Malam ini Laurel benar-benar salah tingkah, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Saat ini di hadapannya duduk seorang wanita cantik berumur sekitar awal 50 tahunan dan seorang gadis cantik berumur sektiar 1-2 tahun di bawahnya. Dari cara berpakaian wanita dan gadis itu tampak kalau mereka berasal dari keluarga yang cukup kaya, tetapi masalahnya bukan itu, tapi status kedua orang itu yang membuat Laurel tidak nyaman. Yang satu adalah ibu almarhum suaminya, dan yang satu adalah adik dari almarhum suaminya.
"Apa kabar Laurel? Waktu itu kita belum sempat bertemu," Wanita yang bernama Rosalia itu tersenyum ramah pada Laurel, membuat rasa bersalah di dada Laurel semakin bertambah-tambah.
"Maaf karena baru sempat mengunjungimu hari ini padahal kamu sudah pulang ke Indonesia sejak 3 hari lalu,"
"Tidak tante, harusnya Laurel yang meminta maaf karena belum sempat mengunjungi tante," Mendengar pemintaan maaf mama almarhum dari suaminya membuat wajah Laurel seolah-olah mendapatkan tamparan keras. Harusnya dia yang berkunjung ke rumah mantan mertuanya untuk meminta maaf bahkan ampun kepadanya, harusnya bukan senyuman ramah, tapi caci maki yang dia terima, karena sudah mempermalukan keluarga mereka, bahkan boleh dibilang mungkin dia adalah salah satu penyebab kematian suaminya. Membayangkan itu membuat Laurel semakin merasa bersalah.
"Tolong, jangan panggil tante, panggil aku mama," Kali ini kata-kata itu cukup untuk membuat Laurel tidak dapat berkata-kata lagi dan matanya berkaca-kaca karena rasa bersalah yang benar-benar menghantamnya dengan keras, apalagi mengingat setiap kesalahan yang dia buat di masa lalu itu sudah tidak dapat diperbaiki lagi karena orang yang harusnya menerima permintaan maaf terbesarnya nya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Maaf, Laurel tidak pantas memanggil anda mama," Tangan Rosalia terulur ke arah Laurel, mengelus pundak Laurel lembut.
"Sampai kapanpun bagi mama, kamu adalah menantu mama, satu-satunya gadis yang dicintai anak mama, anggap saja kamu sebagai penggantinya bagi mama," Mendengar kata-kata itu tanggul pertahanan mata Laurel langsung jebol, membuatnya menangis sejadi-jadinya, Rosalia mendekat ke arah Laurel dan langsung memeluknya.
"Maaf...maafkan Laurel....maaf..." Rasanya berapa kalipun Laurel mengucapkan kata maaf itu tidak akan pernah cukup, Rosalia menepuk punggung Laurel dengan lembut, sedang Denia yang melihat kejadian itu hanya bisa diam dan berusaha menyapu airmata di pipinya yang juga sulit untuk ditahannya.
"Sudah, yang sudah terjadi jangan diingat lagi, mama harap kedepannya kamu bisa menemukan kebahagiaanmu," Rosalia melepas pelukannya, membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah map dari dalam tasnya, kemudian meletakkannya di atas meja.
"Laurel, map itu berisi sertifikat asli rumah milik papamu dulu, bpkp mobil atas namamu, juga sejumlah deposito yang diwariskan kepadamu," Mata Laurel terbeliak, walaupun dia begitu menyanyangi rumah peninggalan papanya, mana mungkin dia menerimanya kembali dengan cara seperti ini, belum lagi warisan mobil dan sejumlah besar deposito dari almarhum suaminya, jelas-jelas dia tidak pantas menerima semua itu.
"Ma..., Laurel tidak berhak menerima semua itu, tolong mama bawa kembali semuanya,"
"Kakak sudah berpesan agar Kak Laurel mau menerima itu, sejak awal rumah itu adalah hadiah pernikahan kakak buat Kak Laurel, bahkan kakak sudah mengubah nama kepemilikan sertifikat rumah itu menjadi nama Kak Laurel," Laurel tertegun mendengar penjelasan dari Evelyn, adik almarhum suaminya.
"Tapi aku tidak layak menerima semua ini," Rosalia dan Evelyn menarik nafas panjang mendengar penolakan Laurel. Dengan rasa bersalah Laurel tentu saja dia tidak akan mau menerima semua pemberian itu, apalagi Laurel juga tidak mau dicap sebagai gadis matre.
"Kalau Kak Laurel tidak mau menerima mobil dan deposito itu tidak masalah, tapi jika Kak Laurel menolak rumah itu, kakak sudah berpesan agar rumah itu dihancurkan dan dibangun apartemen di atasnya untuk kemudian dijual kepada orang lain." Laurel tersentak kaget. Dihancurkan? Rumah ini memiliki begitu banyak kenangan tentang papanya, dia tentu saja tidak akan rela rumah itu dihancurkan.
Laurel melirik ke arah Denia yang tampaknya memilih untuk diam, karena merasa tidak berhak untuk memutuskan apapun dalam hal ini. Laurel menarik nafas dalam-dalam.
"Baiklah, aku akan menerima rumah itu, tapi untuk mobil dan deposito, aku tidak mau menerimanya," Rosalia dan Evelyn saling berpandangan, saling menatap seolah saling bertukar pendapat, sampai pada akhirnya mereka berdua sama-sama menganggukkan kepalanya, tanda bahwa mereka menerima keputusan Laurel.
# # # # # # #
"Pagi dokter Laurel," Lusiana menepuk bahu Laurel yang baru mau meninggalkan parkiran untuk masuk ke rumah sakit dengan pelan, membuat Laurel langsung menoleh ke arahnya.
"Pagi juga, panggil saja aku Laurel," Lusiana tersenyum manis.
"Ok, sippp, kamu juga harus panggil aku Lusiana saja tanpa embel-embel,"
"Pagi Lusiana saja tanpa embel-embel," Tiba-tiba saja Feri sudah berdiri beriringan berusaha mengikuti langkah kedua gadis itu, membuat Lusiana langsung menepuk bahunya dengan sedikit keras, mengakibatkan Feri sedikit meringis karena menahan sakit.
"Aw, kenapa dengan Lusiana saja tanpa embel-embel hari ini? Lagi PMS yaaaa?" Feri tertawa terkikik melihat Lusiana melotot ke arahnya, bersiap untuk kembali memukulnya, tapi dengan cepat Feri langsung menjauh untuk menghindar.
(PMS\=Sindrom Pramenstruasi, Sindrom pramenstruasi adalah sekelompok gejala fisik, emosi, dan perilaku yang umumnya terjadi pada minggu terakhir fase luteal (seminggu sebelum haid). Gejala PMS atau gangguan haid ini biasanya tidak dimulai sampai 13 hari sebelum siklus, dan selesai dalam waktu 4 hari setelah perdarahan dimulai. Beberapa gejala PMS antara lain: payudara menjadi lembut dan bengkak, dperesi, mudah tersinggung, murung, emosi labil, tidak tertarik ****, jerawat berkala, perutkembung atau kram, sakit kepala atau sakit persendian, sulit tidur, sulit buang air besar).
"Awas kamu ya Fer," Belum lagi tawa Feri terhenti, tiba-tiba dari arah belakang muncul Arnold yang langsung memeluk bahu Feri.
"Pagi-pagi begini jangan membuat para gadis marah Fer, merusak suasana rumah sakit hari ini, mengurangi semangat kerja kita," Mendengar perkataan Arnold, Feri langsung pura-pura memukul lengan Arnold. Melihat gurauan para dokter pagi itu membuat Laurel tersenyum, di rumah sakit ini dia memiliki rekan-rekan kerja yang rasanya akan membuatnya betah bekerja di rumah sakit ini.
Begitu mereka memasuki persimpangan di dalam rumah sakit, dari persimpangan sebelah kanan Laurel melihat sosok Dave yang berjalan ke arah mereka. Entah mengapa sejak pertama kali bertemu laki-laki itu Laurel begitu sulit untuk mengalihkan pandangannya dari sosoknya. Selama di Amerika banyak teman pria di kampusnya yang berasal dari berbagai belahan dunia yang bisa digolongkan dalam klasifikasi pria-pria tampan, tapi melihat sosok Dave, rasanya Laurel mau tidak mau harus mengakui bahwa dia adalah pria paling tampan yang pernah dia temui dan membuatnya tidak bosan untuk memandangnya, menikmati pesona laki-laki itu, andai saja sikap Dave tidak sedingin itu padanya mungkin sedari awal Laurel akan jatuh cinta pada laki-laki itu.
"Pagi bos," Begitu mereka berpapasan, Feri, Arnold dan Lusiana langsung menyapa Dave dengan sedikit menganggukkan kepalanya untuk menunjukkan rasa hormat. Walaupun tidak ikut mengeluarkan suaranya Laurel ikut sedikit menundukkan kepalanya untuk menunjukkan bahwa dia juga ikut menyapa Dave.
"Pagi," Dave membalas sapaan mereka dengan ramah sambil tersenyum, sekilas diliriknya Laurel, dan tiba-tiba senyum ramah menghilang dari wajah Dave begitu Laurel membalas tatapan Dave.
"Dokter Laurel, setelah apel pagi ini tolong mampir ke kantor," Laurel sedikit tersentak mendengar perintah dari Dave.
"Baik pak," Tanpa menatap ke arah Laurel lagi, Dave langsung melangkah pergi meninggalkan mereka. Lusiana langsung menyenggol pinggang Laurel pelan.
"Kelihatannya bos terlihat serius sekali, memang kamu melakukan kesalahan apa?" Mendengar perkataan Lusiana, Feri dan Arnold langsung mengarahkan pandangannya ke arah Laurel dengan wajah bertanda tanya.
"Aku? Memang aku bisa melakukan kesalahan apa ya? Dua hari ini jelas-jelas aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dan Mira untuk pengenalan rumah sakit, bahkan belum ada satu pasienpun yang aku tangani," Lusiana menganguk-anggukkan kepalanya, sebentar kemudian kepalanya sedikit bergerak ke samping, menunjukkan wajah orang yang sedang berpikir, berusaha menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada Dave.
"Tapi benar-benar aneh, setahuku bos orang yang ramah dan murah senyum, tapi pada waktu memberikan perintah padamu, tatapannya sedikit mengerikan. Iyakan Fer? Ar? Kira-kira kenapa ya?" Feri dan Arnold yang diminta pendapatnya oleh Lusiana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin......" Feri menggantung perkataannya, membuat yang lain serius memandangnya, tapi kemudian Feri langsung menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak tahu, membuat Arnold langsung menjitak kepalanya pelan, sedang Lusiana mengepalkan tangannya seolah-olah bakal meninjunya.
"Aku jawab mungkin karena bos sedang PSM seperti Lusiana kalian pasti tidak percaya,"
"Dasar!!!!!" Kali ini Lusiana benar-benar mengarahkan tinjunya ke lengan Feri walaupun tidak dengan kekuatan penuh, alhasil membuat Feri kembali meringis sambil mengelus-elus lengannya.
"Ah, lenganku, apa kamu tidak tahu sebagai dokter dokter kandungan lenganku ini sangat penting?" Lusiana hanya tertawa geli mendengar rintihan dari Feri, dan tanpa memperdulikannya Lusiana menarik lengan Laurel mengajaknya menjauh dari kedua dokter pria itu.
# # # # # # #
"Masuk!" Sebuah suara jawaban terdengar dari dalam ruangan ketika Laurel mengetuk pintu ruangan Dave. Setelah membuka pintu, dengan langkah pelan Laurel memasuki ruangan tersebut. Begitu memasuki ruangan, Laurel melihat Dave duduk di kursi di belakang meja kerjanya dengan kedua tangannya tertumpu di atas meja, pandangan mata birunya menatap lurus ke depan, seolah-olah memang sengaja menunggu kehadirannya. Walaupun tidak terlihat adanya senyum dan keramahan di wajah Dave tapi Laurel harus tetap jujur pada dirinya sendiri bahwa sosok Dave merupakan sosok laki-laki yang menawan.
"Pagi pak,"
"Silahkan duduk," Mendengar perintah dari atasannya, tangan Laurel bergerak menarik kursi di depan meja kerja Dave, lalu dengan gerakan anggun duduk disana, tanpa sadar Dave sedikit menahan nafasnya melihat sosok gadis di depannya.
"Ya pak, bapak memanggil saya, ada yang bisa saya bantu?" Untuk beberapa saat Dave tidak merespon pertanyaan Laurel, justru mata birunya menatap ke arah Laurel tanpa berkedip, membuat Laurel merasa kikuk.
"Pak...." Melihat begitu lama tidak ada respon dari Dave, Laurel memberanikan diri memanggil Dave.
"Aku tidak pernah setuju dengan panggilan pak yang kamu sematkan kepadaku," Laurel sedikit kaget mendengar perkataan Dave.
"Maaf, jadi saya harus memanggil pimpinan saya dengan sebutan apa?" Dave mengernyitkan alisnya, membuat wajahnya terlihat benar-benar serius dan jauh dari kesan ramah, tidak seperti apa yang digembar gemborkan para pegawai disini bahwa Dave adalah seorang pemimpin yang ramah dan menyenangkan.
"Apa kamu tipe orang yang begitu tidak perduli dengan orang-orang di sekitarmu?" Laurel kembali dikagetkan dengan pertanyaan balik dari Dave yang terkesan sinis.
"Maksudnya pak? Eh...." Laurel menjadi salah tingkah, tidak tahu apa yang harus dikatakannya, rasanya semuanya menjadi salah, wajah Dave terlihat tidak senang dengan apa yang barusan Laurel katakan.
"Apa kamu tidak pernah memperhatikan bagaimana cara pegawai disini memanggilku?"
Oh my God..... Laurel berteriak dalam hati, pimpinannya ini benar-benar orang yang tidak bisa diprediksi. Menurut info dari semua pegawai, pimpinan rumah sakit ini, yang sekarang sedang menatapnya dengan tajam ini adalah laki-laki tampan, bijaksana, ramah, baik hati, pemurah, dan bla bla bla, rasanya banyak sekali pujian dari para pegawai disini untuk Dave, tapi yang Laurel lihat sekarang tidak satupun gambaran tentang laki-laki ini yang cocok dengan kenyataan yang dia hadapi saat ini, kecuali satu, tentang dia seorang laki-laki tampan, tentu saja Laurel tidak bisa menganggap itu tidak benar, karena jujur saja baginya laki-laki di hadapannya sekarang memang benar-benar tampan.
"Bos.... Mereka memanggil anda dengan sebutan bos." Dave mengangguk cepat.
"Sepertinya kamu belajar dengan cepat, tidak rugi aku merekrut karyawan secerdas kamu. Ok, silahkan kembali bekerja," Kali ini mata Laurel tanpa sadar benar-benar melotot.
Apa-apaan ini? Hanya karena aku tidak memanggilnya dengan sebutan bos tetapi pak, dia memanggilku ke ruang kerjanya secara pribadi dan menegurku? Seolah-olah aku sudah melakukan kesalahan fatal? Atau seolah-olah aku sudah melakukan malpraktek? Laurel menarik nafas panjang, menahan emosinya agar tidak tampak di wajahnya dan dengan cepat dia memaksakan senyum di wajahnya.
"Baik bos, maaf sudah membuat ketidaknyamanan ini, saya permisi," Tanpa melihat wajah Laurel, Dave mengangguk, mengambil map di atas mejanya dan membukanya, berkonsentrasi terhadap file di dalam map di depannya. Laurel hanya bisa menahan nafasnya dan segera membalikkan badannya berjalan dengan sedikit tergesa-gesa keluar dari ruangan Dave.
Begitu Laurel membalikkan badannya, Dave mengangkat kepalanya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya sambil memandang ke arah tubuh Laurel yang berjalan menjauh, mengamati Laurel dengan senyuman di bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
Edah J
senyum penuh misteri ya boss😁😁
2022-10-17
0
Alexandra Juliana
Modus itu mah biar bisa melihat dan berbicara secara pribadi tanpa dilihat org lain...Dave bisa aja yaaa ngerjain istri sendiri 😁😁
2022-10-12
0
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
dave ...
2022-08-24
0