Di rumah ataukah keluar, itu pilihan yang sangat mudah namun cukup sulit untuk di ambil, jika di luar Dinda memang lupa dengan masalah yang menimpanya, namun Ia tak akan bisa konsentrasi karena kejadian sore itu masih menyisakan luka, jika Ia memilih untuk di rumah pasti bayangan itu akan terus melintasi otaknya.
Setelah menghitung dengan jari lentiknya, akhirnya Ia memilih untuk keluar siang, menenangkan diri sejenak menyelesaikan tugasnya membuat desain baju untuk sebuah percobaan.
Berbeda dengan Dinda yang masih malas malasan untuk keluar, Syntia justru lebih antusias beraktivitas di luar rumah.
Bahkan wanita itu tak mempedulikan Alan yang masih memejamkan matanya.
''Mas aku pergi ya, mencium kening Alan yang saat ini menggeliat.
Heemm.... jawaban Alan dengan mata yang masih terpejam.
Setelah Syntia menutup pintu kamar dari luar, Alan membuka matanya, rasanya sudah tak enak untuk kembali bermimpi karena sudah terusik.
Alan bangun dan menatap jam ponselnya, ternyata masih pagi, dan masih lama untuk jam kantor.
''Mau ke mana Syntia sepagi ini, bukankah biasanya dia perginya siang, beranjak menuju kamar mandi.
Selang beberapa menit Alan keluar dari kamarnya memakai kaos oblong, itu artinya Ia belum siap untuk ke kantor, lagi lagi kini di liriknya kamar Dinda yang sedikit terbuka.
Tumben dia belum berangkat, batinnya.
Alan jalan mengendap endap menghampiri pintu kamar Dinda, di liatnya gadis itu masih aja sibuk dengan pulpen buku dan laptop yang terbuka di depannya.
Kamu sudah berani meremehkanku Din, awas saja aku akan memberi sebuah kenangan pahit yang tidak akan pernah kamu lupakan.
Jedar.... tiba tiba saja pintu kamar Dinda terbuka lebar, gadis itu menoleh namun tak se panik kemarin sore, dan kembali bergulat dengan laptopnya.
''Ada perlu apa kak?'' tanya nya tanpa menoleh sedikit pun.
Tak menjawab, Alan melipat kedua tangannya dan mematung di belakang Dinda.
''Apa ini cara kamu untuk menyambut suami yang datang padamu, ucap Alan bernada datar.
Gadis itu mendengus dan menutup laptopnya lalu berdiri , ''Terus aku harus nyambut gi mana?'' memutar tubuhnya ke arah Alan dan mendekatinya, menatap manik mata suaminya mencari cinta disana, namun nyatanya tak ada sedikit pun.
''Bukankah kakak sendiri yang tidak memerlukanku, meraih laptop dan meletakkannya ke dalam tas, namun secepat kilat Alan merebut tas Dinda dan melemparkannya ke arah pintu, hingga benda pemberian abangnya itu hancur.
Dinda hanya bisa menatapnya dari jauh dengan mata berkaca, tak menyangka kalau Alan akan berbuat seperti itu,.
''Kenapa kakak buang laptop aku?'' menunjuk ke arah benda yang kini sudah tak berbentuk lagi.
''Heh....sekarang kamu lihat kalau aku bisa melakukan yang lebih kejam lagi dari pada itu,
Alan terlihat begitu berapi api, seakan Dinda adalah musuh terbesarnya.
''Maksud kakak apa?'' masih menahan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk,.
''Maksud aku, kamu harus tau diri, jangan pernah meremehkan aku, dan perlu kamu ingat, '' menunjuk wajah Dinda dengan jari telunjuknya.
''Kita menikah hanya karena mama, dan itu pun untuk mendapatkan anak, jadi aku mau kamu melayaniku sekarang, mendorong tubuh Dinda hingga terhempas di atas ranjang.
Dinda mengundurkan dirinya berusaha menolak Alan yang kini di selimuti kemarahan dan ambisi, namun tenaganya yang lebih lemah tak mampu mengalahkan tubuh Alan yang begitu perkasa, Dinda yang sudah terpekik pun akhirnya menerima perlakuan Alan di pagi itu, dan lagi lagi dia harus kehilangan sebuah kehormatan sebagai seorang istri, Alan melakukannya dengan penuh nafsu bukan cinta dan itu yang membuat hati Dinda kini makin mengeras jika menatap wajah suaminya.
''Jangan nangis, kamu mau aku lebih marah lagi, ucap Alan di sela sela pergulatannya saat menatap Dinda yang hanya bisa mengeluarkan air matanya.
''Nikmati saja,'' membelai pipi Dinda yang kini hanya bisa melengos, menatap jendela yang masih tertutup korden,
Aku harus ikhlas, sekejam apapun dia adalah suamiku yang harus aku layani, batinnya menguatkan diri sendiri.
Akhirnya Dinda menampilkan senyum manisnya hingga pertempuran itu usai.
Bang sampai kapan aku sanggup hidup di kandang harimau seperti ini, aku nggak yakin kalau aku akan sanggup untuk menjadi istri kak alan untuk seumur hidupku, bukan niatku untuk berpisah, tapi aku juga berhak untuk bahagia.
Setelah puas menikmati tubuh istrinya, Alan keluar menuju ke kamarnya dan mengambil sesuatu di sana lalu kembali menghampiri Dinda yang masih meringkuk meratapi nasibnya.
''Ini untuk kamu,'' melemparkan kartu tipis yang di dalamnya penuh dengan uang, ''pinnya hari pernikahan kita, ucapnya lagi sebelum meraih kaos dan memakainya.
''Dan ingat, beli laptop baru, aku nggak mau kalau sampai mama dan Faisal tau kalau aku merusak laptop kamu,'' ucapnya lagi sebelum menutup kamar Dinda.
Dinda hanya diam, tak menanggapi semua ucapan suaminya, jangankan untuk mengambil, menatap saja Ia tak mau, dia bukan wanita malam yang habis di pakai dapat uang, tapi dia seorang istri yang harusnya di cintai.
Dari pada aku menerima uang dari kamu lebih baik aku tidak melanjutkan sekolahku, meraih ponselnya.
Tersambung, Dinda segera memberi tau Stefany kalau hari ini Ia tak masuk, dan memberi alasan kalau suaminya sakit.
Stefany yang percaya pun langsung menerima alasan Dinda yang masuk akal.
Dengan air mata yang tak setia, Dinda meraup benda yang kini sudah berkeping keping, betapa tega suaminya melakukan hal yang sekejih itu, dengan seenaknya Ia menghancurkan benda kesayangannya.
Entah kenapa hari ini Faisal pun ingin sekali mengetahui kabar adiknya, rasanya tidak afdhol jika hanya mendengar suaranya, dan Ia pun sudah berada di depan rumah mewah Alan.
''Bi, Dinda belum turun?'' tanya Faisal menghampiri Bi Romlah yang ada di belakang.
''Belum Den, Den Alan juga masih dikamar, kalau non Syntia sudah keluar tadi pagi, jawab Bi Romlah seperti yang di lihatnya.
Faisal manggut manggut dan menyeruput kopi yang entah milik siapa.
Baru juga ingin melangkahkan kakinya menuju tangga, Alan sudah muncul dengan baju kantornya.
''Kamu ngapain kesini?'' tanya Alan panik, tak biasanya Faisal datang tanpa permintaannya.
Apa dia bilang tadi, ngapain, ulang Faisal dalam hati.
Sedangkan Alan yang terkejut mempercepat langkahnya untuk turun dan mengajak Faisal menuju meja makan karena Ia tak mau kalau abang iparnya itu melihat adiknya yang kini mungkin saja masih berlinang air mata.
''Dinda mana?'' tanya nya, sorot matanya mengarah ke arah lantai atas.
Deg, jantung Alan berdenyut, terasa nyeri saat Faisal menanyakan sang adik.
Alan tersenyum kikuk dan mencoba tenang, supaya Faisal tidak curiga.
''Di kamar, tadi aku lihat dia baru mandi, mungkin bentar lagi turun, apa mau aku panggilkan, ucapnya lugas.
Faisal menggeleng pelan, ''Nggak usah, yang penting aku tau kalau dia baik baik saja. ucapnya meskipun nggak yakin seratus persen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Sitorus Boltok Nurbaya
kejam seperti Serial ikan terbang #Memilukan sekali😭😭
2022-05-01
1
💜jiminaa💜🐣
jhaat nya. 😭😭😭
2021-10-22
0
Tia Tia
ksih pelajaran donk thor biar alan tdk keterlaluan.. sya jdi terbwa emosi..
2021-10-21
1