Musa selesai menjalankan sholat Isa, tarawih dan witir di dalam kamar Sari dirawat. Jam sudah menunjukkan pukul 20.10 WIB. Musa sudah melihat Sari berulang kali menguap, mungkin efek obat yang tadi diminum Sari membuat Sari merasa ngantuk.
" Bagaimana mau tidur saja?, nggak jadi keluar?", tanya Musa.
" Harus keluar Pak guru, mau cari pembalut buat ganti nanti malam".
Kalimat Sari yang begitu vulgar membuat Musa sulit menelan salivanya.
" Kita keluar sekarang?", tanya Sari.
" Iya, tapi kan kamu pakai gamis, apa jilbabnya nggak dipakai lagi?", memang sejak di lepas tadi Sari tidak mengenakan jilbabnya lagi.
Dan tadi siang saat suster hendak mengganti gamis Sari dengan pakaian pasien, Sari menolaknya, dengan alasan hanya akan menginap semalam di rumah sakit, tidak perlu berganti dengan baju pasien.
" Sari nggak bisa make-nya Pak guru, jilbab ini kan pakai peniti, susah kalau cuma pakai satu tangan, apalagi tangan kiri", ujar Sari.
Musa berpikir sejenak, benar juga yang di ucapkan Sari, itu jilbab yang harus menggunakan peniti, pasti sulit memakainya.
" Ayo pak jalan sekarang, ngga pakai jilbab juga nggak papa kan, soalnya susah pakainya".
Musa mengambil jilbab Sari yang tergeletak di atas bed. " Sini, biar saya pakaikan, meski nggak bisa di model-model kaya remaja sekarang, tapi kalau cuma mengancingkan saya rasa, pasti bisa".
Sari yang duduk di tepian bed terdiam saat Musa melepas ikat rambut Sari yang berantakan, sedikit menata agar tidak terlalu berantakan dan mengikat ulang rambut Sari seperti ekor kuda.
Entah mengapa Sari merasa seperti terkena sengatan listrik saat jari Musa tidak sengaja menyentuh tengkuknya ketika melepaskan ikat rambutnya, apalagi ditambah saat Musa mengusap rambutnya agar lebih rapi, dan Musa mengecek ikatan rambut Sari sudah rapi atau belum dengan sedikit mendekatkan wajahnya, Ada desiran aneh yang tiba-tiba muncul saat hembusan hangat nafas Musa yang beraroma mint menerpa wajahnya.
Musa menutup rambut Sari dengan kerudung segitiga berwarna merah muda, menyeimbangkan antara ujung yang satu dengan yang lain, kemudian mengabil bagian kanan dan kiri di sekitar dagu Sari dan menyatukan kedua bagian itu dengan menyematkan dengan peniti di bawah dagu Sari.
Musa merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, entah perasaan apa, tapi aneh, setiap kali posisi mereka berhadapan dan hembusan nafas mereka saling menerpa wajah, ada desiran aneh yang membuat bulu kuduk Musa berdiri.
Sehingga akhirnya Musa menahan nafas saat posisi mereka berhadapan, menghindari kalau-kalau jantungnya akan lepas jika tidak di biarkan dan semakin tak terkendali.
Malam ini penuh dengan pengalaman pertama bagi Musa, pengalaman pertama makan sebungkus nasi berdua dengan seorang gadis, pengalaman pertama menyuapi seorang gadis dengan tangannya, pengalaman pertamanya memakaikan jilbab pada seorang gadis, dan pengalaman pertamanya akan tidur sekamar berdua dengan seorang gadis yang bukan muhrimnya.
Sungguh di luar dugaan menjadi semakin sering bertemu dan dekat dengan Sari. Begitu banyak kebetulan dan ketidak sengajaan mempertemukan mereka berdua.
Karena dari kecil, Musa tidak pernah dekat dengan teman wanitanya, sampai umurnya se-dewasa ini. Musa termasuk laki-laki yang tidak pandai berinteraksi dengan lawan jenis.
***
Musa berjalan berdampingan dengan Sari meski ada jarak sekitar setengah meter diantara mereka. Menjaga agar tidak saling bersinggungan.
Kini waktu sudah menunjukan pukul 20.45 WIB, saat Musa dan Sari sampai di sebuah toko kelontong yang ada di sebrang jalan raya depan rumah sakit. Suasana sekitar sudah tidak terlalu ramai, dan udara terasa semakin dingin apalagi diluar gedung seperti saat ini.
Musa melihat Sari mengusap-usap lengan tangan kanannya, sepertinya Sari kedinginan dan berusaha menghangatkan diri. Refleks Musa melepas jaket parasutnya dan menutupkan pada tubuh Sari. " Biar nggak kedinginan", ucapnya.
Sari tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Sampai di lantai kamar Sari dirawat, ada begitu banyak orang yang berdiri di depan kamar.
" Eh itu Sarinya dari bawah", seru salah seorang dari kerumunan itu.
Ternyata teman-teman sekelas Sari datang serombongan, bersama Bu Berta dan Pak Irsyad, untuk menjenguk Sari.
Sari yang sedang berjalan berdampingan dengan Musa, menghampiri teman-temannya.
Linda langsung menubruk Sari dan memeluknya erat , " maafkan aku Sar, aku baru bisa kesini".
" Aawwww.....", teriak Sari sambil memundurkan badan agar Linda melepas pelukannya.
" Eh maaf maaf, terlalu erat ya", Linda meringis sambil melepas pelukannya.
" Masuk-masuk, jangan buat gaduh di rumah sakit", perintah Bu Berta, yang sudah masuk kedalam kamar.
" Kapan kalian sampai?, maaf habis dari warung depan, nyari keperluan Sari", terang Musa sambil meletakkan kantong plastik di meja kecil yang ada di samping ranjang.
Semua teman sekelas Sari menatap Musa dengan begitu lekat. Saling berbisik dan bertanya karena penasaran, kenapa Pak Musa yang menjaga Sari di rumah sakit.
" Terimakasih Pak Musa sudah menjaga Sari sesuai permintaan saya, kalau tidak ada bapak, saya pasti merasa begitu bersalah sebagai wali kelasnya, karena kejadiannya terjadi saat sedang pesantren kilat ".
Semua murid ber ' oooh ' panjang mendengar kalimat bu Berta, ternyata wali kelas mereka lah yang meminta Pak Musa untuk menjaga Sari.
"Tadi Kakekmu juga telepon sama bapak, menanyakan bagaimana keadaan kamu, untung tadi teleponnya pas mau tarawih, jadi tidak bisa ngobrol terlalu lama, bapak cuma jawab kalau kamu baik-baik saja".
Kini semua mata menatap Pak Irsyad kepsek mereka. Semua baru tahu kalau Pak kepsek dan keluarga Sari lumayan dekat.
Teman sekelasnya semakin penasaran dengan latar belakang Sari sebenarnya.
" Karena sudah jam 9 malam, kami permisi untuk pulang dulu ya, lagian ini anak-anak pasti di tunggu sama bapak ibunya di rumah, takut sampai rumahnya kemalaman. Besok juga kami berencana untuk menjenguk Eli kerumahnya", ujar Bu Berta.
" Jam berapa ke rumah Eli?, apa Sari boleh ikut ke sana, Bu guru?", tanya Sari.
" Kamu ini mana boleh ikut, kan kamu yang lebih parah, bahkan harus di rawat inap di rumah sakit, kamu sembuh dulu, baru bisa menengok Eli". Bu Berta mengusap lengan Sari.
" Semoga cepat sembuh ya Sar, untung mulai besok sudah libur panjang, jadi kamu bisa istirahat total, bayangkan kalau sedang kegiatan sekolah seperti biasanya, pasti kamu ketinggalan banyak catatan karena nggak bisa nulis", celoteh Eko si ketua kelas, yang melirik ke tangan kanan Sari yang di pasang gips.
" Ini dari teman-teman semua, tadi kami masak ayam bakar sama sambel terasi dan lalaban, sesuai rencana kamu dan Eli, mungkin nggak seenak kalau kalian yang masak, tapi di coba ya", Linda menyerahkan kotak makan berisi ayam bakar dan sambel terasi+ lalapannya. Juga parsel buah yang di bawa oleh Cahyo.
" Sar, cepet sembuh ya, kalau bisa ganti posisi, aku ikhlas gantiin posisi kamu sekarang, bagaiman tidak, kita yang tadi menghirup aroma ayam bakar itu nggak dikasih sama Linda, tapi kamu yang nggak liat proses masaknya dapat jatah", canda Cahyo yang selalu kocak di antara teman sekelas yang lain.
" Huuu....!", teriak semua teman-teman Sari.
" Sudah-sudah jangan berisik, takut ganggu pasien di kamar lain. Kami pamit ya Sar", Bu Berta keluar dari kamar Sari di rawat di ikuti oleh murid-muridnya. Mereka hanya berdada-dada pada Sari, karena tangan kanan Sari yang di gips rapat, tidak bisa bersalaman.
Pak Irsyad keluar paling akhir, di temani Pak Musa yang mengantar mereka ke depan.
" Saya titip Sari ya, dia itu memang kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Meski hidup bergelimang harta, tapi papa mamanya selalu sibuk dengan pekerjaan. Itu kenapa Pak Atmo meminta cucunya tinggal di sini, kakaknya Sari itu sekarang ada di tahanan lapas Malang, sedang di rehabilitasi karena kena razia waktu mengadakan pesta sabu di klub malam".
"Kedua orang tua Sari hanya mengejar materi dunia, tanpa membekali anak-anaknya ilmu agama, karena itulah sampai sebesar itu Sari tidak bisa baca Al-Qur'an, dan sangat minim ilmu agama, meski di nilai akademik dan non akademik Sari sangat membanggakan.
Pak Atmo tidak ingin Sari salah pergaulan seperti kakaknya, itulah alasan mengapa Pak Atmo mengancam kedua orang tua Sari dengan mengatakan akan mewakafkan seluruh harta kekayaannya dan tidak mewariskan pada papanya Sari kalau Sari tidak tinggal dengan beliau", ucap Pak Irsyad panjang lebar.
Musa semakin merasa prihatin pada Sari mendengar sepenggal cerita yang baru saja di sampaikan oleh Pak Irsyad, gadis yang selalu berusaha menampakan keceriaan di depan orang lain, meski sesungguhnya hidupnya sendiri begitu memprihatinkan dan menyedihkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Fitri Yuliandari
maaf kak kasih masukan dikit yah..
kl di Islam, bersentuhan kl bukan muhrim tdk diperbolehkan..
maaf🙏🙏
2022-01-21
1
Nur'ain Lamatenggo Aini
cmn ceritnta bgus ko thor
2021-08-04
1
Nur'ain Lamatenggo Aini
sehrusnya thor seorang ustat tau btasannya ngga bolh brsentuhn dgn lawan jenis yg bkn mukhrim .. in cmn saran saja.. sehrusnya musa mnturu suster untuk mengikat rmbut, dn memasang jilbb, bisa jg klo mkn bisa d pnggilkn suster atau untuk jg d dlm bkn tdr sekmr d dlm atau bisa musa tidurnya di luar kmr biar tsk trjd fitnah . krn dia seorng ustar dn paham agama msi yg bgt sja tdk biaa di lkukan
2021-08-04
5