Semenjak tinggal di rumah mertuanya, senyum Dinda kembali merekah, apa lagi Bu Yanti dan Pak Heru sangat menyayanginya dengan tulus seperti putri kandungnya sendiri, lima hari sudah Dinda tidur dengan nyaman tanpa beban, hiru pikuk rumah tangganya menghilang sejenak dari otaknya, tak ada lagi air mata yang Ia luruhkan saat ini.
Namun itu hanya sekejap, karena saat ini nyatanya Air yang laknat itu kembali luruh membasahi pipinya di saat Ia baru saja membuka matanya, di kira pagi ini hatinya akan se terang mentari, namun nyatanya malah redup, persis gumpalan awan gelap yang di hiasi rintikan hujan dengan di iringi petir yang menyambar saat menatap layar ponselnya yang baru saja berdering.
Gambar Alan dan Syntia di sana, keduanya asyik berpose ria di menara Eiffel, tempat yang menjadi idamannya sejak kecil yang sampai sekarang belum pernah terwujud, tapi apa daya Dinda tak bisa berbuat apa apa.
Kapan aku bisa ke sana, dulu aku gagal pergi karena uang, dan sekarang saat aku sudah punya uang, nyatanya aku pun tak bisa pergi ke sana.
''Dinda...'' Suara familiar membuatnya terkejut dan menyeka air matanya lalu beranjak dari ranjangnya menghampiri pintu dan membukanya, ternyata mama mertuanya yang datang, sebisa mungkin gadis itu tersenyum.
''Iya Ma, ada apa?'' Tanya Dinda, karena baru pagi ini mamanya itu datang memanggilnya di kamar.
''Hari ini mama akan ajak kamu ketemu dengan desainer di butik Mama,'' ucapnya mengelus bahu Dinda.
''Beneran, Mah?'' Masih tak percaya kalau Mama Yanti masih mengingat cita citanya dari awal.
Rasa sedih itu hilang seketika, tak mau mengingat, biarlah mereka bahagia, mungkin belum saatnya Dinda di posisi itu, gadis itu langsung saja pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, tak peduli Syntia yang akan pamer kemesraan dengan suaminya. Pokoknya Dinda harus mencapai apa yang menjadi tujuan awalnya.
Tak butuh waktu lama, karena saking antusiasnya kini Dinda sudah rapi dengan tampilannya, seperti biasa Gadis itu tak pernah muluk muluk menampakkan kecantikannya, se sederhana mungkin saat di depan umum, karena kepribadian yang humble itu tak mengubah sikapnya meskipun saat ini berstatus kaya.
''Ayo, Ma!" ajak Dinda mendekati Bu Yanti yang juga sudah menenteng tas tangannya.
Setelah beberapa menit membelah jalanan yang ramai karena masih jam kerja, kini Dinda dan Bu Yanti sudah tiba di butik miliknya yang sangat besar.
"Ini milik Mama?'' Tanya Dinda sembari menuju gedung di depannya.
Bu Yanti hanya menganggukkan kepalanya dan menarik tangan Dinda untuk ke dalam.
Bukan hanya luarnya, di dalam pun terlihat mewah, barang yang di jual pun bukan sembarangan dan itu semua hasil karya dari desainer yang bekerja sama dengan butik Bu Yanti.
Seorang wanita cantik yang menampilkan senyum anggunnya menghampiri Dinda dan Bu Yanti yang baru saja masuk.
"Wah, ternyata Ibu sudah datang," ucap Bu Yanti mengulurkan tangannya.
"Saya juga baru datang, mungkin baru lima menit menunggu,'' basa basi, melirik ke arah Dinda yang menundukkan kepala hormat.
"Kenalkan Ini Dinda, menantu saya," memegang kedua lengan Dinda.
Seperti mama mertuanya Dinda pun mengulurkan tangannya berkenalan.
"Din, ini desainer yang mama ceritakan, Dia yang akan ngajarin kamu, sampai bisa," jelasnya.
Dinda mengangguk mengikuti wanita cantik itu ke sebuah ruangan.
"Sudah sampai tahap apa mengetahui tentang desainer?" tanya Stefany, wanita yang di kenalkan oleh mertuanya.
"Menjahit, Bu.'' Jawab Dinda malu malu.
''Panggil saja Mbak, umur saya baru tiga puluh, jadi belum terlalu tua juga," tersenyum kecil.
Wah masih muda sudah menjadi orang yang sukses, apa aku juga akan seperti dia nanti, batin Dinda.
"Iya, Mbak, aku minta maaf.''
Desainer yang bernama Stefany itu mulai mengajarkan Dinda berbagai pola, model, dan kain dasar, untuk menjadi desainer tidaklah mudah, Dinda juga harus menguasai fashion, meski begitu gadis itu tak mudah putus asa dengan pengajaran yang sedikit rumit menurutnya.
"Mbak kuliah di mana?" tanya Dinda di sela sela kesibukan belajarnya.
Stefany tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Dinda, "Saya nggak kuliah, saya hanya belajar dengan desainer terkenal waktu itu, karena saat seumuran kamu keterbatasan Biaya tidak memungkinkan Saya untuk masuk kampus,'' menghela nafas panjang, mengingat kalau Ia untuk berasal dari keluarga tak mampu. ''Jadi Saya memilih untuk mencapai cita cita saya ini belajar dengan desainer terkenal yang mau mengajarkan ilmunya untuk Saya.''
Dinda yang terlihat kagum hanya manggut manggut.
"Itu artinya seandainya Saya nggak kuliah juga bisa dong menjadi desainer handal dan terkenal seperti mbak."
"Bisa banget,'' jawab Stefany antusias, karena baginya desainer nggak harus kuliah, namun harus tetap belajar seperti dirinya dulu.
Berarti aku juga nggak harus kuliah, dan aku masih bisa membagi waktu untuk melayani kak Alan, batin Dinda lega.
Karena Dinda sempat berfikir bagaimana Ia mengurus suaminya jika Ia benar benar sudah kuliah, dan penjelasan Stefany membuatnya mengurungkan niatnya dan memilih untuk sekolah khusus saja.
Selang beberapa menit berlangsung dengan penjelasan yang cepat di mengerti, kini Stefany mengakhiri pembelajarannya, karena masih ada tugas lain yang harus di kerjakannya.
Huh....''Ternyata capek juga, padahal cuma duduk saja,'' menyandarkan punggungnya yang tadi sepat tegang.
Dinda megeluarkan ponselnya, dan kembali menatap foto yang di kirim Syntia.
''Kak Alan terlihat begitu bahagia dengan Mbak Syntia, mereka pasangan yang serasi, Kak Alan tampan, Mbak Syntia juga cantik, apa aku salah menerima perjodohan ini,'' gumamnya kecil mengusap layar ponselnya.
Baru juga memasukkannya kembali poselnya ke dalam tas, benda pipih itu kembali berdering, nama Alan disana.
Dinda tersenyum dan menggeser lencana hijau, hatinya begitu semringah, ternyata Alan masih mengingatnya.
''Halo, kak,'' Dinda mengawali percakapan dengan semangat, mungkin saja Alan menawarkan oleh oleh padanya, atau sekedar bilang kangen.
Namun dari balik telepon belum merespon, malah terdengar canda tawa yang mebuat hati Dinda kembali berdenyut dengan wajah yang nanar.
Halo Din, ini aku, aku cuma mau bilang, besok aku dan Syntia pulang, kamu juga pulang ya, karena aku nggak bisa jemput kamu, ucap dari seberang sana.
Terpaksa Dinda meng iyakan sebelum menutup telepon, karena sepertinya Alan juga tak ingin tau tentang kabarnya, dan betapa begonya Dinda yang mengira kalau Alan kangen dengannya, bahkan Dinda berharap lebih.
Heh... Dinda tersenyum getir, ''Apa artinya aku di mata kakak, sampai sampai untuk menjemputku saja kakak tidak mau, tenang Dinda, jalan kamu masih panjang, mungkin suami kamu itu masih butuh waktu untuk lebih mengenal kamu lagi,'' menguatkan dirinya sendiri, namun air matanya itu tak bisa dusta, meskipun mulutnya bisa berbicara lain, namun sorot matanya menunjukkan kalau Dinda juga terluka dengan perlakuan Alan saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Veronica Maria
kalau gue, gue lawan tuh istri pertama. lagian dinda pakek nerima perjodohan segala. secara tuh bininya gk mau kesaingi meski dia mandul. sdngkn mertua lo pengen cucu kandung
2023-04-26
0
Sitorus Boltok Nurbaya
thor buat Dinda kuat dan bijak
2022-05-01
0
copai
hilang 1 keberkahan karena air mata istri yg jatuh
2022-03-15
0