...🌷Selamat Membaca🌷...
Ajeng menatap hampa taman bunga di halaman depan rumahnya. Setiap hari hanya ini yang bisa ia lakukan, berleha-leha di rumah tanpa melakukan pekerjaan apapun. Tak jarang hal itu membuatnya bosan, rindu ingin mengunjungi Arka atau bahkan menghabiskan harinya di toko kue.
Radi terlalu over protektif, melarangnya ini dan itu, membuat Ajeng kesal sendiri pada sang suami. Bicara tentang suami, ingatan Ajeng melayang ke sikap suaminya tadi malam. Radi pulang terlambat dengan wajah kusut dan tak enak dipandang. Ajeng sama sekali tak bertanya karena jujur saja ia sendiri takut. Wanita itu hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apa kiranya yang telah membuat sikap suaminya mendadak aneh.
Drrrtt ... drrrttt ... drrrttt ...
Ponsel di tangannya bergetar. Sebuah panggilan dari Radi, orang yang sedari tadi tengah dipikirkannya. Dengan cepat diangkatnya panggilan itu, khawatir jika Radi akan marah jika dia sampai terlambat mengangkat.
"Halo...."
"Kau di mana? Sedang apa?" Bukan membalas sapaan, Radi malah memburunya dengan pertanyaan.
"Sedang duduk di halaman rumah, kenapa?" tanya Ajeng sedikit jengkel.
"Ingat! Jangan ke mana pun. Tetap di rumah!" Radi memperingati.
"Iya."
"Ya sudah, nanti aku akan pulang cepat."
"Ya."
TIT
Ajeng menghela napas, sikap Radi masih seperti semalam. Dia menjadi lebih over protektif dari pada sebelumnya. Entah apa yang membuatnya bertingkah seperti itu.
"Membuat pusing saja."
Drrrt ... drrrttt ... drrrtt ...
Tak lama berselang, ponselnya kembali bergetar. "Ya Tuhan, kenapa dia begitu berlebihan," gerutu Ajeng. Ia mengangkat panggilan yang dikira dari Radi itu dengan kesal. Baru satu menit yang lalu menelpon, sekarang sudah melakukannya lagi.
"Apa lagi, Mas?" tanyanya ketus.
"Maaf, Jeng. Ini aku," sahut seseorang di seberang sana.
Ajeng melihat layar ponselnya. Ternyata dari Tania.
"Oh, maafkan aku, Tan. Aku kira tadi itu mas Radi. Ada apa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya khawatir, kau jarang main ke apartemen. Apa kau baik-baik saja?" tanya Tania.
"Iya, aku baik. Hanya saja sejak kehamilan ini, Radi melarangku keluar."
"Hm, Arka sepertinya merindukanmu."
"Aku juga, sayangnya aku tidak boleh keluar." Suara Ajeng terdengar sedih.
"Bagaimana kalau aku saja yang datang ke rumahmu, apa boleh?"
"Boleh, tentu saja. Akan ku tunggu." Kini suara Ajeng terdengar riang.
"Baiklah, aku akan ke sana siang nanti."
"Baik, untuk alamatnya nanti akan ku share lock."
"Iya, sampai jumpa."
TIT
Ajeng bersorak girang, akhirnya ia bisa membunuh rasa sepi ini dengan kehadiran baby Arka yang menggemaskan.
"Aku harus menyiapkan jamuan untuk mereka."
.......
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, terhitung sudah dua jam Tania menghabiskan waktu di rumah Ajeng. Arka yang lelah bermain pun sekarang tampak tidur di pangkuan Ajeng. Wanita hamil itu menimang Arka dengan sayang. Sesekali dielusnya kepala putra sematawayang Tania itu.
"Kalau ku perhatikan betul, Arka ini mirip dengan seseorang yang aku kenal. Kulitnya yang putih dan juga wajahnya yang tampan, persis seperti orang itu." Ajeng berkata sambil fokus memperhatikan Arka di pangkuannya.
"Be-benarkah, siapa memangnya?" tanya Tania gugup.
"Hm, namanya Bagas. Dia adalah seorang pria yang ku kenal dulu saat berkunjung ke panti asuhan," jawab Ajeng.
Tubuh Tania menegang, ia tidak menyangka jika Ajeng masih mengingat Bagas. Jadi semua yang diceritakan suaminya itu memang benar, kalau dia juga mengenal Ajeng.
.......
Hari ini pertama kalinya Tania keluar dari apartemen, kebutuhan sehari-harinya semakin menipis, jadi ia perlu berbelanja. Ajeng sudah jarang ke apartemen sehingga tidak ada lagi yang membawakan barang keperluannya. Tania juga merasa tidak enak karena selama ini sudah merepotkan Ajeng, jadi kali ini ia akan melakukannya sendiri.
Tania mendorong troli belanjaannya sembari menggendong Arka dengan kain gendongan. Bayi itu terlihat anteng hingga Tania bisa bebas memilih barang-barang yang akan dibelinya.
Satu troli penuh berisi semua barang kebutuhan Tania, lalu ia berjalan ke kasir untuk membayar.
Setelah kasir menyebutkan total harga yang harus dibayar, Tania langsung menyerahkan beberapa lembar uang yang sudah disiapkannya.
"Nia!"
Baru saja kakinya melangkah keluar supermarket, seseorang memanggil namanya. Tania menoleh dan mendapati Bagas berlari menujunya dari arah tempat parkir.
Deg
Jantung Tania berdebar cepat, ia tak menyangka jika akan bertemu Bagas secepat ini. Ingin kabur tapi rasanya percuma, mengingat tangannya yang penuh dengan barang belanjaan. Hal itu tentu saja akan menghambat langkahnya. Tania hanya bisa diam di tempat sampai akhirnya Bagas sudah berdiri di hadapannya.
"Kau ke mana saja, aku sangat merindukan kalian."
Perkataan Bagas membuat Tania yang semula menunduk jadi mendongak, menatap wajah suaminya yang terlihat sumringah. Apakah Bagas memang sebahagia itu bertemu kembali dengan dirinya dan sang anak.
"Sayang, kenapa diam? Kau tak merindukanku?" Bagas menyentuh kedua bahu Tania.
Sayang? Tania tersenyum getir. Setelah sekian lama tidak terdengar, kini Bagas kembali memanggilnya sayang. Haruskah Tania merasa senang?
"Nia, maafkan aku. Aku tahu selama ini aku sudah sangat keterlaluan. Aku memaksamu untuk membantuku membalaskan dendam pada Radi. Aku menyesal, jangan tinggalkan aku lagi ya, aku tersiksa berada jauh darimu dan juga anak kita."
Tania menatap wajah Bagas yang berbicara, ia ingin memastikan apakah perkataan yang keluar dari mulut suaminya itu tulus atau hanya bualan yang nantinya akan membuatnya terluka lagi. Namun, hanya keseriusan yang dapat dilihat Tania dari pancaran mata pria yang dicintainya itu.
"A-apakah kau benar-benar menyesal?" cicit Tania. Ia masih merasa trauma atas perlakuan kasar Bagas waktu itu. Jadi, tidak salah kan, kalau ia ingin memastikannya lebih dulu.
"Ya. Aku sudah mencari kalian ke mana-mana. Aku sungguh khawatir, aku takut terjadi apa-apa pada kalian berdua."
"Maafkan aku."
"Tidak. Aku yang salah. Aku minta maaf karena selama ini telah menyakitimu. Jangan pergi lagi ya, aku tidak sanggup hidup tanpa kalian berdua," mohon Bagas.
Tania tersenyum lantas mengangguk.
"Terima kasih, sayang." Langsung dipeluk Bagas istri dan anak yang sangat dirindukannya itu.
"Pa-pa..."
Deg
Bagas melepas pelukannya dan menatap bayinya yang berada dalam gendongan sang ibu.
"Kau baru saja memanggilku apa, Nak?" tanya Bagas. Pria itu menatap buah hatinya yang tertawa, memperlihatkan dua gigi bawahnya yang baru tumbuh.
"Pa-pa," ulang Arka yang mau tak mau membuat Bagas tersenyum haru.
"Iya sayang, ini papa. Ayo gendong sama papa." Bagas mengulurkan tangan dan mengambil alih untuk menggendong Arka. Bagas menciumi putra tampannya itu berkali-kali.
"Ayo kita pulang ke rumah."
.......
"Jadi Ajeng yang membantumu?" tanya Bagas tak percaya. Tania sudah menceritakan semuanya. "Dia memang sangat baik persis seperti ayahnya, tuan Surya," gumam Bagas yang masih bisa didengar istrinya.
"Kau kenal Ajeng dan ayahnya?" tanya Tania.
"Iya, mendiang ayah Ajeng adalah orang yang selama ini telah membantu panti asuhan, tempat di mana aku dibesarkan. Dulu Ajeng juga sering menemani ayahnya mengunjungi panti. Dia sangat baik dan juga ramah." Penjelasan Bagas membuat Tania mengangguk, membenarkan ucapan Bagas yang mengatakan jika Ajeng merupakan sosok wanita yang sangat baik hatinya dan juga ramah sikapnya.
"Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tania sungguh penasaran. Jadi ia memutuskan untuk bertanya, semoga kali ini Bagas mau menjelaskannya.
"Tanya apa, sayang?" Bagas yang semula fokus bermain bersama sang putra, kini memusatkan perhatiannya pada Tania.
"Kenapa kau begitu membenci Radi?"
Rahang Bagas mengetat seketika, bukan marah karena Tania menanyakan hal itu melainkan marah karena telinganya mendengar nama sahabat lama yang sudah mengkhianati dirinya.
"Maafkan aku, tidak apa jika kau tidak mau menjawab." Tania yang melihat perubahan pada raut wajah Bagas, memilih untuk menarik kembali pertanyaannya. Ia tidak ingin membuat suaminya marah dan berujung kekerasan lagi.
"Aku dan Radi adalah sahabat lama." Setelah itu mengalirlah semua cerita dari mulut Bagas, tentang kehidupannya waktu kecil, masa remajanya yang harus ternoda karena tersandung kasus, sampai kesulitan yang harus dihadapinya setelah itu.
"Jadi, Radi itu juga merupakan anak panti sama sepertimu?" Tania tak bisa berkata-kata setelah mendengar semua cerita yang keluar dari mulut suaminya. Ada rasa kasihan mengingat betapa menderitanya Bagas waktu itu.
"Ya." Bagas tersenyum miring. "Jangan pikir dia adalah orang kaya seperti yang kau ketahui selama ini. Dia hanyalah seorang anak yang beruntung bisa dipungut oleh pengusaha kaya seperti Surya Winata, mendiang ayahnya Ajeng."
"Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"n
"Masih sama yaitu menghancurkan rumah tangga Radi dan Ajeng."
Deg
"Kasihan Ajeng, dia sangat mencintai suaminya. Selain itu, Ajeng saat ini juga tengah mengandung. Tidak bisakah kau pikirkan hal itu lagi?" pinta Tania.
"Apa? Ajeng mengandung?"
"Iya."
HAHAAHAHAAA
Tiba-tiba Bagas tertawa kencang. "Memang benar-benar bangs*t kau Radi. Di saat simpananmu hamil besar, istri sah mu juga mengandung."
Tania terkejut mendengar ucapan suaminya yang sedang terbahak itu. "A-apa maksudnya, Mas?"
"Radi selingkuh," ucap Bagas begitu tawanya berhenti.
"Jangan mengada-ada, itu tidak mungkin. Radi begitu mencintai Ajeng, tak mungkin dia berbuat curang seperti itu!" sanggah Tania tak percaya.
"Cinta? Hahaha, aku kasihan pada Ajeng karena sudah dibodohi oleh Radi. Maka dari itu aku ingin memisahkan mereka berdua. Ajeng terlalu baik untuk seorang pengkhianat seperti Radi."
Bagas bangkit berdiri dari duduknya. Ia masuk ke dalam kamar dan setelah itu keluar membawa sebuah amplop coklat yang cukup besar.
"Jika masih belum percaya, kau bisa lihat ini!" kata Bagas seraya menyodorkan amplop itu ke hadapan istrinya.
Dengan rasa tidak percaya, Tania membuka amplop itu. Matanya melotot kala mendapati beberapa foto yang menunjukkan kedekatan Radi dengan seorang wanita berperut buncit.
"I-ini?" Tergagap, Tania mencoba berkata.
"See? Betapa brengseknya dia. Apa kurangnya Ajeng hingga dia sampai hati menduakan wanita sebaik itu."
Tania yang masih memerhatikan lembaran foto itu mulai berkaca-kaca matanya. Dia yang bukan Ajeng saja merasa tersakiti melihat hal itu, apalagi Ajeng yang mengalaminya sendiri.
"Apa kau tega membiarkan Ajeng terus dibohongi oleh pria pengecut model Radi?" hasut Bagas.
Tania menggeleng. "A-apa yang harus kita lakukan?"
"Kau mau membantuku?"
Tania mengangguk. "Selama ini Ajeng sudah banyak membantuku. Kali ini aku juga ingin membantunya. Radi begitu jahat, dia tidak pantas bersama dengan wanita baik seperti Ajeng."
"Bagus. Sekarang aku mau kau kembali ke apartemen Ajeng. Tinggal lah di sana untuk beberapa waktu lagi," pinta Bagas.
"Kenapa?" Tania bingung. Mereka sudah berbaikan, untuk apa tinggal terpisah lagi.
Bagas menggenggam tangan Tania dan menatap istrinya itu serius. "Aku ingin kau dan Arka tetap aman."
"Maksudnya?"
"Beberapa hari ini aku merasa diikuti oleh seseorang. Aku khawatir jika itu adalah orang suruhan Radi."
"Apa? Bagaimana dengan dirimu? Jika nanti dia menangkapmu, lalu bagaimana dengan nasib kami?" Tania memandang Arka yang sedang bermain di atas karpet berbulu.
"Tidak apa, yang terpenting adalah Ajeng tahu kelakuan suaminya di luar sana."
"Ta-tapi ..."
"Sayang, aku mohon. Aku janji, aku pasti akan baik-baik saja dan kembali pada kalian."
Dengan berat hati, Tania mengangguk. "Baiklah, apa yang harus ku lakukan?"
"Kau bawalah amplop itu dan serahkan pada Ajeng secepatnya. Biarkan dia tahu kelakuan busuk suaminya. Setelah itu biarkan takdir yang bermain. Tugas kita hanya sampai di situ."
"Baiklah. Akan ku lakukan."
"Nia ..."
"Ya?"
"Aku merindukanmu ..." Mata Bagas menatap Tania penuh arti.
"Aku juga," balas wanita itu sambil tertunduk malu. Wajahnya merah merona. Ia tahu suaminya itu tengah mengajaknya untuk menuju surga kenikmatan yang sudah lama tidak mereka cecap.
Bagas menghampiri Arka dan menggendongnya. "Hei Son, waktunya tidur siang."
... ....
Sorenya, Tania bersiap untuk pulang ke apartemen. Bagas mengantarnya untuk menaiki taksi.
"Jaga dirimu dan anak kita!" Bagas mengecup kening Tania dan pipi Arka.
"Kau juga, jaga dirimu. Kalau bisa hubungi aku jika terjadi sesuatu."
"Iya, sekarang pergilah!"
Tania menaiki taksi, Bagas melambaikan tangan melepas kepergian dua orang terkasihnya.
Tania yang sudah duduk di dalam taksi merasakan perasaannya tidak enak. Ia menoleh ke belakang dan terbelalak saat melihat suaminya dibawa paksa oleh dua orang berbadan besar. Ingin menyelamatkan dengan membuntuti mereka, cuma ia teringat pesan Bagas.
"Semoga kau baik-baik saja, Mas."
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Sri Wahyuni
tdur siang son papa mau nyangkul sawah spetak dlu
2022-11-16
1
Suharnik
Kasihan Ajeng klau thu foto2 yg d berikan Tania
2021-07-01
1