CINTA LUAR BIASA
"Lepaskan!"
Teriakan itu meluncur dari bibir seorang gadis yang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman seorang pria yang menahan kedua tangannya.
Tangisnya pecah, seraya memohon bantuan. Namun mulutnya dibungkam oleh tangan sang pria, yang kemudian memaksakan ciumannya, kasar dan tanpa izin.
Sorot mata pria itu terlihat membara, penuh keinginan yang membutakan logika. Ia mengira ini cinta, padahal hanya nafsu yang menyamar.
"Biarkan aku bersamamu, aku akan bertanggung jawab," bisiknya di telinga si gadis.
"Tidak," jawabnya tegas meski suara bergetar. "Aku bukan perempuan yang menyerahkan kehormatan pada seseorang yang bukan haknya."
Air mata mengalir di pipinya, satu-satunya cara ia bisa mengungkapkan rasa takut dan harap. Mungkin, hanya mungkin, hatinya bisa menyentuh hati pria itu.
Namun, pria itu semakin kalap. Ucapannya dingin namun penuh ambisi. "Aku tak bisa melepaskanmu..."
Dengan kasar, dia mulai menggerayangi tubuh si gadis yang terus berontak, memohon di antara isak tangisnya.
"Tolong, hentikan... jangan lakukan ini," isaknya, tubuhnya gemetar.
"Apa yang sudah aku genggam, tidak akan kulepas!" desis pria itu sambil mendorong tubuh si gadis ke tempat tidur.
Situasi itu tak lagi bisa dikendalikan. Logika pria itu telah tertutup oleh hasrat. Si gadis berjuang, namun kekuatannya tak sebanding.
Askana, sudah tak mampu lagi melawan. Bukan berarti ia pasrah dengan perlakuan keji dari pria yang kini merenggut haknya. Tapi tubuhnya lelah, jiwanya nyaris hancur.
Pria itu dengan buas menerobos batas yang selama ini dijaga Askana dengan sepenuh hati. Tubuhnya terguncang, tak berdaya. Ia bagaikan kelinci yang diterkam oleh singa buas, tanpa ruang untuk melarikan diri.
"Hentikan... sakit..." lirihnya, nyaris tak terdengar. Tapi jeritannya tak menggugah hati sang pelaku, yang terus melanjutkan kekejamannya.
Bagi pria itu, ini adalah permainan. Bagi Askana, ini adalah neraka. Luka yang ia terima bukan hanya di tubuh, tetapi jauh lebih dalam—di jiwanya.
Kesucian yang selama ini dijaga, kini hancur lebur. Seperti kaca yang terlempar keras ke tanah, pecah dan tak bisa kembali seperti semula.
Di luar, hujan deras turun, seolah langit ikut menangis bersama jeritan pilu seorang gadis yang ternoda dalam gelapnya malam.
Setelah semuanya selesai, pria itu hanya mengucap terima kasih—datar, dingin. Ia bahkan mengecup kening Askana, seolah tak terjadi apa-apa. Lalu terlelap dalam damai, tangannya melingkar di pinggang Askana, tak menyadari kehancuran yang telah ia tinggalkan.
Askana merasa jijik. Sentuhan pria itu membuatnya seakan kehilangan akal. Ia ingin berteriak, mengumpat sekeras-kerasnya, namun yang keluar hanyalah air mata yang terus mengalir tanpa henti.
Dengan perlahan, ia menepis tangan pria itu dari tubuhnya. Tubuhnya gemetar saat menuruni ranjang, memaksakan diri untuk berdiri meski terasa lemas. Setiap langkahnya terasa menyakitkan, terutama di antara pahanya yang nyeri. Ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai, lalu berjalan tertatih menuju kamar mandi.
Aku takkan pernah melupakan wajah pria itu... gumam Askana dalam hati, menatap bayangannya sendiri di cermin. Dia yang telah merenggut kehormatanku dengan paksa.
Ia menahan tangisnya sekuat tenaga, takut jika suara isaknya membangunkan pria itu. Setelah berpakaian kembali, Askana keluar dari kamar mandi dan melangkah meninggalkan kamar hotel itu tanpa menoleh sedikit pun.
Di luar, ia menunggu taksi yang telah dipesan lewat aplikasi. Ia tak mungkin naik angkot dalam keadaan seperti ini. Baju yang sedikit robek di bagian pundak, meski tertutupi hijab, tetap membuatnya merasa risih dan khawatir. Setidaknya, dengan naik taksi, ia merasa lebih aman, walaupun harus merogoh kocek lebih dalam.
Begitu taksinya datang, ia segera masuk dan duduk diam. Hatinya berkecamuk, kacau balau. Sepanjang perjalanan, Askana hanya bisa menangis. Air matanya tak terbendung, terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
Ketakutan lain muncul: bagaimana jika ibunya bertanya mengapa ia pulang terlambat? Bagaimana jika ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ia akan tetap diterima? Atau malah dianggap sebagai aib?
Apakah keputusannya benar—meninggalkan pria itu? Tapi bagaimana jika pria itu mengingkari janjinya? Jika ia memilih lari dari tanggung jawab? Bukankah pada akhirnya, Askana sendiri yang akan menanggung semuanya?
Takdir yang sungguh pilu. Dinodai oleh pria yang bahkan belum lama dikenalnya.
"Sudah sampai, Dek," suara sopir taksi membuyarkan lamunannya.
Askana belum juga merespons.
"Ini rumahnya, kan, Mbak?"
"I-iya..." ucap Askana, tersadar, buru-buru menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Ia lalu keluar dari taksi.
Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju rumah. Jaraknya dekat, tapi terasa begitu jauh. Bahkan untuk mengetuk pintu pun, rasanya tak ada tenaga. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk meraung dan menangis sepuasnya.
"Assalamualaikum..." ucap Askana pelan sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," sahut suara lembut seorang wanita dari dalam, membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Askana langsung masuk dan mencium tangan wanita paruh baya itu.
"Kok pulangnya telat sekali, Ana? Ada masalah di tempat kerja?"
Askana menggeleng. Tanpa kata, ia memeluk ibunya erat-erat, menumpahkan segala rasa sakit dan duka yang ia bawa pulang malam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 368 Episodes
Comments
anisah
knp kok sampai kek gitu???jg ngeri....punya anak perawan yg kluar malam...
2023-08-03
0
(F) Wike Swasti
baru mampir
2022-01-29
0
Mawar Hitam
👍👍👍👍💜
2021-09-05
0