"Fir, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Buanglah rasa kecewa di hatimu, mengertilah tentang situasi papamu sekarang ini, dia berjuang untuk kenyamananmu, Fir."
Safira masih diam tidak menjawab perkataan Askana. Ia mulai mencerna perkataan yang diucapkan sahabatnya.
"Kamu benar, aku tidak boleh egois, aku harus memikirkan perasaan Papah. Thanks ya, An? Kamu memang sahabat baikku yang selalu ada untukku."
"Iya sama-sama, Fir."
Safira merasa beruntung memiliki sahabat seperti Askana yang selalu mengerti akan kondisinya. Rasa sedih yang mengganggu pikirannya juga hatinya sekarang sudah berkurang, dan tak terasa akhirnya mobil Safira sampai di halaman rumah Askana, segera mereka turun dari dalam mobil dan mengetuk pintu sambil berucap salam.
"Waalaikumsalam," jawab Bu Asyifa membukakan pintu.
"Kalian sudah pulang?"
"Iya Bu," ucap Askana dan Safira sambil mencium punggung tangan Bu Assyifa.
Safira meminta izin untuk menginap, dan ingin tidur bareng bersama ibu Askana, dengan senang hati Bu Assyifa mengijinkan.
"Boleh Fir, tiap hari juga boleh. Tapi maaf, rumah ibu kecil dan kamarnya sempit."
Betapa senangnya hati Safira. Ia meloncat kegirangan. Ia menuju kamar Askana terlebih dahulu untuk mengganti pakaian. Askana hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan ke palanya melihat tingkah Safira yang seperti anak kecil menurutnya.
"Ana, jangan sirik ya," ucap Safira menggandeng tangan Bu Asyifa menuju ke kamarnya."
Bu Assyifa menyuruh Askana untuk segera istirahat. Askana pun segera menuju kamarnya, karena merasa gerah ia mengambil handuk yang berada di lemari dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan keringat yang menempel ditubuhnya. Setelah selesai mandi Askana segera memakai pakaiannya dan menuju ketempat tidur. Namun, mata Askana belum juga bisa terpejam. Ia mengambil sebuah foto dari laci yang berada di samping tempat tidurnya.
Askana memandangi, menyentuh poto tersebut, air matanya pun menetes. Bapak, Ana rindu. Hanya itulah kalimat yang Askana bisa ucapkan untuk mengobati rasa rindu di dalam hati kepada bapaknya. Askana memeluk poto bapaknya dengan sangat erat, ia menarik selimut menutupi tubuhnya dan akhirnya tertidur nyenyak.
* * *
"Kalian kok masih belum tidur? Ini sudah jam sepuluh loh."
"Belum ngantuk, Bunda. Lagi asyik nonton bola dulu.
"Lebih baik bunda saja yang tidur. Bunda harus banyak istirahat."
"Afandi belum pulang ya, Fan?"
"Mungkin masih sibuk sama kerjaan kantornya."
"Akhir-akhir ini kakakmu jarang pulang. Kalau pulang pun paling jam tiga pagi dan langsung masuk kamar, paginya sudah berangkat kerja lagi. Bunda merasa kesepian, Fan. Ditambah kamu nggak ada di rumah," ujar bunda sendu.
"Kapan kamu ngenalin pacar kamu pada bunda, Fan?"
"Bentar lagi Bunda. Masih tahap pencarian," celetuk Doni.
Rafan memberi isyarat dengan mengedipkan matanya pada Doni. Ia takut, Doni akan keceplosan dan memberi tahukan pada bundanya.
"Kenapa lo, Fan? Cacingan mata lo."
"Kamu main rahasia dari Bunda, Fan?"
"Tidak, Bun. Doni hanya asal bicara, nanti kalau sudah nemu yang pas ... Rafan kenalin ke bunda, sekarang lebih baik bunda tidur sudah malam."
Setelah mendengar ucapan putranya. Bunda Aulia segera menuju kamarnya untuk beristirahat. Sedangkan Rafan melirik tajam ke arah Doni.
"Serem gue," ujar Doni sambil tertawa.
"Emang lo belum kasih tahu bunda tentang masalah lo?"
"Belum, Don. Nanti saja kalau waktunya sudah tepat, gue bakal kasih tahu bunda, kalau gue cerita sekarang malah akan memperpanjang masalah, apalagi itu cewek belum kita temukan."
"Lo bener, Fan. Gue setuju sama pemikiran lo, gue aneh sama Kakak lo, kerja kok sampai nggak tahu waktu gitu!"
"Namanya juga anak kebanggaan ayah, Don. Sudahlah! Nggak usah bahas itu, males gue jawabnya."
Mereka melanjutkan menonton bola sampai larut malam. Sehingga rasa kantuk mulai menusuk mata mereka, tak mampu lagi untuk membuka mata dan akhirnya mereka tertidur di sofa dengan nyenyaknya.
Rafan terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam tangan yang di pakainya ternyata sudah jam tiga pagi, karena merasa haus ia pergi menuju dapur untuk mengambil air dari dalam kulkas, terdengar suara mobil yang tak asing baginya. Security pun segera membuka gerbang dan mobil itu segera masuk ke halaman rumah.
Bi Ami tergesa-gesa membukakan pintu, dengan wajah yang sedikit takut.
"Awas! Jangan berani bilang ke bunda atau ayah." Ancam Afandi sambil berlalu pergi menuju kamarnya. Ia pun terlihat sempoyongan karena mabuk. Rafan hanya bisa menggelengkan ke palanya melihat prilaku kakaknya itu.
Rafan mendengus kesal. "Kebiasaan anak kesayangan pulang mabuk-mabukan," sindir Rafan sambil meneguk air minumnya.
Bi Ami segera menutup pintu kembali. Ia segera menuju dapur. Betapa terkejutnya Bi Ami mendapati Rafan sedang berdiri menyaksikan Afandi yang sedang berjalan sempoyongan.
"Den Rafan sudah bangun?" ucap Bi Ami sambil menunduk karena takut.
Rafan membalikkan badannya dan melihat ekspresi wajah Bi Ami yang sedikit gugup.
"Bibi gak usah gugup gitu. Aku sudah tahu semua kelakuan Afandi kakakku sendiri."
"Tapi jangan dilaporin ke Ibu ya, Den. Bibi takut dipecat."
"Tenang saja, Bi," jawab Rafan sambil menepuk pelan pundak Bi Ami dan ia pun berlalu pergi menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
"Den Rafan sangat baik, jauh berbeda dengan kakaknya, kasihan Den Rafan selalu tersisihkan,"
gerutu Bi Ami. Ia kembali menuju kamarnya lagi untuk beristirahat.
"Gue lupa. Doni masih tidur di sofa. Sudahlah, biarkan saja, dia selalu nyenyak tidur di sofa juga," ucap Rafan kembali tidur di kamar dengan memeluk erat gulingnya.
Bunda bangun dan melihat jam yang ada di nakas samping tempat tidurnya, waktu sudah menunjukan jam 04:30 pagi, bunda menuju kamar mandi membersihkan badan lalu melaksanakan salat subuh. Tak lupa bunda Aulia menuju kamar Rafan untuk membangunkannya.
"Fan, bangun, ini sudah pagi," ucap bunda, menepuk tubuh putranya supaya bangun.
"Masih ngantuk, Bunda," jawab Rafan memeluk erat guling di sampingnya.
"Ayo sembahyang dulu," ucap bunda menarik lembut tangan putranya supaya dia bangun.
"Kamu tuh sudah besar. Masih saja seperti anak-anak, bangunnya susah. Malu nanti sama istri kamu, Fan. Kalau bangunnya susah."
Rafan akhirnya bangun dan duduk sambil menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
"Mandi sekalian biar segar. Bunda kebawah dulu mau nyiapin sarapan."
"Iya, Bun," jawab Rafan sambil berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, selesai mandi dan memakai pakaian, Rafan segera melakukan salat, dilanjutkan berdo'a.
Ya Allah, berikanlah aku petunjuk, supaya aku bisa segera menemukan gadis yang sudah aku nodai. Aamiin.
Setelah selesai melakukan salat, Rafan melipat sajadah dan juga membereskan tempat tidurnya. Ia teringat akan Doni, kalau dia masih tidur di sofa. Rafan segera menuju ke lantai bawah untuk membangunkan sahabatnya. Tanpa sengaja, Rafan mendengar percakapan Afandi di balik pintu, karena kamar Rafan bersebelahan dengan kamar Afandi.
"Jangan sampai hamil! Kalau hamil gugurkan saja," ujar Afandi setengah berteriak, lalu memutuskan teleponnya. Dia keluar dari kamarnya dan terkejut melihat Rafan yang berdiri didekat kamarnya.
"Ngapain lo, Fan, di depan kamar gue?"
"Gue baru saja keluar, emangnya kenapa? Muka lo kaget gitu lihat gue."
"Lo, nggak dengar apa-apa kan, Fan?"
"Ya nggaklah," jawab Rafan berlalu pergi meninggalkan Afandi yang sedang berdiri mematung. "Semoga benar, Rafan tidak mendengar pembicaraan gue," gerutunya.
Rafan terus berjalan menuruni anak tangga. "Tunggu Fan," panggil Afandi.
"Lo, nginep? Tumben pulang ke rumah."
"Kangen, Bunda," jawabnya singkat. "Lain kali ... kalau kerja harus ingat waktu. Kasihan Bunda juga butuh perhatian lo," ucapnya lagi.
Afandi hanya terdiam saat mendengar perkataan adiknya. Ia berusaha mencerna setiap ucapannya.
Setelah berada di lantai bawah, Rafan membangunkan Doni yang masih tertidur pulas di sofa. "Nih anak ... tidur sudah kayak kebo saja," ucap Rafan. Terlintas kejahilan dalam pikiran Rafan untuk membangunkan sahabatnya.
"Don! Bangun, Don! Ada maling."
Teriak Rafan. Membuat Doni kaget setengah mati, dia duduk dan langsung berdiri setengah sadar, ke palanya pun tersa pusing karena bangun secara tiba-tiba.
"Mana malingnya! Mana?" ucap Doni dengan mata yang masih sedikit terpejam.
Rafan tertawa terbahak-bahak karena berhasil menjahili sahabatnya.
"Sialan lo, Fan! Hampir saja jantung gue copot karena kaget," omel Doni kepada sahabatnya.
Bukannya menjawab, Rafan malah terus saja tertawa melihat Doni yang terlihat kucu karena kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 368 Episodes
Comments
Isnaya faniati
huuh anak kebanggaan ko bejad kelakuanya belum tau aja bpa nya klau tau kan menyesal telah menyiakan2efan
2022-08-31
0
Juliana Citra
thor kpn ktmu'a udh gk sabar ni..
2021-02-08
0
Refa Aulia
lama banget sih Thor kapn ketemunya.
2021-02-07
0