...🌷Selamat Membaca🌷...
Cakra
Tangan mungil dengan jemari lentik itu terasa pas dalam genggamanku. Tanpa kuduga ternyata dia juga membalasnya. Kurasakan kulit mulus dan panas itu menyentuh kulitku yang seketika membuat darah dalam tubuh berdesir hebat. Seorang wanita yang kesedihannya membuatku iba, kenapa kini aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Entah apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku tidak akan pernah peduli pada perasaan orang lain. Namun berbeda dengan wanita ini, ia seperti memiliki daya tarik yang membuatku tak bisa mengabaikannya begitu saja. Apa gerangan yang sudah terjadi pada diriku?
Ah ... sudahlah. Cepat atau lambat jawaban itu akan segera ku temukan. Satu yang jelas untuk saat ini adalah mengejar tersangka yang menjadi beban penderitaan wanita dalam genggamanku.
"Ayo! Dia menuju stasiun." Ku percepat kaki ini berlari. Ku bawa dia dalam pelarian. Sampai di stasiun, kami temukan sosok yang menjadi target pengejaran.
"Tania!" Genggaman itu dilepas paksa. Ia berlari mengejar seorang wanita dengan bayi yang akan masuk ke dalam kereta. Aku hanya membuntuti dari belakang.
Ajeng
"Tania!" Aku berseru dengan nada tinggi saat melihat wanita yang menjadi sumber masalah dalam rumah tanggaku itu akan masuk ke dalam kereta. Ku lepas genggaman tangan pada pria baik hati yang sudah menyelamtkanku tadi dan berlari menghampiri sosok Tania.
Wanita yang sedang menggendong seorang bayi itu terkejut setengah mati saat melihatku. Dia bergegas masuk ke dalam kereta tapi berhasil ku cegat sebelum dia berhasil melakukannya.
"Bisa kita bicara sebentar?" Mataku menatap penuh permohonan. Ku yakin saat ini dia pasti kaget karena aku bisa melihat. Saat langkah kaki pak Cakra berhenti tepat di belakangku, matanya semakin membeliak. Mungkin kekagetannya bertambah melihat rekan kerja suamiku itu ada di sana.
"I-iya." Ia mengangguk pelan. Wajahnya pucat, mungkin karena takut kepadaku. Padahal waktu itu dia terlihat angkuh dan begitu percaya diri untuk merebut suamiku. Sekarang, apa yang terjadi?
Akhirnya kami memilih duduk pada bangku tunggu yang ada di stasiun. Sementara pak Cakra memilih berdiri di sampingku. Pria itu masih setia menemaniku. Kebaikannya patut diacungi jempol. Tolong ingatkan aku untuk berterima kasih dan juga membalas kebaikannya.
Tatapanku kini beralih pada wanita bernama Tania itu. Kalau dilihat dari penampilan, ia bukan seperti wanita penggoda atau murahan di luar sana tapi kenapa ia begitu tega berbuat sedemikian jahatnya padaku. Merebut sesuatu yang bukan miliknya, suamiku.
"Kau mau pergi kemana?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku. Tentu saja aku penasaran ke mana dia akan pergi, bukankah hari ini dia harus bekerja.
Ku lihat dia nampak gelisah. Dipeluknya erat-erat bayi yang tidur dalam pangkuannya. Timbul rasa penasaran pada diriku, apakah bayi itu adalah hasil dari perselingkuhannya dengan suamiku yang sudah berlangsung lama? Tapi, jika ditilik kembali, aku dan mas Radi berkenalan dengannya baru beberapa bulan ini, tidak mungkin itu adalah darah daging suamiku.
"Anakmu?" Pertanyaanku tidak dijawab dan aku malah bertanya kembali.
"I-iya."
Aku memandangnya heran. Entah apa yang ia takutkan sampai harus gelisah dan gugup seperti itu.
"Kau tidak bekerja?" tanyaku.
"Pak Radi sudah lama memecatku."
Deg
Mendengar jawabannya, aku terkejut. "Kenapa bisa?"
Tania mendongak dan menatapku. Matanya berair. "Maafkan aku, Nyonya Ajeng. Maafkan aku."
Deg
Permintaan maafnya semakin membuatku bingung. Ada apa dengan dirinya. Ku tolehkan kepala menatap pak Cakra, pria itu hanya mengangkat bahu tanda tak paham. Ku kembalikan pandangan pada Tania.
"Maksudnya apa? Kau mau minta maaf karena sudah berusaha merebut suamiku?"
Tania mengangguk. "Bukan niatku ingin melakukan semua itu. Aku dipaksa melakukannya."
Deg
"Dipaksa? Oleh siapa?" Permainan macam apa ini. Aku sama sekali tidak mengerti.
Wanita itu bungkam. Ia seperti ragu untuk mengatakan siapa yang telah memaksanya. Beberapa kali ia menatapku dan kemudian menatap bayi dalam pelukannya.
"Katakan saja, jangan ragu. Aku hanya ingin tahu apa motif orang itu sehingga melakukan ini pada keluargaku," tuturku mencoba meyakinkannya.
"D-dia ... dia adalah orang yang menaruh dendam pada suamimu."
Apa? Suamiku? Mas Radi memiliki musuh? Setahuku dia orang yang baik dan tak mungkin memiliki musuh di luar sana. Apa wanita ini tengah mengarang demi menutupi kebusukannya. Sepuluh tahun aku mengenal suamiku, dia sama sekali tidak pernah berbuat jahat. Dendam apa maksud wanita ini.
"Aku tidak percaya, mana mungkin suamiku memiliki musuh. Dia orang yang baik," belaku tak terima.
"Aku tidak tahu, yang jelas orang itu memiliki dendam pada suamimu. Entah dendam apa yang dimilikinya, dia hanya menyuruhku untuk menghancurkan suamimu. Salah satu caranya adalah dengan menghancurkan rumah tangga kalian." Tania menjelaskan dengan nada emosi yang berlebihan, ia seperti muak karena terus ku sudutkan.
Aku menghela napas pelan. Aku harus tenang, tidak perlu terbawa emosi seperti dirinya. "Katakanlah, siapa orang itu?" tanyaku kemudian. Aku akan menyelidikinya sendiri setelah tahu siapa orangnya.
Tania menggeleng cepat, ia tampak ketakutan. "Aku tidak bisa. Tolong jangan paksa aku untuk mengatakannya. Nyawaku dan anakku bisa terancam." Penuh tangis ia memohon sembari memeluk bayinya. Aku jadi tak tega, kasihan anaknya.
"Ah ... baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi." Ku senderkan tubuh lelah ini pada sandaran kursi. Mencoba berpikir tentang masalah yang terjadi akhir-akhir ini.
"Nyonya!"
"Ya?" Masih dalam posisi yang sama, ku tolehkan kepala padanya.
Tania menatapku dalam, matanya beberapa kali juga melirik pada pak Cakra. "I-itu ..." Ia nampak gugup. Entah apa yang akan ia katakan.
"Se-sebenarnya aku dan pak Radi ti-tidak pernah melakukan hal itu," akunya.
Hal itu?
"Maksudmu tidur bersama?" tebakku. Maaf, aku tidak akan menyebutnya bercinta karena bercinta hanya dilakukan oleh sepasang kekasih yang saling mencintai.
"I-iya." Ia mengangguk.
"Lalu foto itu?" tanyaku.
"Foto?" Ia terlihat bingung. Langsung saja ku keluarkan ponsel dari saku celana dan memperlihatkan padanya.
Tania meringis setelah melihat foto yang dimaksud. Wajahnya memerah menahan malu melihat tampilan tak senonohnya di layar ponsel. "I-itu telah di setting seolah-olah kami sedang melakukannya. Padahal saat itu, pak Radi sedang dalam keadaan tidur setelah aku memberinya obat tidur." Lagi ia menjelaskan kejadian sebenarnya.
Di satu sisi aku merasa geram karena ia telah menjebak suamiku dengan hal menjijikkan seperti ini, tapi di sisi lain aku merasa lega karena ternyata mereka tidak benar-benar melakukan hubungan terlarang itu. "Apa orang itu yang menyuruhmu? Apa dia juga yang mengambil foto ini dan mengirimkannya padaku?"
Tania mengangguk. "Memang dialah yang menyuruhku dan juga mengambil foto ini, tapi aku tidak tahu jika dia mengirimkan foto ini padamu. Sungguh, aku merasa malu padamu Nyonya."
Aku memijit kepalaku yang tiba-tiba pusing. "Terima kasih atas kejujuranmu, Tania. Sekarang, kau mau ke mana?" tanyaku. Ku rasa sudah cukup interogasinya sampai di sini. Sisanya akan ku cari tahu sendiri.
"Aku ingin pergi jauh. Aku kabur darinya karena sudah tidak sanggup lagi menjadi boneka yang ia mainkan sesuka hati. Aku dan anakku ingin hidup bebas."
Mendengar penuturannya, entah kenapa aku jadi merujuk pada satu orang yang mungkin jadi biang masalah. Suami Tania. Apa aku benar? Ah ... entah. Nanti saja aku selidiki lagi.
"Kau sudah punya tujuan?" tanyaku lagi. Aku kasihan melihat bayinya yang mulai gelisah dalam gendongan sang ibu.
Tania menggeleng lemah. "Aku belum tahu. Rencananya aku akan pergi ke pinggiran kota."
"Mau ku bantu? Jika kau bersamaku, aku akan memastikan jika orang itu tidak akan menemukanmu."
Matanya berkaca-kaca, terharu. "Mau. Terima kasih banyak Nayonya."
"Baiklah. Akan ku hubungi asitenku untuk menjemput. Ayo sekarang kita kembali ke tokoku."
.... ...
Author
Ajeng menyerahkan beberapa kotak kue ke hadapan Cakra, termasuk kue yang tadi dipesan dan juga Ajeng pilihkan sebagai hadiah "Terima kasih, Pak. Hari ini kau sudah banyak membantu." Senyum manis Ajeng tunjukkan pada pria yang sangat baik padanya itu.
"Tidak masalah, aku senang bisa membantumu, Ajeng."
Deg
"Ah ... maaf, aku kelepasan." Saking terpesona dengan senyuman wanita di depannya, Cakra sampai tak sadar jika telah menyebut nama wanita itu tanpa embel-embel.
"Ti-tidak apa-apa. Kau boleh memanggilku begitu. Apa sekarang kita teman?" Ajeng menatap penuh harap. Tangan kanannya juga terulur minta dijabat.
Cakra tersenyum tipis. "Tentu, teman." Cakra membalas jabat tangan Ajeng dengan erat.
Keduanya menatap satu sama lain cukup lama, sampai keduanya salah tingkah dan melepas pandangan juga tautan tangan mereka.
"Ah ... aku harus pergi sekarang." Cakra bangkit dari duduknya disusul Ajeng.
"Ya. Sekali lagi terima kasih, Pak Cakra." Ajeng sedikit membungkuk.
"Cakra saja, untukmu."
Deg
"Ah ... ya. Hati-hati dijalan, Mas Cakra." Ajeng tidak bisa memanggil nama saja pada Cakra karena dapat dilihat bahwa pria itu jauh lebih tua dibandingkan dirinya, jadi ia putuskan untuk menambahkan mas di depan namanya.
"Hn. Terima kasih juga kuenya."
"Ya."
Pria itu masuk ke dalam mobil dan kemudian melesat pergi. Ajeng masih setia menatap mobil Cakra dari ambang pintu tokonya. "Ku kira dia pria dingin dan angkuh, ternyata baik juga."
.......
Cakra sampai di kediaman orang tuanya. Seorang wanita paruh baya keluar dan menyambutnya.
"Kau sudah datang, Nak? Ibu rindu sekali padamu." Wanita tua yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah setengah abad itu, memeluk anak bungsunya.
"Aku juga merindukanmu, Ibu." Cakra balas memeluk wanita yang merupakan cinta pertamanya itu. "Ayah di mana, Bu?" tanyanya setelah melepas pelukan.
"Ayah ada di ruang tamu. Ayo kita kesana!"
Mereka pun berjalan ke ruang tamu. "Ayah!" sapa Cakra. Ia menghampiri pria baya yang duduk di sofa sembari membaca koran.
"Kau sudah datang, Nak?" Pria itu menaruh korannya dan menyambut pelukan si bungsu. "Kenapa terlambat sekali, istrimu saja sudah datang sedari tadi," kata sang ayah.
"Silvia?" tanya Cakra tak percaya.
"Iya. Sekarang dia ada di dapur menyiapkan minuman dan juga camilan untuk kita." Ibu Cakra yang menjawab.
"Aku ke belakang sebentar ya, Bu, Yah."
Cakra beranjak menuju dapur. Di sana terlihat sang istri yang sedang menyeduh teh.
"Sayang ..." Cakra memeluk Silvia dari belakang.
"Kau sudah datang, Mas?" tanya Silvia.
"Hn. Terima kasih ya," ucap Cakra senang.
"Untuk apa?"
"Karena kau sudah mau mengunjungi orang tuaku."
"Kau ini bicara apa, sih? Orang tuamu adalah orang tuaku juga. Sudah sepantasnya aku melakukan ini."
"Hn. Aku cinta padamu." Cakra mengecup pipi putih istrinya dari samping.
"Ish, nanti ada yang lihat. Malu..." protes Silvia.
"Biar saja. Biar mereka tahu kalau hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untukku." Ya, bahagia dengan banyak hal.
"Kau ini."
"Kau belum membalas ucapan cintaku?" rajuk Cakra seperti anak kecil.
"Aku juga cinta kamu, puas?"
"Belum, nanti malam kau harus membuatku lebih puas."
"Mas!" Silvia mencubit tangan suaminya gemas.
Cakra tertawa, dengan sadar tangannya mengelus perut rata istrinya. "Semoga kau segera hadir ya, Nak. Ayah sudah tidak sabar menunggu kehadiranmu," batinnya.
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Serli Widyawati
penuh Lika liku laki-laki.....akankah penghianatan akan benar2 terjadi kala Radi tahu istrinya pernah bertemu Cakra?
2021-08-22
1
Suharnik
Silvia kan dokter masa ngk tahu ya kalo pil krontrasepsi d ganti dengan Pil vitamin🙏
2021-07-01
3
Cut Nyak Dien
jadi kesimpulannya,itu apa?
2021-04-29
1