Tak adakah sejumput cinta untuknya? dan apakah tak ada sejengkal kata indah yang di persembahkan untuk dirinya? mungkin itulah yang di pertanyakan Dinda saat ini.
Kejadian yang diinginkan itu terjadi, namun tidak dengan cara yang tragis. Bahkan Alan seperti tak punya hati sudah membuatnya bagaikan wanita murahan di depannya, kini pandangannya hanya tertuju pada laptop yang di belikan bang Faisal.
Jika waktu itu dengan pandangan penuh ke semengataan, kini berbalik, Dinda hanya bisa menitihkan air matanya, jangankan semangat rasanya untuk melanjutkan hidupnya saja susah mengingat dirinya yang tak di hargai suaminya.
Kini hanya wajah keluarganya yang melintas di otaknya. Bayangan Ibu dan Bapaknya lah yang bisa menguatkan dirinya yang sudah di ambang dalamnya sungai, yang sewaktu waktu bisa menenggelamkannya.
''Dinda...'' suara orang yang kini sangat Ia benci menggema. Dinda menyeka air matanya sebelum membuka pintu.
Kak Alan nggak boleh tau kalau aku sedih, aku nggak mau kalau dia marah lagi dan memeprlakukanku seperti tadi, batinnya.
Berdusta mungkin akan lebih baik.
Ceklek, pintu terbuka, suaminya mematung disana.
''Ada apa ya kak?'' ucapnya di iringi senyum kepalsuan.
''Kita makan malam,'' ucapnya dengan wajah datar.
Dinda mengangguk dan kembali menutup pintu kamarnya.
''Ingat! jangan bilang pada Syntia kejadian tadi," ucapnya lagi sebelum Dinda melangkahkan kakinya.
Kenapa jika mbak Syntia tau, aku kan istri kamu juga, meskipun kamu memperlakukan ku seperti wanita bayaran, tapi tetap itu kewajiban aku melayani kamu, lirih hatinya.
''Tenang saja, Aku tidak akan bilang padanya, sampai suatu saat waktu yang akan mengatakan sendiri siapa sebenarnya Aku ini," tanpa menoleh Dinda meninggalkan Alan yang masih bergeming.
Sesampainya di meja makan, Dinda duduk di paling ujung, jauh dari kursi Syntia maupun Alan, tanpa menunggu Alan duduk Ia langsung saja mengambil nasi beserta lauk kesukaannya.
Tak ada yang bersuara, hanya dentuman sendok dan piring yang meramaikan meja makan dan tak ada yang menyuruh Dinda untuk pindah, sesekali Alan hanya melirik istri keduanya yang dengan lahapnya memakan makanannya.
Kenapa dengan Non Dinda, apa tadi Den Alan memarahinya, kasihan sekali dia, semenjak tinggal di rumah ini, Non Dinda tidak bahagia, semoga Den Alan cepat sadar siapa yang berhak di cintai dan tidak.
Seperti waktu datang, setelah selesai Dinda membawa piringnya kembali ke belakang menghampiri Bi Romlah yang kini beberes peralatan dapur.
''Bi ke kamarku sebentar ya, bantu aku mengganti spray," ucapnya pelan, wajahnya kembali melas dan mengiba.
Bi Romlah mengangguk dan menepuk nepuk punggung tangan Dinda, mengisyaratkan untuk lebih kuat menghadapi ujian itu.
''Apa kamu nggak pernah di ajari sopan santun?" celetuk Syntia saat Dinda melewati meja makan untuk ke kamarnya.
Gadis itu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya kembali menghadap istri pertama suaminya.
''Maksud mbak apa ya?'' tanya Dinda lagi.
Heh...Syntia beranjak mendekati Dinda.
''Kamu nggak lihat suami kamu masih makan, tapi dengan seenaknya kamu pergi begitu saja meninggalkannya," menunjuk ke arah Alan dan menjelaskan kesalahan yang baru saja di perbuat Dinda.
Dinda pun menatap suaminya yang mengunyah makanannya dengan pelan, seperti memikirkan sesuatu.
''Kak Alan sudah dewasa, dan bisa makan sendiri kan, mbak saja sudah cukup untuk menemani Kak Alan, dan dia juga nggak butuh aku, lagi pula sopan santun itu hanya untuk orang orang yang punya hati," jawabnya pelan dengan nada menyindir.
Alan yang mendengarnya langsung saja meletakkan garpu dan sendoknya seketika, lalu menatap wajah Dinda dengan tatapan tajam.
Beraninya dia bilang seperti itu, aku pastikan kamu tidak akan bisa lagi membuka mulutmu setelah tahu bagaimana aku yang sebenarnya.
Karena tak ada jawaban Dinda pergi meninggalkan Syntia maupun Alan.
Sesampainya di kamar Dinda hanya bisa menghela nafas panjang, mencoba berhati baja untuk melewati semua itu.
''Mau spray yang gambar apa, Non?'' tanya Bi Romlah membuka lemari, entah kapan datangnya Dinda tak pun menyadari.
''Bibi kayak anak kecil saja pakai di tawari segala, terserah bibi lah, yang penting bikin hati adem,'' cetusnya dan pergi ke kamar mandi.
Yang kuat Non, bibi yakin suatu saat bahagia itu tidak akan pernah lepas darimu.
Bi Romlah tersenyum kecil, saat menarik spray dengan tanda hilangnya sesuatu ditempat itu.
Mungkin dengan hadirnya buah hati akan membuat Den Alan sadar, semoga non cepat berisi.
''Sudah selesai, Bi?" tanya Dinda setelah keluar dari kamar mandi, wanita itu terlihat lebih cerah setelah mencuci mukanya.
''Sudah, Non tinggal tidur, mimpi yang indah ya." meraup baju kotor dan membawanya keluar.
Sepeninggalnya Bi Romlah, Dinda membuka laptopnya yang kini menjadi satu satunya benda untuk melupakan masalah yang di hadapinya, pelajaran yang Ia dapat seharian dari Stefany itu penuh dengan arti, di mana Ia tau cara untuk membuat pola dengan berbagai kalangan di zaman modern yang berbeda, tak hanya itu, kini Ia pun tau ternyata menjadi Desainer tak semudah yang ia bayangkan dulu, butuh waktu dan perjuangan yang extra untuk menggapai mimpinya.
"Apa kabar Ibu dan bapak ya, pasti mereka kangen sama aku, apa aku telepon saja, tapi ini kan sudah malam," menilik jam dari ponselnya. ''Pasti mereka juga sudah tidur.
Panjang umur, baru saja Dinda mengembalikan ponselnya, kini benda pipih itu berdering.
Nama Bapak di sana, bagaikan tersiram bongkahan es balok, hati Dinda begitu sejuk, dengan bergegas Ia menyeret lencana hijau tanda menerima.
''Bapak, Dinda kangen," suara Dinda mengawali percakapan. Tak sadar gadis itu menangis sesenggukan membuat pria paruh baya di ujung sana tersentak kaget.
Kamu nggak apa apa kan nak? tanya Pak Yanto panik, bahkan jantung bapak Dinda tak bisa di kondisikan mendengar suara anaknya dengan nada gemetar.
Dinda yang menyadari bicara dengan siapa itu pun menyeka air matanya dan merelasasikan dirinya untuk tidak menampakkan kesedihannya.
Akhirnya Ia tersenyum meskipun miris.
''Nggak pak, aku cuma kangen sama bapak dan Ibu, kalian sehat kan?" tanya Dinda mengalihkan pembicaraan untuk tidak membahas dirinya.
Terdengar oleh Dinda suara tertawa riuh di sana. ''Bapak dan Ibu sehat, jangan khawatirkan kami, kamu bahagia kan?'' kali ini Bu Tatik yang angkat suara.
''Aku bahagia Bu, Kak Alan dan keluarganya baik sama aku, kapan kapan aku juga pulang kok, sudah malam mendingan Ibu tidur, pasti banyak jahitan kan?'' ucap Dinda yang sudah ingin mengakhiri sambungannya karena Ia tak tahan kalau harus menahan tangisnya berlama lama.
Ya sudah, baik baik ya di sana.
Seketika Dinda menutup teleponnya dan kembali terisak.
Sedangkan Di seberang sana Bu Tatik kini memegang dadanya yang tiba tiba saja terasa sesak setelah mendengar suara Dinda.
''Pak, kok aku merasa nggak enak ya, apa benar Dinda bahagia, atau dia berbohong pada kita ya pak?''
Pak Yanto tersenyum, ''Kita berdoa saja Bu, semoga Dinda bahagia," ucap pak Pak Yanto memastikan Bu Tatik untuk tidak bersedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Siti Jufrah
g dinda g bahagia
bawa pulang aja ke kampung lagi
2021-10-20
1
Mata Air
jangan bersedih terus Din.... buat belajar aja deh terus... biar cepetahor n jdi orang sukse.
2021-10-18
1
Reni Suryani
kabur saja dinda biar tahu rasa
2021-10-18
0