Seandainya aku bisa mengatakan kepada ibu, kalau aku sudah dinodai.
Askana semakin erat memeluk tubuh ibunya, tak kuasa lagi untuk menahan sesak di dada dan mencurahkannya dengan air mata.
"Kenapa malah bersedih, Ibu banyak bertanya karena terlalu khawatir." Bu Asyifa mengusap lembut kepala Askana. Sembari menghapus air mata yang membasahi pipi putrinya.
"Aku tidak bersedih, hanya rindu kepada Ibu," balas Askana memaksakan tersenyum walau kenyataannya hati sedang terluka.
"Kamu ini, tiap hari juga selalu bertemu." Bu Asyifa menjawil dagu Askana dan menyuruhnya untuk segera istirahat.
"Iya. Ibu juga istirahat ya, biar cepat sembuh," balas Askana kembali memeluk ibunya sekilas.
Bu Asyifa mengangguk, disertai batuk. Askana mengantarkan ibunya ke kamar, tak lupa menyelimuti tubuh sang ibu setelah berbaring di kasur.
"Aku pamit ke kamar dulu ya, Bu."
"Iya, Askana."
Askana menyalakan lampu kamarnya. Bersandar didinding, pikirannya kalut. Yang terlintas hanyalah, ia ingin mengahiri hidupnya.
Namun, terbayang wajah ibu yang selalu memberikan kasih sayang untuknya. Senyumam yang selalu terukir di wajah sang ibu menjadi penyemangat untuk kegundahan hatinya saat ini.
Askana berpikir kembali akan dasyatnya hukuman Allah di akhirat nanti, bila ia sampai melakukan bunuh diri. Ia pun membaca istighfar sebanyak tiga kali dan membuang semua pikiran buntunya itu.
Tidak, Askana! Kamu tidak boleh begini. Kamu harus kuat dan tegar, jika kamu lemah. Siapa yang akan merawat dan menjaga ibu? gerutu Askana menyemangati diri.
Ya, Allah. Inikah ujian untukku? Ampuni aku atas kesalahanku. Jika ini takdir yang harus aku jalani, maka kuatkanlah.
Tak kuasa Askana menahan air matanya. Ia terus menangis meratapi dirinya sendiri. Duduk dilantai sembari melipat kaki disertai air mata tang mengalir deras.
Sentuhan pria itu sangat membekas dalam ingatan, bagaimana bisa lupa dan mencoba untuk melupakan. Jika kemalangan itu terus berputar dikepala.
Disela tangisnya, ponsel milik Askana terus bergetar. Panggilan masuk itu dihiraukan karena tak sanggup untuk bicara, bibir Askana terasa kaku.
Maafkan aku, Fir. Aku tak bisa menerima telpon darimu. Aku tak sanggup bicara denganmu dalam keadaanku yang seperti ini.
Safira tak putus asa. Ia kembali menghubungi sahabatnya karena sangat khawatir.
Askana melihat ponselnya kembali bergetar, ternyata Safira yang masih saja manghubunginya, dengan terpaksa ia menjawabnya.
"Assalamualaikum, An?"
"Waalaikumsalam." Dengan suara serak Askana menjawab.
"Kok, aku nelpon enggak dijawab sih, An? Aku khawatir banget sama kamu."
"Maaf, Fir? Aku ketiduran," jawabnya membohongi Safira. Ia tak mampuh lagi untuk berkata-kata, air mata tak hentinya menetes membasahi pipi.
"Kirain aku kamu kemana. Ternyata sudah tidur. Aku mikirin kamu terus, takut terjadi apa-apa sama kamu, An. Sekarang aku merasa tenang, kalau kamu sudah ada di rumah."
Askana menutup mulut menahan tangisnya saat mendengar kekhawatiran Safira kepadanya. Ingin sekali ia bercerita. Namun, tak bisa.
Seandainya saja kamu tahu, Fir. Aku sudah dinodai, kehormatanku hilang dalam semalam.
"Kamu beneran enggak kenapa-napakan, An?"
"Aku baik-baik saja, Fir."
"Syukurlah. Kalau kamu baik-baik saja. Sekarang kamu lanjutin lagi istirahatnya, aku juga sekarang masih di perjalanan bersama papa sebentar lagi aku akan sampai ke hotel. Maaf ya, An. Aku sudah mengganggu waktu istirahatmu. Karena aku merasa tidak nyaman dan sangat khawatir kalau aku belum mendengar suaramu. Aku tutup teleponnya. Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam."
Askana kembali menangis mendengar suara sahabatnya. Ia segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, berusaha untuk memejamkan matanya. Karena terlalu lelah akhirnya Askana terlelap tidur dengan deraian air mata yang masih membasahi pipinya.
* * *
Keesokan harinya. Askana sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Ia merasakan tubuhnya demam karena semalam kehujanan. Ia pun memaksakan untuk bangun dan menuju kamar mandi, rasa perih masih ia rasakan diarea sensitifnya.
Askana teringat kembali akan kejadian semalam, sewaktu pria itu melakukannya sampai berkali-kali dan tanpa henti. Sehingga Askana masih merasakan perih di area sensitifnya sampai sekarang.
Setelah sampai di kamar mandi. Askana mengguyur tubuhnya dengan air dingin sehingga membuatnya semakin menggigil, dan demam yang ia rasakan semakin menguat. Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sedikit pucat. Setelah memakai pakaiannya segera ia melaksanakan salat subuh dan memanjatkan do'a kepada Sang Khalik.
"Ya Allah. Tabahkanlah hatiku, untuk menerima cobaan ini, hanyalah padamu ya Allah aku perserah diri," dalam Do'a-nya. Setelah itu Askana melanjutkan dengan membaca ayat suci Ak-qur'an sebagai pengobat hatinya yang sedang lara.
Setelah selesai mengaji ia melipat sajadahnya dan menyandarkan kepalanya di tepi tempat tidur karena merasakan sakit di kepalanya semakin menguat. Ia bangkit dari duduknya menuju ke tempat tidur dan segera membaringkan badannya sambil memijat-mijat kepalanya.
"Aku harus kuat. Kasihan ibu kalau harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri."
Askana memaksakan untuk bangun dari duduknya, walaupun badannya terasa demam dan kepalanya terasa sakit, dia pun segera menghampiri ibunya.
"Kamu sudah bangun, Nak? Kenapa wajah mu sangat pucat, apakah kamu sakit?" tanya Bu Assyifa sambil menyentuh kening Askana.
"Badanmu sangat panas, Ana? Mata kamu juga sembab sekali, apakah kamu menangis semalaman?"
"Tidak, Bu. Ana baik-baik sajah," sambil tersenyum ia menjawab menyembunyikan kesedihan hatinya.
"Tapi tidak ada yang Ana sembunyikan dari Ibu, kan?" tanyanya penuh selidik.
"Mana mungkin Ana punya rahasia, apalagi sampai tidak bilang kepada ibu," jawabnya sambil memeluk tubuh ibunya.
Hati Askana begitu hancur, harus membohongi seorang ibu yang sangat ia cintai.
Maafkan atas kebohonganku, ya Allah," gerutu Askana dalam hatinya sambil memeluk erat tubuh ibunya.
Air matanya kembali menetes, segera Askana menghapusnya agar tidak terlihat oleh ibunya.
"Ibu masak apa?" Askana bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ibu masak ayam goreng, sama sayur asam kesukaan kamu."
"Kayaknya enak banget, Bu. Ana jadi lapar, kita makan yu, Bu?"
"Iya. Kita makan sama-sama, biar kamu langsung cepat meminum obat. Ibu khawatir kalau kamu sudah sakit, Nak!"
Askana pun makan bersama ibunya, sesekali Bu Assyifa menyuapinya membuatnya sangat bahagia mempunyai seorang ibu yang sangat menyayanginya. Selesai makan, Askana membereskan meja makan dan langsung mencuci piring kotornya. Dia terlihat sangat sibuk membereskan rumahnya.
"Biar Ibu saja yang membereskan rumah. Kamukan lagi gak enak badan, lebih baik sekarang kamu istirahat," ujar Bu Assyifa dengan lembut.
"Ana masih kuat kok, Bu. Untuk membantu ibu membereskan rumah. Ana malah lebih khawatir kepada kesehatan ibu, kalau ibu terlalu capek."
Bu Assyifa hanya bisa menatap anak-nya yang lagi membereskan rumah, ia merasa ada yang berbeda dengan putrinya, terlintas di pikiran bu Assyifa bahwa ada yang sedang disembunyikan oleh putrinya.
Setelah selesai dengan pekerjaan rumahnya, Askana meminta izin untuk beristirahat ke kamarnya kembali, ibunya pun mengijinkan karena mengetahui kondisi putrinya yang sedang tidak enak badan, padahal banyak sekali yang ingin Bu Assyifa tanyakan kepadanya, tapi melihat kondisi putrinya yang sedang tidak sehat dia pun mengurungkan niatnya
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Di tempat lain, tepatnya di dalam mobil sport warna hitam. Seorang pria masih tertidur dengan mimpi indahnya. Tiba-tiba saja, ponselnya berdering. Suara bunyi ponselnya memenuhi ruang dalam mobil tersebut. Membuat pria yang sedang tidur pulas pun merasa terganggu dengan suara bunyi ponselnya, dengan terpaksa ia mengangkatnya.
"Apaan sih, lo! Pagi-pagi ginih sudah bangunin orang saja."
"Apa? Jam sepuluh!"
Dengan kagetnya pria itu menjawab dan beranjak bangun sambil menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku dan mulai menyadarkan diri. Di lihatnya jam tangan yang ia kenakan, ternyata waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi.
"Sialan! Dia nipu gue, awas saja nanti kalau kita ketemu," gerutunya.
"Iissshh! Kepala gue pusing banget, sepertinya gue kebanyakan minum," ucapnya sambil terus memegangi kepalanya yang terasa pusing. Setelah kesadarannya mulai pulih pria itu mengingat-ngingat kejadian semalam.
"Sial!" umpatnya, sambil mengacak-ngacak rambutnya frustasi. "Apa yang sudah gue lakukan semalam?"
Pria itu teringat sosok wanita yang semalam mencoba menolongnya, namun pria itu tidak bisa mengingat jelas wajah gadis itu, ia pun melihat penampilannya yang berantakan dan bekas gigitan ditangannya membuatnya semakin frustasi saat bayangan semalam mulai teringat di pikirannya apalagi setelah melihat setetes darah di baju-nya.
"Sial-sial!" umpatnya lagi dengan nada yang sangat keras sambil memukul setir mobil miliknya. Dia menjadi kesal kepada dirinya sendiri.
"Jangan-jangan gue semalam menodai anak orang lagi? Ah, sial! Bodoh banget kelakuan gue," teriaknya lagi.
"Rafan Mahendra, lo memang bodoh! Masalah yang satu belum kelar malah menambah masalah baru," ucapnya memaki dan menyebut namanya sendiri. Rafan mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, Bro! Gue butuh bantuan lo, temuin gue di tempat biasa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 368 Episodes
Comments
SimboLon Hayati Nur
wah berrti bkn St org dong yg d nodai
2021-07-27
0
Nuna
wow anak orang lagi😱
2021-02-14
0
chinoet
yg sabar ya ana hidup itu perih.. semoga ga hamil
2021-02-06
1