...🌷Selamat Membaca🌷...
Pagi menyapa, Radi terlihat tengah bersiap-siap. Di depan cermin, ia berkaca sembari memasang dasi. Biasanya ini tugas Ajeng, tapi semenjak istrinya itu mengalami kebutaan, ia jadi sungkan untuk meminta tolong. Takut wanita yang sangat dicintainya itu tersinggung.
"Sayang, aku berangkat ke kantor ya." Radi menghampiri Ajeng yang masih pulas, ia pamit untuk pergi bekerja. Tak lupa ia berikan satu kecupan di kening istrinya.
.......
Ajeng menggeliat pelan. Perlahan, ia membuka mata. Bayangan kamar miliknya terlihat samar. Lambat laun pandangan kabur itu berubah semakin jelas dan cahaya matahari pagi langsung menyambutnya.
Sepasang mata bermanik coklat itu membola. "Aku bisa melihat. Aku bisa melihat lagi," pekiknya tertahan. Untuk lebih memastikan, ia edarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Dan ya, semua terlihat jelas.
"Aku harus memberi tahu mas Radi" Ajeng bangkit dari tempat tidur hendak mengejar suaminya. Namun, langkahnya tertahan saat sampai di depan pintu. Ingatan akan kejadian semalam kembali hadir di benaknya. Radi pulang ke rumah membawa aroma wanita itu di tubuhnya.
"Apa aku harus berpura-pura buta untuk mengungkap perselingkuhan suamiku?" pikirnya.
Ajeng mundur, ia duduk pada sofa yang ada di kamar sambil berpikir langkah apa yang harus ia ambil.
"Baiklah, aku akan memainkan peranan ini."
.......
"Sayang, kita pergi dari sini ya. Mama sudah tidak sanggup hidup sama papa kamu lagi. Mama tersiksa, mama harus melakukan semua hal yang bertentangan dengan prinsip mama." Tania selesai mengepak semua bajunya dan juga anaknya.
"Ayo sayang, kita pergi." Saat hendak meraih sang anak ke dalam gendongan, pintu kamar terbuka lebar.
"Mau ke mana? Mau kabur?" Pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah mengeras. Matanya tajam menantang sang istri yang terlihat ketakutan.
"A-aku mau pergi," cicit Tania dengan kepala tertunduk takut.
"Kau mau pergi?" Pria itu mendekat hingga jarak mereka tinggal satu langkah saja. "Silakan!"
Tania mendongak, tak percaya dengan ucapan suaminya.
"Sana pergi!"
"I-iya, terima kasih." Tania bergegas. Ia mengambil anaknya yang sedang bermain di atas kasur.
"Kau boleh pergi, tapi tidak dengan membawa anakku!"
Deg
"Apa?" Tania mendekap erat Arka yang sudah berada dalam gendongannya. "Dia juga anakku. Dia masih kecil dan membutuhkan aku sebagai ibunya!"
"Aku tidak mau tahu. Jika kau ingin pergi, pergi sendiri. Jangan bawa anakku!" Pria itu merebut Arka dari tangan Tania.
"Mas Bagas!"
"Silakan pergi." Pria bernama Bagas itu membawa Arka pergi.
"Tidak. Aku tidak mau pergi. Kembalikan anakku!" Tangis Tania pecah. Ia mengekori Bagas untuk meminta kembali anaknya.
"Kau tidak jadi pergi?" Bagas berbalik dan menatap remeh pada istrinya.
Tania menggeleng cepat. Ia tak akan pergi jika sang anak tidak ikut bersamanya.
"Bagus. Ambil anakmu ini." Bagas menyerahkan kembali Arka pada ibunya. "Sekarang masuk kamar dan jangan coba-coba untuk kabur. Kalau sampai kau membantah, ku pastikan kau tak akan bisa melihat Arka lagi!"
Tania mengangguk. Ia peluk dan ciumi bayinya dengan sayang.
"Ma–ma," panggil Arka terbata. Bayi menggemaskan itu menatap wajah penuh air mata sang ibu.
Tania kaget sekaligus terharu. Ini adalah kata pertama sang anak.
"Kau memanggil mama, Nak?" Tania memastikan pendengarannya sekali lagi.
"Mma-ma..." Bayi sembilan bulan itu menepuk-nepuk pipi Tania seakan ingin menghapus air mata yang membasahi wajah cantik sang ibu.
"Iya sayang, mama menangis karena senang, sekarang anak mama sudah bisa memanggil mama." Tania kembali menghujani putranya dengan ciuman di seluruh wajah, membuat bayi itu tertawa karena geli.
"Mama janji, mama akan bawa kamu keluar dari tempat ini. Kita pergi jauh ya sayang, kita bisa hidup berdua dengan tenang."
.......
"Bang, apa aku salah kalau harus berpura-pura buta seperti ini?" tanya Ajeng. Kini ia dan asisten pribadinya itu berada di taman belakang, duduk berdua sembari menikmati secangkir teh.
Robi tahu jika Ajeng sudah bisa melihat karena wanita itu sendiri yang memberitahu.
"Kau tidak salah, Nona. Cuma, jangan terlalu lama karena dampak ke depannya pasti juga tidak akan baik."
Ajeng mengangguk. Ia juga cemas jika suatu saat nanti Radi tahu jika ia sudah bisa melihat tapi berpura-pura masih buta hanya untuk mengungkap kecurigaan akan perselingkuhan suaminya itu.
"Akan aku pikirkan hal ini baik-baik."
Drrt ... drrtt ... drrtt...
Ponsel di atas meja bergetar. Ajeng melirik nama pemanggil. Radi. Ia membiarkannya berdering cukup lama sampai kemudian memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo sayang ..." Suara di seberang sana menyapa.
"Ya, ada apa, Mas?" jawab Ajeng.
"Kau baik-baik saja?" Terdengar nada khawatir dari suara Radi.
"Hm. Aku baik. Kenapa?" Walau masih ada rasa curiga akan kejadian semalam, tapi Ajeng berusaha untuk terdengar baik-baik saja.
"Syukurlah. Oh ya, aku lupa mengatakan kalau malam ini kita akan kedatangan tamu."
"Siapa?"
"Rekan bisnisku. Dia akan datang makan malam bersama istrinya di rumah kita."
"Baiklah, aku akan mempersiapkan semuanya."
"Kau istirahat saja, suruh para pelayan untuk mempersiapkan jamuan," pinta Radi.
"Baiklah, kalau begitu aku tutup teleponnya-"
"Tunggu dulu, Sayang!"
"Ada apa?"
"Aku sudah mendapatkan rekomendasi dokter spesialis mata yang terbaik di kota ini, kita akan segera memeriksakan matamu."
Hening...
Ajeng terdiam. Jika diperiksa, maka akan ketahuan kalau dia sudah bisa melihat. Bagaimana ini?
"Sayang?"
"I-iya." Hanya kata itu yang mampu diucapkan Ajeng.
"Baiklah. Sampai ketemu nanti sayang, Love you..."
"Love you too."
Pip
"Ada apa Nona, kau terlihat gelisah?" tanya Robi.
"Tidak apa-apa. Aku masuk dulu karena ada hal yang harus ku lakukan." Ajeng bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, ia masih bertingkah seperti orang buta agar para pelayan tidak banyak bertanya.
.......
Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Cakra mondar-mandir menunggu kepulangan Silvia dengan gelisah.
"Maaf, aku terlambat." Wanita itu masuk ke dalam rumah dengan berlari kecil.
"Kita hampir terlambat, cepatlah bersiap-siap!" suruhnya pada sang istri.
"Baiklah."
Cakra berdecak kesal. Salah satu kebiasaan Silvia yang terkadang membuatnya bosan adalah tidak pernah tepat waktu. Selalu terlambat jika sudah berjanji, dan nanti alasannya pasti hanya satu yaitu kerjaan.
.......
Radi memeluk Ajeng dari belakang saat istrinya itu berdiri di depan cermin.
"Kau terlihat sangat cantik malam ini," bisik Radi.
Ajeng tersenyum. "Aku tidak ingin membuat suamiku malu. Walaupun aku tidak bisa melihat tapi setidaknya aku bisa tampil cantik," ucap Ajeng berpura-pura.
"Bagaimana pun keadaanmu, kau tidak pernah membuatku malu. Wajahmu dan hatimu, keduanya sama-sama cantik. Jadi jangan berkata seperti itu lagi ya, aku tak suka."
Ajeng berbalik menghadap suaminya. Ia raba wajah tampan itu dengan kedua tangannya.
"Terima kasih karena sudah mau menerimaku yang cacat ini," lirih Ajeng berucap.
"Ssstt ... sudahku bilang jangan berkata seperti itu lagi. Aku tak suka!"
"Maaf."
"Jangan meminta maaf karena kau tak berbuat salah!"
"Ck, banyak protes."
Cup
Radi mencium bibir istrinya yang mengerucut lucu.
"Ayo kita ke bawah, sebentar lagi tamunya akan datang." Radi menggandeng tangan istrinya menuju ruang makan di rumah mewah mereka.
.......
"Selamat malam, Pak Radi." Cakra menyapa tuan rumah.
"Selamat malam, Pak Cakra." Tuan rumah balik menyapa tamunya yang baru saja datang. Mereka saling berjabat tangan.
"Perkenalkan ini istriku Silvia," kata Cakra.
Radi menatap wanita cantik berambut pendek yang berada di sisi Cakra. Lantas ia mengulurkan tangan. "Radi dan ini istriku Ajeng."
Gantian Cakra yang melihat istri dari rekan kerjanya. Seorang wanita cantik dengan rambut panjang, kulit putih dan bola mata bening yang begitu memesona.
"Ajeng." Ajeng memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangannya hendak berjabat, cuma tangannya terulur tidak pada arah semestinya.
Cakra yang paham, segera membalas jabat tangan itu. "Cakra," katanya.
Ajeng mengangguk dan melepaskan tangannya yang masih digenggam Cakra. Ia ulurkan lagi tangannya pada Silvia. Silvia yang mengerti pun langsung melakukan hal yang sama seperti suaminya.
"Ajeng."
Kini dua pasang pasutri itu sudah duduk di meja makan. Cakra berhadapan dengan Ajeng dan Silvia berada di sampingnya, sementara Radi berhadapan dengan Silvia dan Ajeng berada di sampingnya.
"Ayo silakan dinikmati hidangannya," ucap tuan rumah.
Mereka pun memulai makan malam. Terkadang dua pria itu membahas bisnis di sela-sela acara makan.
"Kau mau minum, Sayang?" tanya Radi saat melihat Ajeng meraba-raba meja makan.
Istri dari Radi itu mengangguk.
"Ini minumnya." Radi memberikan segelas air ke tangan Ajeng.
Silvia melihat interaksi pasangan itu dengan kagum. Radi terlihat sangat cekatan dalam membantu istrinya.
Sama seperti Silvia, Cakra juga menatap pasangan di depannya. Ia pernah mendengar kabar jika istri Radi mengalami kecelakaan seminggu yang lalu tapi dia tidak tahu kalau wanita itu akan mengalami kebutaan.
Tiba-tiba terlintas suatu ingatan di benak Cakra. Saat selesai meeting waktu itu, Radi tampak mesra dengan sekretarisnya.
"Apakah dia mengkhianati istrinya karena buta?" pikir Cakra.
Cakra terus menatap pasangan itu bergantian. Jika dilihat-lihat, Radi sangat mencintai Ajeng dan seperti tidak akan tega mengkhianatinya. Namun, bagaimana dengan yang dilihatnya waktu itu?
Terlalu fokus melihat pasangan itu, Cakra tak sengaja bersitatap dengan si pemilik mata bening dan itu cukup lama.
Deg
"Dia bisa melihat?" Cakra membatin, shock.
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers.....
...🙏🏻😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Rena Agustina
waahhh si Cakra peka bangett ketahuan deh si Ajeng
2021-11-19
0
Lintang Maharani
i give the flower for you thor
2021-11-03
3
Lintang Maharani
good story
2021-11-03
0