Pagi harinya Askana bangun dan masih saja merasakan pusing di kepalanya, segera ia menuju kamar mandi untuk berwudhu melaksanakan salat subuh. Selesai salat, Askana menyandarkan ke palanya di tepi tempat tidur karena masih merasa pusing, terdengar suara ketukan pintu yang mengetuk pintu kamarnya.
"Ana, Apa kamu sudah bangun?" ujar Bu Assyifa sambil mengetuk pintu, membangunkan Askana untuk salat.
"Ana sudah bangun, Bu."
Dengan suara lemas Askana menjawab. Bu Assyifa membuka pintu kamar, dan melihat putrinya sedang menyandarkan ke palanya di tepi tempat tidur. Segara ia menghampiri Askana dan mengecek suhu tubuhnya dengan menempelkan punggung tangan di keningnya.
"Badanmu masih hangat, Nak. Lebih baik kamu tidur saja kembali, ibu akan membuatkan bubur untukmu."
"Tidak usah, Bu. Ana baik-baik saja, lebih baik sekarang kita masak bersama-sama yuk, Bu? Kalau banyak digerakin badan Ana pasti akan lebih enakan, dari pada dibawa tiduran terus malah terasa gak nyaman."
"Baiklah, Nak. Kalau memang kamu maunya begitu, kita akan masak bersama-sama."
Askana bangun dari duduknya, melipat mukena dan sajadah, juga membereskan tempat tidurnya. Setelah selesai membereskan kamar. Ia langsung menyusul ibunya yang sudah terlebih dahulu menuju dapur untuk memasak dan segera membantu ibunya mengiris sayuran.
"Ibu mau bikin goreng ayam sama tumis capcaykan?"
"Iya, Nak," jawab ibunya sambil tersenyum.
Askana segera mengambil ayam potong dari dalam kulkas, dan segera mengulek bumbu untuk ayam gorengnya.
"Biar Ana saja, Bu, yang memasaknya. Ibu lebih baik duduk saja."
Bu Assyifa pun menuruti perkataan putrinya. Ia duduk di kursi sambil memegang dadanya yang mulai terasa sesak. Askana melirik ke pada ibunya yang sedang memegangi dadanya.
"Ibu kenapa? Apakah dada ibu terasa sakit lagi?" tanya Askana sangat khawatir.
"Tidak, Nak. Ibu tidak kenapa-napa," jawab Bu Assyifa menutupi rasa sakitnya, supaya Askana tidak merasa khawatir kepadanya.
Tiba-tiba saja ponsel milik Askana berdering, ternyata Safira yang menghubunginya. Ia langsung menjawabnya.
"Assalamualaikum, An?"
"Waalaikumsalam, Fir."
"Kamu lagi ngapain di rumah?"
"Aku lagi membantu ibu masak, Fir."
"Asik dong. Sekarang aku lagi di perjalanan menuju ke rumah kamu, soalnya sepulang dari Bandung aku langsung menuju ke rumah kamu. Aku sudah kangen ingin bertemu dengan ibu dan juga kamu, An."
"Aku tunggu kedatanganmu, Fir."
"OK, jangan lupa masaknya yang enak ya, An?"
"Iya, tenang saja. Makanya sudah dulu bicaranya, nanti gosong lagi masakkan aku."
"Ya sudah deh. Aku tutup teleponnya ya, An. Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam," jawab Askana saat mengakhiri pembicaraannya dengan Safira.
"Siapa yang menelpon kamu, Nak?" tanya Bu Assyifa merasa penasaran.
"Safira, Bu. Katanya ia mau kesini," jawab Askana ke pada ibunya.
Baru beberapa menit saja Askana berbicara dengan Safira, sudah terdengar suara mobil yang berhenti di halaman rumahnya. Tak lupa ketukan pintu beserta ucapan salam dari luar rumah, Bu Assyifa segera membukakan pintu sambil menjawab salamnya.
"Eh, Nak Fira, sudah datang. Baru saja diomongin. Ayo masuk, Nak," ujar Bu Assyifa dengan sangat ramah.
Safira segera mencium punggung tangan Bu Assyifa. Ia terlihat sangat bahagia bisa bertemu sahabat dan juga ibu yang di rindukannya, karena Safira sudah menganggap ibu Askana seperti ibunya sendiri. Safira mencium aroma masakan yang sangat lezat. Segera ia menuju dapur mendekati aroma makanan yang sudah membuat perutnya menjadi lapar. Safira melihay Askana sangat sibuk menyajikan masakannya di piring. Safira pun segera membantu pekerjaan sahabatnya itu. Menata makanan di meja, setelah selesai mereka duduk bersama di meja makan.
"Gimana perjalanan kamu, Fir? Apakah menyenangkan."
"Kayaknya aku sangat menyesal ikut sama papah ke Bandung, enggak ada waktu untuk jalan-jalan. Papa malah sibuk dengan pekerjaannya," jawab Safira sambil memonyongkan bibirnya karena merasa kesal.
Safira melirik wajah Askana yang sedikit pucat. Ia pun bertanya. "Kamu sakit, An? Ko wajah kamu pucat sekali."
"Askana sedikit nggak enak badan, Fir. Kemarin malam pulang hujan-hujanan," sahut Bu Assyifa menjelaskan.
"Kok bisa sih, An?" tanya Safira sangat khawatir.
Askana tak mampu menjawab pertanyaan sahabatnya. Badannya kembali bergetar dan terasa lemas, kejadian ke marin malam mulai teringat kembali di pikirannya.
"Lebih baik kita makan saja, Fira pasti sudah laparkan?" ucap Bu Assyifa sambil mengambilkan nasi ke piring Askana dan Safira.
"Iya, Bu. Safira memang lapar banget, sengaja belum sarapan karena ingin makan masakan ibu."
Safira sangat menyukai masakan yang dibuat oleh Ibu Askana, menurutnya masakan yang dibuat olehnya sangat lezat.
"Tapi semua makanan ini Askana yang membuatnya bukan ibu, Fir."
"Jangan-jangan masakannya nggak enak lagi, Bu. Kalau Askana yang bikin," canda Safira sambil tertawa.
Safira mulai mencicipi masakan yang dibuat oleh sahabatnya. Ia hanya bisa mengangkat kedua ibu jarinya sebagai tanda perwakilan dari mulutnya, karena masakan yang dibuat oleh sahabatnya sangat lezat.
"Bu, boleh tidak kalau Safira setiap hari makan di rumah ibu?"
"Boleh, Nak."
"Sampai puas kamu, Fir. Makan di rumah ibu, gemuk-gemuk tuh badan," lanjut Askana Sambil tertawa.
Safira sudah tidak memiliki ibu, jadi ia selalu main di rumah sahabatnya bahkan menginap. Safira sangat merindukan sosok ibu, jadi ia betah kalau di rumah Askana, karena Bu Asyifa selalu memperlakukannya dengan sangat baik.
"Ana, hari ini kamu akan ke kampuskan?"
Askana terdiam, ada rasa bingung dalam pikirannya juga rasa takut untuk pergi ke kampus. Ia takut akan bertemu lagi dengan pria yang semalam sudah menodainya.
"Kok malah diam sih. Apa masih sakit badannya?" tanya Safira melirik ke arah Askana yang berada disampingnya.
Askana tak mampu menjawab pertanyaan Safira, kejadian kemarin malam masih sangat berbekas dalam hatinya, ada rasa takut untuk keluar rumah. Karena takut akan bertemu dengan pria otu lagi.
"Jangan memaksakan bila memang masih tak enak badan!" ujar Bu Assyifa yang mengetahui kegundahan hati putrinya dari raut wajahnya.
"Ana sekarang sudah lebih enakan kok, Bu. Kalau sekarang aku tidak masuk kuliah akan ketinggalan materi pelajaran, sedangkan sebentar lagi akan ada ujian di kampus, Bu!"
Bu Assyifa sangat mengerti akan keinginan putrinya itu, karena Askana seorang anak yang rajin dan tak pantang menyerah dengan keinginannya, sedangkan menjadi seorang sarjana adalah cita-cita almarhum bapaknya, maka Askana sangat giat belajar untuk mewujudkan keinginan bapaknya melihat ia bisa menjadi seorang sarjana, akhirnya Bu Assyifa pun mengijinkannya untuk pergi ke kampus.
Setelah mendapatkan izin dari ibunya, Askana membereskan meja makan dibantu oleh Safira. Ia pun pamit pada ibunya menuju kamar untuk mandi dan bersiap pergi ke kampus, ia berdiri di depan cermin menatap wajahnya sendiri dan melirik kearah lehernya, ternyata bekas merah di lehernya itu belum hilang sepenuhnya, ia segera memakai hijabnya takut Safira akan melihatnya.
"Ehem" Deheman Safira membuatnya kaget.
"Kamu ngagetin saja sih, Fir," sahut Askana.
"Kamunya bengong mulu, kenapa sih? Aku lihat kayaknya ada yang beda sama raut wajah kamu, An."
"Apa sih yang beda dari wajah aku? Sudah ah, jangan banyak bicara entar kita telat lagi ke kampusnya," jawab Askana sambil berlalu pergi menemui ibunya untuk berpamitan pergi ke kampus bersama Safira.
"Askana sama Fira pamit ya, Bu. Ibu hati-hati di rumah."
"Iya, Nak," jawab ibunya.
Askana dan Fira menyalami punggung tangan ibunya sambil mengucap salam. Mobil pun berlalu meninggalkan pekarangan rumahnya.
"An. Apa kamu lagi menyembunyikan sesuatu dari aku?" tanya Fira penuh selidik.
Askana hanya menggelengkan ke palanya saja, padahal hatinya begitu pilu ingin sekali bercerita pada sahabatnya tentang peristiwa yang sudah dialami, namun ia bingung harus memulai dari mana untuk menceritakan kisah pilunya kepada sahabatnya.
Sesampainya di kampus, Askana dan Safira turun dari dalam mobil, banyak suitan dari pria kampus menyambut kedatangan Safira yang selalu jadi pusat perhatian pria kampus karena cantik dan juga bergaya menarik.
"Aku masuk kelas duluan ya, Fir?"
"Loh, kok buru-buru banget sih, An. Kanmasih ada waktu untuk berbincang diluar kelas sebelum pelajaran dimulai, lagian dosennya juga belum datang."
Karena tidak ada jawaban dari Askana. Akhirnya Fira mengikutinya menuju kelas, tak lama semua murid yang lain pun masuk ke dalam kelas karena dosen sudah siap untuk mengajar. Pelajaran pun dimulai. Banyak materi yang diberikan oleh dosen di hari ini membuat kepala Fira jadi pusing. Apalagi pelajaran materinya membahas tentang hal yang sulit dimengerti olehnya. Safira menyenggol tangan Askana membuatnya kaget dari lamunannya.
"Kok malah ngelamun? Kamu ngerti nggak yang dosen jelasin?"
"Ya -- yang mana?" terbata Askana menjawab.
"Kamu kebanyakkan ngelamun deh, An."
Akhirnya materi yang diberikan dosen pun selesai, Safira bernafas lega dan merasa senang. Akhirnya ia bisa terlepas dari pelajaran yang membuat pusing ke palanya.
"Senang banget sih kamu, Fir?"
"Habisnya.Tuh Pak dosen ngasih materi rumit banget, pusing ke palaku jadinya."
Safira mengajak Askana menuju kantin untuk makan siang, sesampainya di kantin Askana memesan makanan yang ia suka, yaitu jus jeruk dan bakso.
"Enggak bosan kamu, An? Setiap makan di kantin bakso mulu yang kamu makan, apa enggak ada menu yang lain yang kamu suka?" tanya Safira sambil tertawa.
Safira dibuat kaget oleh Askana, soalnya kalau sedang makan bakso ia tidak terlalu suka memasukkan banyak banyak sambal, tapi kali ini Askana memasukkan sambal yang begitu banyak ke dalam kuah baksonya.
"Kamu nggak salah, An? Biasanyakan kamu itu enggak terlalu suka pedas, kok sekarang porsi sambal kamu tuh berlebihan sih," tanya Safira heran melihat sahabatnya. Apalagi Safira tahu kalau Askana punya penyakit magh, yang bisa kambuh kapan saja kalau ia kebanyakan makan pedas.
"Nggak tahu, pokoknya enak banget deh," jawab Askana. Ia sengaja memasukan banyak sambal untuk menghilangkan kegundahan hatinya, dan melampiaskannya dengan memakan kuah bakso yang pedas.
"Awas tuh. Nanti kamu sakit perut lagi. Kamu jugakan lagi gak enak badan, jangan sampai kamu sakit kasihan ibu, An."
Askana tidak mempedulikan omelan sahabatnya. Ia terus saja melahap bakso yang ada di mangkuknya sampai habis. Safira hanya bisa menggelengkan ke palanya saja melihat sikap sahabatnya.
Tiba-tiba Askana berpamitan kepada Safira untuk ke toilet, karena perutnya terasa mual dan perih.
"Tuh kan. Sudah aku bilang. Pasti ujung-ujungnya sakit perut. Kamu sih, An! Gak dengerin aku," omel Safira ke pada sahabatnya.
Safira terus saja mengomel. Namun, Askana tidak mendengarkan omelannya dan berjalan tergopoh-gopoh menuju toilet. Sesampainya di toilet. Askana memuntahkan semua makanan yang sudah ia makan tadi.
Askana akhirnya menangis di dalam toilet meluapkan rasa sesak di dadanya yang sudah ia tahan sedari tadi pagi. Ia sengaja memakan pedas yang sangat banyak karena ingin meluapkan emosi yang ia rasakan, mungkin dengan cara memakan makanan yang pedas pikirannya akan terasa lebih tenang. Namun, ternyata itu salah, bukannya hilang perutnya malah terasa sakit.
Askana membasuh wajahnya dengan air, supaya wajah sembab karena sudah menangis tak terlihat oleh Safira. Setelah selesai, Askana pun keluar dari toilet dan tidak sengaja menabrak seorang pria.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 368 Episodes
Comments
Taeci
bagus
2020-07-06
2
Fitria novia
😱siapa tuh jgn " cowok malam itu🤔lanjut
2020-07-04
2
Lost
like like like 😍
2020-06-08
0