...🌷Selamat Membaca🌷...
Dua minggu berlalu begitu cepat. Selama itu Radi sama sekali tidak membiarkan Ajeng melakukan apapun, bahkan beranjak dari rumah saja tidak diizinkannya. Pria itu sengaja pulang cepat setiap harinya hanya karena ingin lebih banyak waktu dengan istrinya yang tengah hamil muda. Rasanya, tidak ingin ia lewatkan setiap detik pun perkembangan calon buah hatinya yang tengah bersemayam di rahim Ajeng.
"Sayang, mau makan apa lagi? Biar aku carikan." Dari lima menit yang lalu Radi setia mengelus perut Ajeng yang saat ini sedang fokus menyaksikan acara komedi di televisi.
Wanita itu meraih tangan Radi dan menjauhkannya dari perut. "Ish ... kau lihat tidak, perutku ini sudah buncit, bukan karena babynya yang tambah besar tapi karena kau memaksaku makan terus dua minggu ini. Lihat! Lemak perutku bertambah" protes Ajeng kesal.
Radi ciut, niatnya baik, ingin istri dan calon anaknya mendapatkan asupan makanan sehat dan bergizi setiap hari, tapi ternyata hal itu membuat Ajeng marah. "Maafkan aku, sayang."
Deg
"Ma-maksudku bukan begitu, Mas. Aku sedang tidak lapar saat ini. Jika nanti aku menginginkan sesuatu, akan ku beritahu padamu." Ajeng merasa sedikit bersalah. Tidak seharusnya ia membentak Radi padahal suaminya itu bermaksud baik. Salahkan saja hormon kehamilan yang membuat dirinya sensitif belakangan ini.
"Iya, aku mengerti." Radi masih terlihat murung, membuat Ajeng meringis.
"Sayang, babynya ingin jus mangga," bisik Ajeng di telinga Radi.
Pria itu menoleh cepat, matanya seketika berbinar. "Akan segera datang." Lantas berlari ke dapur untuk membuatkan pesanan.
Ajeng dari tempat duduknya hanya bisa terkekeh. Suaminya memang begitu pengertian, membuatnya semakin cinta.
.......
Berbeda dengan hubungan Radi–Ajeng yang semakin lengket, rumah tangga Cakra–Silvia justru sebaliknya. Sudah dua minggu Cakra tidak mengacuhkan istrinya. Ia memilih menyibukkan diri di kantor, sampai pernah beberapa kali tidak pulang. Alasannya simple, ia masih tidak bisa memaafkan perbuatan Silvia yang dengan sengaja telah melenyapkan calon anak mereka.
"Bos, kau tidak pulang lagi hari ini?" tanya Eko. Pria itu adalah sahabat yang sekaligus merangkap sebagai sekretaris Cakra. Sudah jam sepuluh malam, tapi bosnya itu masih berada di dalam ruangan kantornya.
"Tidak," jawab Cakra singkat.
Eko menarik kursi di depan Cakra dan mendudukinya. Pria itu menatap sang sahabat yang nampak murung beberapa hari ini.
Drrrtt ... drrrtttt ...drrrtt ...
Ponsel Cakra yang berada di atas meja bergetar. Eko bisa melihat dengan jelas nama siapa yang tertera sebagai pemanggil dari layar ponsel bosnya yang menyala.
"Kenapa tidak kau angkat panggilan dari istrimu?" tanyanya.
"Tidak penting." Begitu jawab Cakra. Pemimpin dari perusahaan Adibrata itu terlihat sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya sedari tadi, karena setahu Eko, pekerjaan Cakra sudah beres dari tadi sore.
"Kau ada masalah dengan istrimu?" tebak Eko. Dilihat dari sikap Cakra yang mengabaikan panggilan istrinya, jelas jika hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja.
"Hm." Lagi dan lagi hanya kata singkat yang dikeluarkan Cakra.
Eko mendesah lelah melihat kelakuan sahabatanya. "Jika ada masalah sebaiknya dibicarakan baik-baik, jangan dibiarkan berlarut-larut. Sudah dua minggu ini ku lihat kau sering menghabiskan malam di kantor. Kasihan istrimu yang menunggu di rumah," jelas Eko bijak.
Cakra mendengus mendengar perkataan terakhir Eko. Apa katanya, Silvia sedang menunggu di rumah? Tidak salah? Yang ada dia lah pria menyedihkan yang selalu menunggu kepulangan sang istri di rumah. Selalu.
Eko tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri tempat duduk Cakra. "Kau tahu kan, jika masalah tidak akan pernah selesai jika kau memilih menghindarinya." Ia menepuk pelan pundak Cakra memberi semangat. "Kalau begitu aku pulang dulu, Novi dan anak-anak pasti sudah menunggu," pamitnya kemudian.
Tinggallah Cakra seorang diri di dalam ruangan luas itu, kini. Ditutupnya laptop yang sedari tadi menyala. Tubuh letihnya ia sandarkan di kursi kebesaran. Sungguh, Cakra sangat iri dengan sahabatnya. Mendapatkan istri yang siap sedia mengurus rumah tangga, diberkahi dengan sepasang buah hati yang menggemaskan. Kapan dirinya bisa seperti itu?
Jawabannya hanya ada satu, selama Silvia masih menjadi istrinya, dua hal seperti itu tidak akan mungkin didapatkannya. Jadi ... Apa langkah selanjutnya yang harus dia lakukan?
Berpisah?
Cakra langsung bangkit, mengenakan jasnya dan bergegas pulang.
.......
"Dari mana saja, kau?" Cakra duduk memangku tangan di sofa ruang tamu rumahnya. Ia menatap tajam wanita yang sudah membuatnya menunggu selama tiga jam, siapa lagi kalau bukan Silvia. Ia pikir saat dirinya sampai di rumah, wanita itu sudah berada di sana, tapi ternyata ... ah sudahlah.
"Mas, kau akhirnya pulang. Aku begitu merindukanmu." Silvia berlari lantas memeluk tubuh Cakra.
Hanya sebentar, sampai pria mendorong tubuh Silvia menjauh darinya. "Kau bau alkohol," sentaknya.
"Ya. Aku baru saja pulang minum dari club." Silvia terlihat mabuk. Ia kembali berjalan sempoyongan menghampiri Cakra dan ingin memeluknya, tapi sigap pria itu mengelak. "Eh ... kenapa? Kau tidak merindukanku, sayang?" tanya Silvia cemberut.
Cakra mencoba menahan emosinya. Wanita seperti apa yang sudah ia nikahi ini. Tiba-tiba kepalanya menjadi pusing.
"Mas Cakra ..." Silvia kembali mendekat dan langsung saja menggerayangi tubuh Cakra. Saat ia hendak mencium suaminya itu, Cakra langsung mendorong tubuh Silvia. Ia sungguh mual mencium bau alkohol dari mulut wanitanya itu
"Kau mabuk, sebaiknya tidur saja." Dipapahnya tubuh lemas itu ke kamar dan ditidurkannya. Tak lama, Silvia sudah jatuh ke alam mimpi.
Selesai menyelimuti istrinya, Cakra beranjak ke kamar tamu. Untuk malam ini, ia akan tidur di sana.
...🥀 🥀 🥀...
Silvia membuka kedua mata saat silau cahaya mengusik tidurnya. Seusai menyesuaikan bola mata dengan pencahayaan yang ada, ia lalu bangkit untuk duduk. Kepalanya terasa berdenyut akibat semalam menghabiskan beberapa gelas minuman beralkohol.
"Sudah puas tidurnya, tuan putri?" Sindiran itu keluar dari mulut Cakra yang saat ini tengah berdiri bersandar di depan dinding sembari memangku tangannya di dada.
"Mas?" Silvia keget melihat penampakan suaminya yang beberapa waktu belakangan ini jarang terlihat di rumah. "Kau sudah pulang?" tanyanya.
"Dari semalam," jawab Cakra. Tidak ada ekspresi apapun yang terlihat di muka pria itu. Hanya raut datar dan dingin yang ditampakkannya.
Silvia tertunduk sembari merutuki dirinya sendiri. Stress yang dirasakannya karena telah gagal mendapatkan jabatan ditambah sikap Cakra yang berubah dingin, membuat dirinya mumet dan berakhir di sebuah club malam.
"Bersihkan dirimu, ku tunggu di ruang makan!" Setelah mengatakan itu Cakra pun keluar kamar.
.......
Seperti biasa, mereka makan dalam keadaan hening. Silvia merasa cemas, dilihat dari ekspresi dingin suaminya, ia menebak sesuatu yang tidak baik pasti akan segera terjadi pada dirinya setelah ini.
Cakra bangkit terlebih dahulu, ia membersihkan bekas makannya dan membawa piring juga gelas kotor ke dapur.
"Ku tunggu di ruang tengah!" Sekembalinya dari dapur, Cakra berkata sambil lalu.
Perasaan Silvia semakin tidak enak, ia memilih menyudahi sarapannya karena memang sudah tidak bernafsu lagi, kemudian segera beranjak menuju ruang tengah sesuai pinta Cakra. Di sana suaminya sudah duduk dengan tenang di salah satu sofa. Setelah sampai, Silvia langsung duduk di seberang suaminya.
"Jelaskan, apa maksudnya ini?" Tanpa basa-basi, Cakra meletakkan sebuah botol ke atas meja, tepat di hadapan istrinya. Botol yang tak lain adalah botol pil penggugur kandungan milik Silvia yang sempat diambilnya sebagai barang bukti.
Silvia mematung di tempatnya. Ia menatap nanar botol yang kini tergeletak di atas meja.
"Jelaskan!" titah Cakra dengan suara yang sedikit meninggi.
Silvia menelan susah salivanya. Ia tak berani mengangkat kepala untuk menatap langsung pada Cakra. Ia sungguh takut.
"Obat apa ini?" tanya Cakra lagi. Ia menatap tajam Silvia yang sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"I-ini hanya obat untuk sa-sakit kepala." Akhirnya Silvia menjawab, meski harus berbohong. Jika ia mengatakan sejujurnya, ia takut suaminya murka.
Cakra tersenyum sinis, walau Silvia tidak bisa melihatnya karena wanita itu masih menundukkan kepala. "Oh, jadi obat ini bisa menyembuhkan sakit kepala sekaligus menggugurkan kandungan, begitu?"
Deg
Sarkasme dari Cakra membuat Silvia mendongak. Wajah cantik wanita itu berubah pucat pasi, tubuhnya bergetar hebat.
"Ma-maksudmu apa, Mas?" Sekarang Silvia mengerti apa yang menjadi sebab berubahnya sikap Cakra belakangan ini. Jadi, kebusukannya sudah diketahui.
"Sudahlah, jangan pura-pura bodoh. Aku hanya ingin tahu alasanmu, kenapa kau membunuh calon ANAKKU!" tekan Cakra diakhir katanya.
Deg
"Ma-maafkan aku ..." Kepala itu kembali menunduk.
"Seharusnya jika kau tidak mau mengandung anakku, katakan saja!" ucap Cakra.
Silvia mendongak untuk kedua kalinya, merasa bingung dengan perkataan yang baru saja diucapkan Cakra. Namun, nyatanya perkataan itu belumlah usai, karena setelahnya, Silvia seperti mati berdiri mendengar kelanjutannya.
"Aku bisa mencari wanita lain yang mau mengandung dan melahirkan anakku."
Deg
Silvia kalang kabut. "A-apa maksudmu, Mas? Mencari wanita lain sementara kau sudah memilikiku sebagai istrimu."
Cakra tertawa. "Apa, istri?"
Wanita itu terdiam melihat reaksi Cakra.
"Istri macam apa yang lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan dengan suaminya, istri macam apa yang membiarkan suaminya sering kesepian di rumah, istri macam apa yang dengan tega membunuh calon anak yang sudah diimpi-impikan oleh suaminya. COBA KAU JELASKAN, ISTRI MACAM APA ITU, HAH?" Diakhir kalimat Cakra tak dapat lagi menahan emosinya. Perasaannya meluap seketika, semua beban di hati ia keluarkan begitu saja.
Silvia tercekat, ia ketakutan setengah mati melihat wajah merah padam suaminya. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya untuk menyangkal, karena apa yang diucapkan Cakra adalah benar. Selama ini ia sering mengabaikan suaminya itu.
"Sebaiknya kita berpisah saja."
Deg
"Tidak ... tidak, jangan Mas. Aku tidak ingin berpisah." Silvia menghampiri Cakra dan berjongkok di kaki suaminya. Ia memohon-mohon agar Cakra tidak menceraikannya. Air mata sudah bercucuran dari mata indah wanita itu.
"Aku mencintaimu, Mas. Aku tidak akan sanggup hidup jika tidak ada dirimu, di sisiku," ucap Silvia mengiba. Ia mencintai Cakra, pria tampan dan mapan yang bisa mengangkat derajatnya. Tak akan ia biarkan pria sesempurna Cakra lepas dari genggamannya apalagi sampai jatuh ke pelukan wanita lain. Sungguh tak rela dirinya jika itu sampai terjadi. Cakra hanya miliknya sampai kapan pun itu.
Cakra memandang datar wanita yang tengah bersimpuh dan menangis di kakinya. Cintanya pada wanita itu seperti batu yang terkikis air hujan. Batu yang begitu kuat akan hancur juga jika terus dihujam oleh tetesan air hujan, begitu pula cintanya pada Silvia, habis terkikis oleh kebohongan dan juga kesakitan yang diberikan wanita itu.
"Keputusanku sudah bulat. Kita akan bercerai!"
Setelah mengatakan itu, Cakra pergi meninggalkan Silvia yang tergugu menangis di lantai.
.... ...
"Rasanya tidak ingin berangkat ke kantor. Ingin di rumah bersamamu dan baby," rajuk Radi seperti anak kecil.
"Ya Tuhan, jangan berlebihan. Jika kau tidak bekerja, mau diberi makan apa anakku kelak," protes Ajeng yang kesal karena Cakra ogah-ogahan berangkat bekerja, padahal ia sudah berada di ambang pintu untuk melepas kepergiaan suaminya itu.
"Baiklah." Pria itu menurut pasrah. Sebelum pergi ia cium seluruh permukaan wajah sang istri, tak lupa perut yang kini tengah bersemayam darah dagingnya.
"Baby, tolong jaga Ibumu ya, tegur dia kalau masih melakukan pekerjaan rumah!" peringatan Radi pada janin dalam kandungannya membuat Ajeng tertawa kecil. Lucu sekali suaminya ini.
"Sudah, sana pergi!" usir Ajeng.
"Iya sayang, hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."
"Iya, sayang."
Cup
"Sekali lagi, hehe."
Radi langsung berlari kecil ke arah mobilnya setelah mencuri satu kecupan kilat di bibir sang istri.
Baru saja duduk di kursi kemudi, ponsel Radi berbunyi. Sebuah pesan dari nomor seseorang yang beberapa hari ini diberinya tugas.
08××××××××××
[Kami sudah berhasil menangkap orang itu, sekarang dia berada di markas kami]
...Bersambung...
...Jangan lup Vote & Comment ya, Readera ......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Sri Wahyuni
tolol jg s bagas knp ngrim bukti y ga liat2 dlu apa s ajeng ada d rumah ga nya
2022-11-16
1
Cut Nyak Dien
nah looooo ketangkep kn ,emng dwit jadi raja pkok e
2021-04-29
4