...*🌷Selamat Membaca🌷*...
Di sebuah area pemakaman, nampak seorang anak lelaki berumur 7 tahun berdiri mematung di depan dua buah pusara. Satu pusara lama dan satunya lagi pusara baru. Sang ayah, satu-satunya keluarga yang tersisa kini telah pergi meninggalkan dirinya seorang diri.
Anak laki-laki itu adalah Radi. Seorang bocah malang yang mulai sekarang akan hidup sebatang kara. Tidak ada air mata kesedihan yang mengalir dari mata sendunya. Tatapannya kosong seakan raga itu telah kehilangan jiwa.
"Ku dengar tuan Reksa meninggal karena serangan jantung. Perusahaannya bangkrut hingga membuatnya memilih menyerah pada kehidupan. Kasihan putra sematawayang yang ia tinggalkan, entah siapa yang akan merawatnya setelah ini."
"Bukankah tuan Reksa memiliki adik perempuan, pasti dialah yang akan merawat keponakannya."
Bisik-bisik itu terdengar dari orang-orang yang memadati area pemakaman.
Tak berselang lama, hujan mulai turun lebat. Satu persatu orang pergi meninggalkan area.
"Nak, ayo kita pulang!" Seorang nenek berpayung hitam datang menghampiri dan memayungi bocah malang itu.
"Aku mau di sini saja, Nek."
"Kita harus pulang, Nak. Terlalu lama di sini nanti kau bisa sakit." Wanita tua itu membujuk Radi agar mau pulang.
"Kenapa ayah dan ibu tidak membawa Radi saja, Nek. Kenapa aku ditinggalkan sendiri di sini. Aku tak punya siapa-siapa lagi sekarang." Begitu pilu suara yang keluar dari mulutnya, membuat hati siapa saja yang mendengarnya menjadi teriris.
"Kau tidak sendiri, Nak. Masih ada nenek, paman, bibi dan sepupumu. Kau masih memiliki kami, ayo nak kita pulang." Si nenek menggandeng tangan Radi dan membawanya pergi meninggalkan makam kedua orang tuanya.
.......
"Aku tidak bisa mengizinkan anak itu tinggal di sini. Kau tahu kan, sejak perusahaan kakakmu bangkrut, aku tidak memiliki pekerjaan lagi. Aku harus mencari pekerjaan baru, belum lagi anak kita juga membutuhkan biaya yang besar untuk sekolahnya."
"Lalu apa yang harus ku lakukan? Hanya aku yang dia punya saat ini."
"Lebih baik masukkan saja dia ke panti asuhan, lagian kan dia sudah jadi yatim piatu."
"Baiklah."
Setelah perdebatan yang alot antara suami istri itu, akhirnya si istri mengalah. Ia menerima segala keputusan suaminya yaitu menitipkan keponakan kecilnya di panti asuhan.
Di balik pintu ruangan tempat pasutri itu berdebat, Radi berdiri di sana dengan hati tercabik. Dirinya sudah tidak lagi diinginkan, lebih baik ia pergi saja.
.......
Saat hari merangkak semakin malam, di saat semua orang sudah terlelap dalam mimpinya. Radi keluar dari rumah yang ia pikir akan menjadi tempatnya pulang, tapi ternyata keberadaannya sama sekali tidak diinginkan di sana. Dari pada dirinya menjadi beban, lebih baik ia pergi saja secara diam-diam. Lagipula tidak akan ada yang peduli.
Radi melangkah menapaki jalanan yang sepi dengan tas ransel yang melekat di punggung. Beruntungnya, malam ini langit berhiaskan bulan yang menggantung di atasnya. Jadi, malam yang gulita bisa sedikit terang demi menuntun langkah kecil bocah kesepian itu.
Radi berhenti di sebuah gerbang rumah yang sangat mewah. Di pagarnya telah dipasang papan pemberitahuan bahwa rumah itu telah disita oleh bank. Tangan kecil Radi mencengkram erat besi-besi pagar yang sedikit basah karena guyuran hujan sore tadi. Mata sendu itu menatap jauh ke halaman rumah yang terlihat sunyi. Di sanalah dulu ia menghabiskan waktu dengan bermain. Ayah yang mengajarinya bersepeda dan ibu yang akan berlari mengejar saat Radi tidak mau disuapi.
Bulir-bulir bening mulai bercucuran jatuh dari mata Radi. Mengingat semua kenangan itu, membuat rasa rindu pada dua orang terkasihnya menjadi semakin besar. Kembali ia langkahkan kaki kecilnya menyusuri jalanan, sebagai pengusir rindu, bocah itu memilih mengunjungi makam kedua orang tuanya.
.......
Pagi menyapa, sinar matahari yang benderang serta kicauan burung-burung yang bertengger di pepohonan membuat Radi kecil terbangun dari tidur lelapnya.
"Selamat pagi Ayah, selamat pagi Ibu." Bocah itu bergantian menyapa dua pusara yang mengapitnya. Semalam, ia tidur nyenyak karena orang tuanya ada bersama dirinya, walau hanya dalam bentuk jasad yang sudah terkubur di dalam tanah.
"Ayah ... Ibu, hari ini Radi akan pergi. Bibi dan paman tidak mau mengurusku, jadi aku akan pergi ke panti asuhan, kata paman anak yatim piatu itu tinggalnya di panti asuhan," cerita bocah itu pada dua pusara di depannya.
"Radi sayang ayah, sayang ibu juga."
Setelah mencium kedua nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya, Radi pun pergi menyongsong hari barunya.
.......
Radi telah sampai di depan sebuah panti asuhan yang tidak ia ketahui di mana letaknya. Ia hanya berjalan tak tentu arah. Di saat berpapasan dengan beberapa orang, ia sempat bertanya dimana panti asuhan berada. Dan sore ini, sampailah ia di tempat yang akan menjadi rumah barunya.
Bocah tampan itu memasuki pekarangan panti yang terlihat asri. Banyak anak-anak seumurannya nampak bermain di halaman dengan gembira. Radi bingung, bagaimana caranya meminta izin agar bisa tinggal di sana.
"Selamat sore." Radi melihat seorang wanita berusia sekitar 30 tahunan sedang mengawasi anak-anak bermain, lantas ia menghampirinya.
"Sore." Wanita itu menyahut sapaan Radi.
"Bibi, benarkah ini panti asuhan?" Sebenarnya Radi tidak perlu bertanya karena tadi dia sudah melihat plang yang bertuliskan Panti Asuhan Permata Hati, tapi bocah itu hanya ingin memastikan.
"Iya, Nak. Ini panti asuhan. Ada apa? Dengan siapa kau kemari? Di mana orang tuamu?" Wanita yang merupakan salah satu pengurus panti itu bertanya.
"Bibi, bolehkah Radi tinggal di sini?" Bukannya menjawab pertanyaan si ibu panti, Radi malah balik bertanya.
Si wanita terlihat bingung, ia pun berjongkok menyamakan tingginya dengan Radi. Ditatapnya wajah lelaki kecil itu yang terlihat lelah dan sedikit kumal.
"Kenapa kau mau tinggal di sini, Nak? Coba ceritakan pada ibu. Apa yang terjadi?" tanya si wanita.
"Orang tua Radi sudah meninggal. Radi tidak punya siapa-siapa lagi. Kata paman, anak yatim piatu itu tinggalnya di panti asuhan. Makanya, Radi datang ke sini." Cerita Radi membuat si wanita terenyuh.
"Siapa namamu, Nak?" Ibu panti itu mengelus rambut Radi dengan sayang.
"Namaku Radi Nugraha."
"Ayo, sekarang kita masuk dulu. Ibu akan mengantarkanmu ke kamar." Si Ibu menggandeng lengan Radi dan membawanya masuk ke dalam panti. Radi mengikuti si ibu dengan pasrah.
"Apa kau lapar, Nak?" tanya wanita itu saat dalam perjalanan.
Radi menyentuh perutnya yang sedari tadi meraung minta diisi. "Iya Bu, Radi belum makan dari pagi."
"Ayo, nanti kau mandi dulu setelah itu kita makan."
Radi mengangguk. Syukurlah, ia diterima di tempat ini.
.......
Malamnya, Radi duduk di ranjang kecil yang akan menjadi tempat tidurnya mulai sekarang. Dibukanya ransel yang seharian tadi disandangnya.
"Ayah ... ibu." Radi menatap figura foto yang baru saja ia keluarkan. Sebuah potret keluarga bahagia tercetak di sana. Ada ayah, ibu dan Radi yang saat itu masih berumur empat tahun. Foto terakhir yang diambil sebelum sang ibu menghembuskan napas terakhir karena penyakit yang dideritanya.
"Radi sekarang sudah ada di panti asuhan, orang-orang di sini baik semua. Ibu dan ayah tidak perlu khawatir, Radi pasti akan baik-baik saja." Jemari kecilnya mengusap foto tepat di wajah ayah dan ibunya.
"Hei, siapa mereka?" Seorang anak seumuran Radi berseru penasaran. Dia duduk di sebelah Radi dan ikut menatap foto di tangan si bocah, si penghuni baru di panti asuhan.
Radi menoleh, menatap bocah berambut hitam di sampingnya. "Ini ayah, ini ibu dan ini aku." Radi menunjuk satu persatu wajah yang ada di dalam foto berikut keterangannya.
"Di mana mereka sekarang?" tanya bocah itu lagi.
"Mereka ada di surga bersama Tuhan."
"Oh, berarti sama dong, kakakku juga ada di surga."
"Kakakmu sudah meninggal?"
"Iya, kakakku dulu tinggal di sini juga tapi sekarang kakak sudah meninggal."
"Ayah dan ibumu ke mana?"
"Ayah dan ibu? Aku tidak punya. Dari kecil aku sudah tinggal di sini."
Dua anak bernasib sama itu saling berbincang, mereka membicarakan banyak hal.
"Oh ya, siapa namamu? Tadi saat ibu Melati memberitahu, aku tidak terlalu jelas mendengarnya."
"Radi, kau?"
"Bagas."
"Apa sekarang kita berteman?" tanya Radi.
"Tentu."
... ....
Sepuluh tahun kemudian...
Radi dan Bagas tumbuh menjadi remaja yang tampan. Mereka sudah lulus sekolah menengah atas. Perjuangan mereka untuk sampai ke tahap ini juga tidak mudah. Sedari kecil mereka sudah bekerja serabutan untuk membiayai sekolah. Panti asuhan tempat mereka tinggal hanyalah panti asuhan kecil, kadang mereka dapat kucuran dana dari donatur dan kadang tidak sama sekali. Anak-anak yang sudah remaja berupaya mencari kerja apa saja agar bisa membantu mencukupi semua kebutuhan di panti asuhan. Termasuk Radi dan Bagas.
"Kak Radi, Kak Bagas!" Seorang remaja perempuan berlari menghampiri keduanya yang baru saja pulang bekerja.
"Ada apa, Sari?" tanya Bagas.
"Kak, Heru terus merintih kesakitan di dalam kamarnya," beritahu Sari.
"Apa?" Mereka bertiga segera berlari ke kamar yang ditempati anak panti bernama Heru.
"Arrghhh, sakit ..."
Benar saja, Heru terbaring gelisah di ranjang sembari mengerang. "Sakitt ... Perutku sakit sekali," rintihnya.
"Apa bu Mel sudah tahu?" tanya Bagas.
"Bu Mel sedang istirahat, Kak. Beliau mengalami demam sejak semalam."
"Ya Tuhan."
"Sudahlah. Kita harus membawa Heru ke rumah sakit." Radi langsung menggendong anak umur 5 tahun itu.
.......
"Pasien harus segera dioperasi."
Radi dan Bagas tertunduk lesu saat mengetahui jika Heru menderita usus buntu. Ia harus segera dioperasi sementara mereka tidak memiliki dana untuk itu. Beberapa bulan ini, panti memang mengalami krisis donatur.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bagas kalut.
"Kita coba meminjam uang di tempat kita bekerja." Radi mengusulkan.
"Baiklah. Kita harus bergegas, Heru harus segera dioperasi." Ya, rumah sakit tidak akan pernah bertindak sebelum biaya administrasi terlunasi.
Pergilah kedua orang itu ke tempat mereka bekerja. Bagas bekerja di sebuah restoran sebagai waitres sementara Radi bekerja menjadi kasir di sebuah mini market.
Setengah jam kemudian mereka bertemu di tempat janjian. Tidak ada satu pun dari keduanya yang mendapatkan pinjaman.
"Apa yang harus kita lakukan?" Radi mengacak surainya frustasi. Sementara Bagas hanya bisa menutup wajah dan mendesah lelah.
Mereka berjalan menyusuri jalanan, tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya operasi Heru.
"Di!" panggil Bagas yang berhenti berjalan.
"Ya?"
"Itu!" Bagas menunjuk sesuatu di depan mereka dengan dagunya.
Radi pun mengalihkan pandangannya ke depan, terlihat seorang wanita kaya yang sedang kesusahan memasukkan belanjaannya ke dalam mobil.
"Ada apa dengan wanita itu?" tanya Radi tak mengerti.
"Wanita itu terlihat sangat kaya dan dia hanya sendiri. Kita akan mengambil tasnya ..."
"Apa? Kau mau kita mencuri?" Radi sama sekali tidak percaya dengan usulan Bagas.
"Tidak ada jalan lain, kau mau sampai Heru kenapa-napa? Tidak kan? Jadi ikuti saja rencanaku ini."
"Tapi-,"
Sudah terlambat, Radi tidak sempat menahan Bagas. Sahabatnya itu sudah lebih dulu maju. Radi hanya bisa melihat dari jauh.
"Pencuri!" Tak lama terdengar suara pekikan yang berasal dari wanita yang merupakan target mereka. Radi gemetaran di tempat saat melihat Bagas tengah berebut tas dengan si wanita.
Beberapa orang di sekitar tampak menoleh, Radi semakin ketakutan.
"Pencuri!" teriak si wanita lagi. Bagas sudah berhasil mendapatkan tasnya. Ia berlari menghampiri Radi, namun beberapa orang yang mengetahui kejadian itu tampak mengejar.
"Lari!" Bagas memekik.
Semua orang kini melihat ke arah mereka, Radi yang ketakutan, refleks menjegal kaki Bagas hingga membuat sahabatnya itu terjatuh.
"Pencuri!" Semua orang kini mulai mengerubungi Bagas dan memukulinya.
Tubuh Radi gemetaran melihat Bagas yang digebuki beberapa orang. Ia berupaya setenang mungkin agar orang-orang di sana tidak tahu jika ia bersama dengan Bagas.
"Maafkan aku, Gas."
Radi memungut tas si wanita yang tergeletak di jalan dan mengembalikannya pada si pemilik.
"Terima kasih," ucap si wanita.
"I-iya."
Radi menundukkan kepalanya, tidak berani melihat sahabatnya yang mungkin sudah babak belur di depan sana.
"Ayo kita bawa pencuri ini ke kantor polisi!" Teriakan itu terdengar jelas di telinga Radi.
Remaja tampan itu mendongak, melihat sahabatnya yang digiring kasar oleh orang-orang yang tadi mengebukinya sampai seluruh tubuh itu terlihat lebam.
"Bagas ..." Radi mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Perasaan campur aduk kini memenuhi ruang hatinya.
Saat mata memar Bagas bersirobok dengan matanya, dengan sengaja Radi mengalihkan pandangan.
"Maafkan aku, maaf."
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Masiah Firman
tadi tdk salah......Bagas yg salah jalan .... berarti Radi orangnya jujur
2021-07-05
2
lisna widyasmoro
radi parah bgt punya temen bukannya di tolong malah dikhianati.
2021-07-04
2
Cut Nyak Dien
dendam masa lalu
2021-04-29
3