...🌷Selamat Membaca🌷...
Cakra memapah tubuh lemah istrinya memasuki kamar mereka. Malam ini, Silvia memaksa pulang walau Dewi yang merupakan dokter kandungan sudah melarangnya. Memang dasar Silvia yang keras kepala hingga Cakra terpaksa membawanya pulang.
"Kau mau makan dulu?" tanya Cakra pada Silvia yang sudah duduk di ranjang.
Wanit itu menggeleng, wajahnya masih tampak pucat. "Aku tidak lapar, mau minum obat saja," pintanya.
Cakra mengambil minum dan juga obat, kemudian memberikannya pada sang istri.
"Istirahatlah!" Selesai meminum obat, Silvia berbaring dan Cakra langsung menyelimutinya. Tak lupa satu kecupan di kening dia berikan sebagai ucapan selamat tidur.
Setelah Silvia tertidur, Cakra berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa berat pun dengan pikirannya yang kusut. Berendam air hangat sepertinya menjadi pilihan yang bijak untuk menghilangkan penat juga merilekskan otak.
Hampir sejam berendam, Cakra keluar dengan keadaan segar. Rambutnya masih basah terbukti dengan beberapa bulir yang menetes dan membasahi kaus navy polos yang ia kenakan. Sembari mengeringkan rambut dengan handuk, Cakra menatap istrinya yang terlelap. Lagi-lagi kesedihan itu menyusup di hatinya. Calon anaknya, telah lenyap bahkan sebelum ia mengetahuinya. Disesali sedemikian rupa pun, hasilnya akan tetap sama. Janin itu tidak akan kembali. Cakra hanya bisa pasrah dan bersabar menunggu kehadiran buah hati di dalam rumah tangganya untuk yang kedua kalinya.
Setelah rambutnya setengah kering, Cakra beranjak hendak ke dapur. Perutnya terasa lapar sekali karena belum diisi sedari siang. Ia paksa makanan masuk ke dalam perut walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan.
Selesai dengan urusan perut, Cakra kembali ke kamar. Seperti Silvia, ia juga butuh istirahat dari masalah berat yang dialaminya hari ini. Baru saja akan membaringkan tubuh di ranjang, suara ponsel Silvia yang berdering dari dalam tas wanita itu mengusiknya. Ingin mengabaikan saja, tapi panggilan itu terus berbunyi, membuatnya penasaran juga, siapa gerangan yang menghubungi istrinya malam-malam begini.
Saat ponsel sudah berada dalam genggaman Cakr, panggilan itu pun berhenti. Ada tiga panggilan tidak terjawab dan semuanya dari Dewi.
"Ada apa dia menelpon malam-malam begini?" pikir Cakra. Ah.... pasti dia mencemaskan keadaan Silvia, toh mereka kan berteman.
Saat ingin memasukkan kembali ponsel ke dalam tas branded milik istrinya, sebuah dentingan terdengar dari benda persegi empat pipih itu. Kali ini sebuah notifikasi.
Awalnya Cakra tidak ingin membukanya, tapi karena takut jika itu adalah hal yang penting menyangkut keadaan Silvia, pria itu akhirnya membuka isi pesan dari Dewi.
From: Dewi
[Aku merasa bersalah karena telah membohongi suamimu, Via.]
Begitu isi pesannya. "Apa maksud kata membohongi ini?" pikir Cakra. Penasaran, ia membalas pesan itu, tentu saja Cakra berpura-pura sebagai Silvia.
To: Dewi
[Kebohongan apa maksudmu?]
Ketik Cakra. Selang beberapa lama, balasan kembali masuk.
From: Dewi
[Jangan berpura-pura, Via. Kau memintaku merahasiakan keguguran yang kau sebabkan sendiri. Kau sadar tidak, kelakuanmu itu membuat suamimu sedih dan kecewa.]
Deg
Perasaan Cakra mulai tak enak. Ia merasa penasaran dengan maksud ucapan Dewi mengenai 'keguguran yang kau sebabkan sendiri'. Apakah Silvia sengaja membuat dirinya terpeleset hingga keguguran, tapi kenapa?
To: Dewi
[Katakan saja, apa maumu sebenarnya!]
Begitu isi balasan Cakra. Berharap dengan pertanyaan itu, Dewi mau mengatakan yang sebenarnya tanpa curiga kalau ia sedang berbalas pesan dengan Cakra, bukan Silvia.
Lima menit kemudian, balasan panjang dari Dewi, muncul.
From: Dewi.
[Aku hanya ingin menyadarkanmu, kalau tindakanmu ini salah, Via. Sebagai teman, aku merasa gagal karena tidak bisa menghentikanmu melakukan tindakan keji itu. Demi memenuhi ambisimu untuk naik jabatan, kau tega meminum pil penggugur kandungan, kau tahu bahwa suamimu sangat ingin memilik anak. Miris, bahkan dengan entengnya kau mengaku padanya bahwa kau terpelesat padahal nyatanya? Ku rasa kau memang belum pantas menjadi seorang ibu, Via. Tidak ada kasih sayang dalam dirimu itu.]
Deg
Cakra meremas ponsel Silvia dengan kuat, sampai urat-urat yang ada di lengannya bermunculan. Ia tidak percaya dengan apa yang telah diketahuinya ini. Istrinya, istri yang sangat dicintainya, tega sekali melakukan hal ini padanya.
Calon anaknya sengaja dibunuh dan mirisnya, ia digugurkan oleh ibunya sendiri. "Kejam sekali kau, Silvia!" desis Cakra. Ditatapnya tubuh yang terlelap itu dengan benci. Ingin sekali rasanya membangunkan tubuh itu dan mengamuknya. Cuma, tidak untuk saat ini. Cakra ingin melihat dulu bagaimana sikap Silvia setelah kehilangan bakal anaknya, apakah wanita itu akan menyesal atau justru sebaliknya. Jika tidak, Cakra akan buat perhitungan.
Setelah meredam emosinya, Cakra menghapus semua pesan Dewi dan juga dirinya tadi. Ia masukkan kembali ponsel Silvia ke dalam tas. Namun, niat untuk menggeledah tas istrinya itu tiba-tiba muncul. Cakra mengambil tas Silvia dan menumpahkan semua isinya ke lantai.
Isinya hanya seputar benda-benda kebutuhan wanita. Selain itu ada juga sebuah botol kecil berisi pil yang tidak Cakra ketahui jenis pil apa itu. Berbekal merk yang ada di botol, ia pun mencarinya di internet.
Deg
Mata Cakra membola saat tulisan yang dilihatnya di layar ponsel mengatakan jika merk obat yang ada ditangannya saat ini adalah sejenis obat untuk meluruhkan janin, lebih tepatnya obat penggugur kandungan. Dengan cepat, Cakra membuka botol pil itu dan menghitung jumlahnya. Hanya tersisa delapan butir dari sepuluh butir yang tertulis di botol kemasan.
"Kau sengaja menggugurkan calon anak yang telah ku nanti selama ini, Silvia."n
n
Pria itu termenung, perlahan tangannya mengemas isi tas Silvia dan memasukkannya kembali. Ia taruh tas itu di tempat semula.
Tanpa melirik istrinya, Cakra berjalan keluar kamar. Ia menuju ke belakang rumah, di sana ada sebuah taman.
"Arrrggghhhhh..." Ia berteriak, menumpahkan semua kesal dan sesak yang bercokol di hati. Pria itu bersimpuh di rerumputan sembari menutup wajah. Perlahan, tangisannya pecah.
"Kenapa kau tega sekali, Via. Kenapa kau lenyapkan anak kita hanya demi ambisimu itu," raung Cakra tak peduli ada orang yang akan mendengarnya.
Malam itu, Cakra tidak tidur. Ia hanya duduk di bangku taman belakang rumahnya sembari meratapi nasib malangnya memiliki istri keji seperti Silvia.
.......
"Nasi gorengnya datang, sayang ..." Radi meletakkan sepiring nasi goreng ke hadapan Ajeng yang duduk manis di meja makan.
"Terima kasih, sayang." Ajeng memberikan senyuman paling manis untuk suaminya yang rela bangun tengah malam hanya untuk membuatkannya makanan yang begitu diinginkannya malam ini.
"Anything for you and our baby." Radi duduk di sebelah Ajeng dan mengelus perut yang masih rata itu. "Semoga suka dengan masakan ayah ya, sayang." Diajaknya janin yang bahkan masih kecil itu untuk bicara.
"Iya, ayah. Sayang ... suapin!" pinta Ajeng manja.
Radi menjawil gemas hidung bangir istrinya. "Dasar!" Walaupun begitu, ia tetap melakukan seperti yang diinginkan Ajeng.
.......
Terkadang, dunia memang selucu itu. Di saat seseorang mengalami duka maka yang lainnya bisa jadi tengah bersuka cita. Walaupun begitu, kita sebagai manusia hanya bisa menjalani takdir yang sudah disiapkan Tuhan. Ikhlas dan syukuri saja apa yang terjadi, maka dengan begitu hidup akan terasa bahagia. Ingat! Yang berduka tidak akan selalu berduka, suatu saat dia juga akan merasakan kebahagiaan.
...🥀 🥀 🥀...
Pagi ini Cakra menikmati sarapannya dengan lesu. Selain karena tidak tidur semalaman, ia juga masih memikirkan masalah keguguran Silvia.
"Pagi, sayang." Silvia tampak memasuki ruang makan. Wanita yang baru saja keguguran itu sudah terlihat fresh dan siap untuk bekerja. Lihat saja! Dandanannya sudah rapi seperti biasa.
"Hm." Tanpa minat Cakra membalas sapaan istrinya. Pria itu enggan menatap wajah Silvia.
Keheningan terjadi, Silvia menikmati sarapannya santai seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.
"Apa keadaanmu sudah sebegitu stabilnya hingga memutuskan untuk kembali bekerja?" Pertanyaan Cakra yang mengandung nada sindiran itu sama sekali tidak digubris dengan berarti oleh Silvia. Wanita itu hanya menganggukkan kepala sambil tetap mengunyah makanan.
Cakra yang melihat tingkah istrinya itu merasa muak. Ternyata benar, Silvia sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Melenyapkan darah daging sendiri, bukankah itu adalah tindakan yang sangat kejam? Bahkan binatang sekalipun sangat menyayangi anaknya, kenapa wanita di depannya ini tidak bisa melakukan semua itu. Kali ini, Cakra harus mengambil tindakan tegas.
"Silvia, ada yang mau aku bicarakan."
Silvia yang sudah selesai makan, bangkit dari duduknya. "Maaf, Mas. Aku harus buru-buru ke rumah sakit. Pagi ini ada rapat mengenai promosi jabatan." Silvia menenteng tasnya dan mengecup pipi Cakra sebelum beranjak meninggalkan ruang makan.
Lagi-lagi Cakra ditinggalkan dalam keadaan hancur. Pria itu merasa putus asa. Jika rumah tangganya begini terus, lebih baik diakhiri saja daripada menjadi racun bagi dirinya maupun Silvia.
...Bersambung...
...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......
...🙏🏻😊...
...Terima kasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
lisna widyasmoro
biasanya kan perempuan yang lebih mempertahankan anak dalam kandungannya lebih dari apapun
2021-07-04
0
Suharnik
Silvia terobsesi dn terlalu ambisi pda jabatan
2021-07-01
0
Sella Anggie Elinarti
tega bgt demi jabatan silvia harus mengugurkan kandunggannya ,kta dokter tpi ko tega ngebunuh darah daging sendiri
2021-06-28
1