" Tolong temani saya malam ini disini, Bu Berta punya keluarga yang harus di urus, sedangkan Eli juga lecet-lecet dan butuh istirahat, Pak Musa kan tinggal sendiri dan nggak ada yang menunggu di rumah. Jadi tolong temani saya malam ini, saya tidak punya banyak saudara atau kenalan disini".
Musa masih terdiam sambil berpikir.
" Saya laki-laki lajang dan kamu bukan keluarga atau kerabat saya, bukannya saya tidak mau, tapi maaf..., takut menimbulkan fitnah".
Sari terdiam dan menunduk mendengar jawaban Musa, merasa nasibnya begitu malang, karena dirawat di rumah sakit dan tidak ada yang bisa menjaganya.
Tok...tok...tok...
Bu Berta masuk bersama Eli ke dalam kamar rawat inap, saat Sari dan Musa sama-sama terdiam.
" Sepi sekali seperti kuburan", seloroh Bu Berta sambil mendudukan dirinya di tepian bed Sari.
" Eli alhamdulilah cuma lecet-lecet sedikit, tadi sudah di bersihkan dan diberi obat luar saja, jadi nanti boleh pulang ke rumah", Bu Berta menginformasikan keadaan Eli. " Sari, apa keluargamu sudah diberi tahu perihal kamu di rawat disini?".
Sari menggeleng cepat. " Nggak usah kasih tau kakek, beliau sudah sepuh, Sari nggak papa sendirian disini".
" Loh papa mama kamu nggak mau kamu kasih tau?", tanya Bu Berta penasaran.
" Mereka tinggal di Malang, jauh Buguru, kalau ngabari juga pas mereka sampai ke sini, mungkin Sari sudah bisa pulang ke rumah, nggak usah di kasih tau, malah bikin mereka khawatir, Sari nggak papa kok nggak terlalu parah, masih bisa jalan dan makan sendiri".
Bu Berta menatap tangan kanan Sari yang dibalut gips rapat sampai jarinya hanya terlihat bagian ujungnya saja, " Makan sendiri bagaimana, kan tangan kanan kamu nggak bisa pegang sendok".
" Pakai tangan kiri juga nggak papa, kan lagi kepepet Bu", Sari mencoba untuk tertawa mesti justru jadi terdengar sumbang.
" Aku temenin kamu nanti malam, biar aku ijin sama ibuku", ujar Eli yang merasa sangat bersalah pada Sari .
" Eh, nggak usah El, kamu kan juga pasti sakit setelah badannya ketimpa motor tadi, belum tangan dan kaki kamu juga lecet, kamu butuh istirahat, jadi mending tidur di rumah saja, aku sungguh baik-baik saja, nanti kan ada suster jaga yang bisa aku mintai tolong".
Setelah menunggu sampai jam 4 sore, Bu Berta pamit, hendak mengantar Eli untuk pulang kerumah, sedangkan Bu Berta akan kembali ke sekolahan. Begitu juga dengan Musa.
Saat Eli sudah masuk ke dalam mobil Bu Berta, Bu Berta menghampiri Musa.
" Pak Musa, bapak kan belum berkeluarga, tidak ada yang menanti bapak di rumah, apa bapak tidak bisa malam ini saja menemani Sari disini, kasihan dia tidak ada keluarga yang menemani. Bapak kan Pak gurunya, sama seperti orang tua ke duanya, jadi tolonglah bermalam disini, seandainya saya tidak ada keluarga yang menunggu di rumah, pasti saya sebagai walinya sudah menjaganya dan tidur disini malam ini, tapi hari ini saja saya tidak bisa pulang cepet karena pesantren kilat di tutup setelah sholat tarawih bersama". Bu Berta memohon dengan sangat karena merasa kasihan pada Sari.
" Maaf Bu, tapi saya harus menjadi imam shalat tarawih di sekolahan nanti, kalau saya tidak bisa, saya harus minta ijin dulu pada yang lain, agar ada yang menggantikan tugas saya malam ini, di lihat saja nanti bagaimana situasi nya, syukur-syukur ada yang bisa gantikan saya, tapi saya juga tidak bisa janji, permisi Bu Berta".
Bu Berta sedikit kecewa dengan jawaban pak Musa. " Tapi setidaknya dia bilang akan berusaha, biar nanti aku minta pada pak kepsek agar tugas Pak Musa bisa di gantikan oleh guru yang lain", pikir Bu Berta.
***
Sari tiduran sendiri di kamar rumah sakit sambil memainkan games di ponselnya, games yang bisa dimainkan hanya satu tangan tentunya, tapi baru sejam Sari sudah merasa bosan.
Perawat mengantar jatah makan malam Sari pukul 5.30, " Mba Sari saya taruh makanannya di sini ya", ucap perawat sambil meletakkan makanan di meja kecil yang terletak di samping kiri ranjang Sari, Sari pun mengucapkan terimakasih. Tanpa ada keinginan untuk melihat menu apa untuk buka puasa nanti, pikir Sari makanan rumah sakit sudah pasti rasanya hambar dan tidak enak.
Sari kembali menatap ponselnya, kali ini mengaktifkan datanya. Begitu banyak pesan yang masuk. Sari belum berniat membacanya, yang pertama di cari adalah kontak dengan nama ' Kakek '.
" Halo assalamualaikum"
" Wa'alaikum salam, kok telpon jam segini, apa sudah mau di jemput?", tanya Kakek Atmo.
" Tidak kek, justru Sari mau kabari, kalau malam ini Sari mau tidur dirumah temen Sari, besok kan sudah mulai libur panjang, boleh ya kek?, besok siang Sari pulang kok, nggak usah di jemput, Sari bisa pulang sendiri".
" Rumah teman kamu dimana?, nama teman kamu siapa?", sesuai dugaan Sari, kakek pasti banyak bertanya.
" Nanti Sari telepon lagi kek, sebentar lagi sudah mau buka bersama, selamat berbuka puasa ya kek", Sari memutus panggilan teleponnya.
" Mau pakai nama siapa buat bohongin kakek, aku belum kenal banyak teman, dan nggak tahu alamat rumah mereka satupun, kenapa selalu jadi kerepotan sendiri kalau mencoba berbohong", gerutu Sari sambil meletakkan ponselnya di samping bantal.
Tak lama setelah Sari mengakhiri obrolan dengan kakeknya, adzan maghrib berkumandang, Sari menggapai gelas berisi teh manis yang di letakkan perawat di samping jatah makan malamnya.
" bismillahirrahmanirrahim, allohumma lakasumtu wabika amantu wa'ala rizkika aftortu dzahabadzhomau wabtalatil'uruqu watsabatal ajru insyaallah", Sari meneguk teh manis hingga habis setengah gelas, kemudian menatap tempat makan yang ada di atas meja kecil di sebelahnya.
Sari berusaha meraih tempat makan stenlis itu, tapi tangan kirnya tidak seimbang dan merasa ngilu di bagian siku, membuat genggamannya melemah, dan makanan pun tumpah berserakan di atas lantai.
Huffft....
Sari menarik nafas panjang dan menghembuskan secara perlahan, " sabar Sari sabar, kamu bisa, jangan menangis", Sari berusaha menghibur dirinya sendiri, tapi apalah daya, meski sudah ditahan-tahan airmata tetap menyembul keluar dari kedua kelopak matanya dengan begitu deras, merasa hidupnya begitu menyedihkan, tidak ada yang peduli padanya.
Sari akhirnya menyenderkan tubuhnya di tembok kamar yang berada di kanan ranjangnya, menekuk kakinya dan membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya, perasaan yang terus di aturnya agar tetap merasa bahagia, ternyata tidak berhasil. Karena kesendirian dan rasa nyeri yang mulai dirasakan di beberapa bagian tubuhnya yang terluka membuatnya merasakan sesak di dadanya. Hatinya tiba-tiba begitu sakit.
" Assalamualaikum ", Musa masuk ke dalam kamar Sari dan terkejut saat mendapati Sari sedang membenamkan wajahnya di lutut sambil menangis sesenggukan. Nasi dan lauk jatah dari rumah sakit berserakan di atas lantai.
" Astaghfirullah hal'adzim", Musa langsung meletakkan kantong plastik yang dibawanya, dan menghampiri Sari, perasaannya begitu prihatin melihat keadaan Sari saat ini.
" Maaf, aku terlambat datang", Musa duduk di tepian ranjang sambil menepuk-nepuk pelan bahu Sari yang masih turun naik karena sesegukkan, membiarkan Sari untuk terus menangis, meluapkan emosinya.
Baru kemudian Musa mengambil air mineral yang tadi dibelinya di warung depan sekolahan, membuka seal kemasan yang masih tertutup rapat dan mencari-cari gelas, sayangnya tidak ada gelas bersih di ruangan itu, Musa akhirnya menyodorkannya botol itu pada Sari.
" Ayo minum dulu, batalkan puasa mu".
Sari sudah mulai tenang saat ini. Dia menyusut air mata yang masih menempel di pipi, rasanya jadi lengket karena terlalu lama menangis.
" Saya sudah minum teh tadi, silahkan bapak saja yang minum duluan, pasti bapak belum berbuka puasa di jalan tadi".
Musa menuruti Sari dan menenggak air mineral langsung dari botol kemasannya.
" Biar aku panggil kebersihan untuk membereskan ini", Musa keluar sebentar dan kembali ke kamar Sari bersama seorang cleaning servis.
" Maaf ya pak, jadi merepotkan".
" Nggak papa Mas, sudah jadi pekerjaan saya. Tapi kalau boleh tau, kok bisa sampai tumpah, kan ada Mas-nya , apa nggak sengaja ya?, nanti makan malamnya jadi harus nyari lagi".
" Nggak papa Pak, sudah beli makanan di luar tadi, terimakasih ya Pak", Musa mengantar cleaning servis yang sudah merapikan kamar Sari keluar kamar dan menutup pintu kamarnya.
" Sekarang buka puasa dulu atau mau sholat?" ,tanya Musa.
" Karena nggak bisa wudhu, kamu tayamum saja, kan tangan kamu lagi diperban".
" Tayamum itu apa?", Sari memang baru pernah mendengar kalimat itu.
" Jadi belum tahu?, tayamum itu mensucikan diri tanpa menggunakan air, yaitu dengan menggunakan pasir atau debu, sebagai pengganti wudhu", terang Musa.
" Tapi Sari kebelet, Sari ke kamar mandi sebentar, sekalian cuci muka dulu, rasanya wajah Sari lengket banget, tapi bapak wudhu saja dulu, Sari mau melepas jilbab dulu". Sari turun dari ranjang dengan sangat hati-hati, tangan kanan yang di gips oleh dokter tadi memang langsung dipasang emban sehingga menekuk di depan dada.
Sari melepas jilbabnya dan meletakkannya di atas bed, setelah Musa wudhu dan keluar dari kamar mandi, Sari masuk kedalam kamar mandi mencuci muka dan buang air kecil. Lumayan lama Sari berada di dalam kamar mandi, membuat Musa merasa khawatir.
" Sar, apa masih lama?".
" Pak Musa, bapak sholat duluan saja nggak usah nunggu Sari, masih lama".
Akhirnya Musa sholat Maghrib terlebih dahulu. Namun sampai Musa selesai sholat dan wirid, Sari belum juga keluar dari kamar mandi.
" Sar, kamu nggak pingsan di dalam kan?", seru Musa di depan pintu kamar mandi, merasa khawatir.
" Enggak Pak, tapi Sari mau minta tolong, ambilkan tas ransel Sari". Musa semakin bingung dengan sikap Sari. Tapi menuruti kemauan muridnya itu.
" Ini ranselnya mau buat apa?".
Sari mengeluarkan tangan kirinya dan mengambil ransel itu dari tangan Musa, dan menutup pintu kembali, sekitar sepuluh menit kemudian Sari baru keluar dari kamar mandi.
" Kamu kenapa?, apa kamu pingsan di dalam kamar mandi?, kamu mau Maghrib dulu kan?, biar bapak tuntun kamu untuk tayamum, habis itu baru kita buka bersama".
Sari menggeleng. " Sari lagi halangan, kali ini beneran, jujur Pak guru...., nggak bohong. Kita langsung buka saja yuk Pak, habis ini Sari mau jalan-jalan keluar, di kamar terus bosen, sekalian nyari keperluan Sari", ternyata tadi Sari begitu lama di kamar mandi karena perutnya melilit kedatangan tamu bulanan. Untung Sari selalu membawa pembalut di tasnya untuk jaga-jaga, jadi tadi meminta tolong pada Musa untuk mengambilkan ranselnya saat di kamar mandi, untuk mengambil pembalut di dalam tasnya.
" Tapi kan sebentar lagi masuk waktu sholat isa dan tarawih", ujar Musa.
" Ya sudah bapak sholat saja di masjid rumah sakit, Sari lagi libur sholatnya, jadi mau jalan-jalan sendiri saja", ucap Sari.
" Nggak bisa, biar nanti bapak sholat disini, kamu tetap disini sampai bapak selesai sholat, setelah itu baru kamu boleh jalan-jalan keluar, bersama bapak", ujar Musa membuat keputusan.
Mereka berdua akhirnya buka bersama di saat adzan Isa berkumandang. Musa memang membeli sebungkus nasi padang tadi dijalan saat menuju rumah sakit. Jadi mereka harus makan sebungkus berdua.
Sari berusaha makan dengan tangan kirinya, tapi Musa menepis tangan kiri Sari, bagaimana bisa makan dengan tangan itu yang sudah memegang pembalut dan *****.
" Biar saya bantu", Musa menyodorkan tangan kanannya yang berisi nasi dan rendang pada Sari. Sari sempat tertegun.
" Aaaaaaaa......", ucap Musa seperti sedang menyuapi anak kecil.
Sari yang sudah sangat lapar refleks membuka mulutnya lebar-lebar. Dan menikmati nasi padang langsung dari tangan Musa.
Benar-benar terasa sedap, entah bumbu rendang yang memang sangat lezat, atau karena Sari sudah sangat lapar.
Mungkin juga karena makan di suapi langsung dengan tangan Musa. Atau karena ketiga faktor itu saling mendukung, membuat nasi padang menjadi terasa begitu nikmat dimakan saat berbuka puasa bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Santi Rahma
duh duh pa ustad g minta sendok ya ke pihak rs nys🤣🤣🤣🤣🤣
2022-09-24
1
Rinjani
romantis dan uwu aduh senangnyaa🤭🙏
2022-03-10
2
Fitri Yuliandari
ehmmm
2022-01-21
1