belum bisa menulis secara buru-buru. Takut gak dapat feelnya😁.
So, be patient, ya!
Seperti yang diceritakan di awal episode, mendaki gunung rinjani itu tidak mudah. Banyak halangan dan rintangan, nggak bisa buru-buru😁.
Halah, pake nulis panjang lebar, bilang aja kamu mau kita nggak kejar-kejar up kan thor?
Hehe, ya begitulah😁
Oya, untuk yang mau masuk ke gc. Ketuk pintu, ucapin salam, tinggalin jejak di salah satu novelku aja deh. tanpa jejak nggak akan aku bukain pintu. Enak aja mau masuk tapi gak mau baca (emot melirik sambil senyum smirk)
Yang terakhir ... sekali lagi, mohon bersabar dengan kisah ini, ya.😁
Spoiler ... nanti pak Hara nggak akan dibikin seperti mas Fares atau Mas Reyfan kok. Beda, dong. Pasti beda ...😁*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
🐥Yay
sebenarnya aku jga 😁🤪
2025-02-01
0
Arfi Ardi
jadi baper ro matinya anesha dan reyfan
2022-11-24
0
‼️n
halloooooooooooo.....
.mb desma .......kapan up nya??????????
2022-07-24
0