Terkadang cinta memang menyakitkan, namun apakah pengabdian juga lebih memilukan? itulah yang kini menyelimuti hati Dinda. Gadis cantik yang belum pernah merasakan jatuh cinta maupun berpacaran, namun tiba tiba kini harus menikah karena sebuah permintaan dari abangnya yang tak bisa di tolaknya. Meyakinkan hatinya kalau Ia akan mengabdikan hidupnya untuk sang suami. Namun bagaimana jika kebaikannya itu tak di lirik sama sekali. Apakah Ia akan bisa bertahan dengan hanya mengandalkan kesabaran?
Seperti janjinya pada mertuanya kemarin, hari ini Ia siap mengikuti pelatihan desainer Stefany di tempatnya. Dan pagi ini Dinda memutuskan untuk tidak memasak, bukan melupakan tanggung jawab, tapi Ia tak mau kecewa untuk yang ke sekian kalinya.
Dengan menampilkan senyumnya Dinda membuka gorden kamar nya. Matahari masih malu malu untuk menampakkan sinarnya, cuaca sedikit tak mendukung, bahkan tetesan banyu langit itu mulai membasahi bumi tercinta.
Namun tidak untuk semangatnya kali ini, Dinda begitu antusias mengawali paginya, meregangkan otot otonya di balkon kamarnya mendengarkan kicauan burung yang merdu dari balik ranting pepohonan di belakang rumah.
semoga hari ini akan lebih baik.
Tak mau berfikir keras, Dinda melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, tak butuh waktu lama gadis itu hanya menyiapkan apa yang di butuhkan, tak mau berlama lama karena tak ingin menyaksikan pemandangan yang bikin tak enak hati, bukan cemburu tapi Dinda tak mau kesal saat melihat suaminya yang tak pernah adil padanya.
''Bi, nanti kalau kak Alan nanya, bilang saja aku pergi ke rumah mama ya!'' Pesannya, meskipun belum tentu Alan menanyakan dirinya, setidaknya Ia mengatakan keberadaannya.
''Baik Non, hati hati di jalan!"
Kamu wanita yang baik Non, semoga kebahagiaan selalu menghampirimu.
Dinda keluar dari rumah Alan, bingung naik apa, akhirnya Ia keluar dari gerbang rumah untuk mencari ojek, dan beruntungnya pucuk di cinta ulam pun tiba. Kang ojek lewat tepat di depannya.
Sedangkan di dalam kamar, mungkin tidur semalam sudah cukup untuk menghilangkan kepenatan perjalanan dari Paris, kini Alan yang sudah membuka mata pun siap dengan laptopnya, sedangkan Syntia, istri pertamanya itu masih saja betah di balik selimutnya dengan mata terpejam.
Setelah selesai mengecek kerjakan yang berapa hari ini di tinggalnya, seperti biasa, Alan ke kamar mandi dan hari ini kembali harus bergulat dengan dokumen di kantornya.
Tak menunggu Syntia bangun dan tak mau mengganggunya, Alan menyiapkan baju dan peralatan kantornya sendiri.
Setelah siap Alan pun mencium kening Syntia dan berlalu.
''Aku pergi ya, jangan lupa makan." bisiknya saat Syntia menggeliat.
Mungkin terusik saat Alan mengusap pipinya.
Tak sengaja Ia melirik ke arah kamar Dinda yang tertutup rapat.
Apa dia belum bangun, biasanya dia yang paling bangun pagi.
Ingin rasanya Alan mengetuk pintu kamar Dinda, namun di urungkannya takut mengganggu, mungkin saja Dinda juga capek dengan kerjaannya.
Akhirnya Alan turun menuju meja makan
''Pagi den," sapa Bi Romlah menuangkan air putih.
''Pagi Bi, kok sepi, memangnya Dinda belum bangun?'' menarik kursi diruang makan.
''Non Dinda sudah pergi ke rumah nyonya besar," jawab Bi Romlah seperti yang di katakan Dinda padanya.
Dengan sontak Alan meletakkan sendoknya kembali yang hampir melayang ke dalam mulutnya, entah kenapa, Alan merasa aneh saja dengan kepergian Dinda yang tidak pamit padanya.
''Terus ini semua yang masak siapa, Bi?'' tanya Alan, karena biasanya Dinda yang selalu masak untuknya.
''Saya Den," jawab lagi Bi Romlah menunduk sopan.
Alan mengangguk-anggukan kepalanya dan kembali menyantap makanannya.
Mungkin saja Dinda tak berani membangunkanku, selama aku pergi dia tidur di mana aja, di rumah mama apa di rumah Faisal, batinnya. Karena selama di Paris Dinda benar benar melarang Bu Yanti untuk menelepon Alan.
Alan mengeluarkan ponsel miliknya dan mencoba menghubungi Dinda, entah kenapa pagi itu ingin sekali Alan bicara dengan istri keduanya.
Tersambung, tapi kok nggak di angkat ya, apa dia nggak dengar dering ponselnya.
Berulang kali Alan mencoba menghubungi Dinda, namun sama, istrinya itu benar benar tak mengangkat panggilan darinya.
Apa dia marah?
''Bi, Dinda naik apa ya perginya?'' penasaran, di rumah hanya ada satu supir nggak mungkin Dinda berani menyuruhnya.
''Ojek di depan, Den.'' jawab lagi Bi Romlah dari dapur, Karena wanita paruh baya itu sempat lihat Dinda saat menyetop kang ojek dari balik gerbang.
Naik ojek, kalau sampai mama tau pasti aku yang kena marah, apa dia nggak mikir dulu, kalau dia itu istriku, harusnya dia minta izin dulu jika mau keluar rumah.
Tanpa mengeluarkan kata kata Alan menggebrak meja hingga membuat Bi Romlah dan yang lain tersentak kaget.
Tanpa ba bi bu Alan langsung saja keluar dari rumahnya dengan membawa wajahnya yang berapi api.
Den Alan marah, nggak biasanya Dia seperti itu, apa dia marah sama non Dinda, tapi apa masalahnya? tanda tanya dalam hati Bi Romlah.
Berhenti sejenak untuk memikirkan Dinda karena hari ini pasti Ia akan di sibukkan kerjaannya yang sudah menumpuk.
Seperti tak membawa separuh jiwanya Alan melangkahkan kakinya menuju ruangannya, aneh bukan, bahkan sesekali tak menghiraukan karyawan yang menyapanya, tubuhnya memang berada di gedung itu, namun hati dan fikirannya melayang ke angkasa berlari mengejar istri keduanya.
''Kamu nggak capek?'' tiba tiba suara familiar itu menghentikan langkahnya saat menaiki tangga ke tujuh.
''Nggak,'' jawabnya singkat. Masih mencoba kuat untuk melangkahkan kaki, tinggal tiga tangga.
''Naik lift sini!" Faisal menarik lengannya membawa ke depan tangga kilat.
Ting, lift terbuka, Faisal kembali menarik lengan Alan untuk masuk.
''Ada masalah apa?'' tanya Faisal basa basi.
Apa aku harus cerita sama dia?
''Nggak ada," tak biasanya bos sekaligus sahabatnya itu bungkam tentang semua masalah pribadinya.
Apa Dinda cerita ke Faisal tentang sikapku selama ini ya?
Melirik ke arah abang iparnya yang mematung sedikit ke depan.
''Dinda nggak jadi kuliah," ucap Faisal, entah itu sebuah pancingan atau teka teki, yang pastinya Faisal memang ingin tau tentang hubungan Alan dan Dinda yang sebenarnya.
''Kenapa?''
Heh.... Faisal tersenyum getir, ''Apa dia nggak bilang sama kamu, kamu kan suaminya,'' menoleh ke arah Alan dengan tatapan menyelidik.
Alan menggeleng tanpa suara, bagaimana bisa Ia tak tau apapun tentang Dinda.
''Dia mau sekolah saja dengan desainer Stefany,'' ujarnya lagi.
Lift terbuka, Faisal keluar, di susul Alan dari belakang, namun pria itu tak bicara lagi dan memilih masuk ke ruangannya.
Ternyata benar dugaanku, kamu memang tidak peduli dengan Dinda, tapi aku nggak akan tinggal diam, aku akan membuat kamu sadar betapa berartinya adikku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Sitorus Boltok Nurbaya
ya buat Alan mengejar Dinda😇
2022-05-01
1
Srimurni Murni
aku setuju dengan Faisal buat Alan menyesal tidak berlaku adil
2021-12-10
1
Mariaton
Alan ko gitu ya sama dinda
2021-11-22
0