Aku memeluk mas Arick dari belakang dengan sangat erat. Tanganku melingkar penuh di seluruh perutnya.
"Maafkan mas Faruq dan ibu ya Mas." Lirihku dari arah belakang, kami baru saja masuk kedalam kamar dan Mas Arick baru saja menidurkan Zayn di box bayi.
Ku rasakan tangan mas Arick melerai pelukanku dan dia berbalik, ia mengecup keningku sekilas kemudian memeluk tubuhku tak kalah eratnya.
"Aku yang seharusnya meminta maaf Ji, maaf aku belum sempat mengurus itsbat nikah kita. Aku tidak akan berkilah dan menjadikan pekerjaan ku sebagai alasan, ini semua memang karena aku yang mengabaikannya." Jelas mas Arick panjang lebar.
Aku tidak menjawab, hanya memeluknya terus menerus.
Hatiku pun masih bimbang tentang keinginan mas Arick untuk segera memberikan Zayn seorang adik. Hatiku sungguh menolak akan hal itu, tapi bagaimana cara menyampaikannya?
"Mas, sebaiknya kita tidur." Ajak ku dan mas Arick menyetujui.
Kami melerai pelukan dan mulai merebahkan badan di ranjang. Ku lihat mas Arick seperti berpikir sebelum memejamkan matanya. Aku tidak tahu apa yang menjadi beban pikiran mas Arick, sebagai istri aku hanya merasa jika mas Arick saat ini sedang dirundung kebingungan.
Aku mendekat dan kembali memeluk mas Arick, mencoba memberikan ketenangan. Rasanya bukan saat yang tepat untuk membicarakan tentang menunda anak kedua.
Kami saat ini memang saling berpelukan tapi kami sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga lambat laun kami pun terlelap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi ini Zayn diajak ibu jalan-jalan keliling komplek, aku dan mbak Aluna berbincang di meja makan, sedangkan mas Arick dan mas Faruq duduk di ruang tengah.
Mbak Aluna meminta maaf atas ucapan mas Faruq tadi malam yang menyinggungku dan mas Arick.
Bukannya merasa lega, aku malah merasa tak enak hati atas permintaan maaf mbak Aluna itu, aku merasa segan jika sampai kakak ipar ku meminta maaf padaku.
Cukup lama kami berbincang, hingga rasanya mulutku gatal sekali untuk menanyakan ini, "Mbak Luna pakai KB tidak Mbak?" Tanyaku takut-takut, takut jika ini adalah ranah pribadinya yang tidak ingin di usik.
Ku lihat mbak Aluna tersenyum dengan tulus, sepertinya ini bukanlah pertanyaan yang buruk.
"Tidak Ji, dari awal Mbak tidak memakai KB, Mbak sebenarnya juga tidak menunda untuk memiliki momongan lagi. Tapi mungkin hingga kini Allah belum mempercayai Mbak dan mas Faruq untuk memiliki anak kedua." Jelas mbak Aluna.
Aku terdiam, bingung harus menanggapi seperti apa.
"Mbak tahu ketakutan kamu Ji, karena dulu Mbak juga merasakannya. Mbak tidak ingin hamil lagi sampai Rizky cukup umur, setidaknya sampai umur 2 tahun. Tapi sepertinya mbak malah dihukum oleh Allah atas keinginan Mbak itu, hingga sampai sekarang Mbak belum juga hamil. Padahal mas Faruq sudah sangat menginginkan anak kedua."
Hatiku mencelos, rasa-rasanya itu adalah kisah hidupku sendiri.
"Apalagi ini adalah pernikahan Arick yang pertama, Mbak rasa tidak mungkin dia mau menunda untuk memiliki anak." Ucap mbak Aluna dengan berbisik, takut jika ada yang mendengar obrolan kami.
"Serahkan semuanya kepada Allah Ji, percayalah ketika kita dipercaya, maka kita pasti bisa dan itu adalah yang terbaik."
Hatiku melunak, nasehat demi nasehat yang diberikan mbak Aluna berhasil mencairkan beban pikiran ku.
Benar, kenapa aku selalu sibuk dengan pikiran ku sendiri dan melupakan ketetapan Allah, jika kita sudah menyerahkan semuanya kepada sang khalik maka kita akan menjalani hidup ini dengan lebih mudah, lebih ringan, dan melupakan semua beban.
"Terima kasih Mbak." Ucapku dengan sangat tulus.
Dari arah belakang mbak Aluna ku lihat mas Arick menghampiri kami di meja makan.
"Ada apa Mas?" Tanya ku saat mas Arick sudah sampai.
"Ji, Lila sudah sadar dari koma. Sebaiknya kita melihat keadaan dia."
"Alhamdulilah." Aku dan mbak Aluna kompak mengucap syukur, rasanya sangat lega ketika mengetahui jika Lila saat ini sudah sadar.
"Baiklah Mas, ayo sekarang kita ke rumah sakit." Ajak ku dengan buru-buru.
"Iya, kita tunggu mas Faruq dulu, mas Faruq sedang menjemput ibu dan Zayn.
Setelah ibu pulang, aku, mas Arick, Zayn dan mbak Puji langsung bergegas ke rumah sakit. Mas Faruq tidak jadi ikut karena mendadak dia ada urusan.
Hatiku bergemuruh mengetahui jika saat ini Lila sudah sadar, tak bisa ku pungkiri jika kenangan tentang mas Arend kembali memenuhi seisi kepalaku.
Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam itu, aku ingin menanyakan semuanya pada Lila agar hatiku merasa lega.
"Ji, kamu baik-baik saja?" Tanya mas Arick, mungkin dia bertanya seperti itu karena melihat wajah ku yang menegang.
"Iya Mas aku baik-baik saja, aku hanya terlalu bahagia mengetahui Lila sudah sadar. Rasanya sebagian beban ku sudah terangkat, semoga saja keadaan Lila baik-baik saja ya Mas."
"Aamiin, apapun yang terjadi dengan Lila, sekarang dia adalah tanggung jawab keluarga kita, karena dia mengalami kecelakaan itu saat sedang bersama dengan mas Arend." Jelas mas Arick dan aku mengangguk menyetujui.
Cukup lama kami dalam perjalanan, hingga kini kami sampai didepan ruang rawat Lila. Dari luar kami melihat kedua orang tua Lila yang sedang menangis haru, juga adik Lila yang tak kalah bahagia mengetahui kakaknya telah sadar.
Aku dan mas Arick memutuskan untuk mengetuk pintu itu, mengucap salam dan berlahan membuka pintu.
Seketika semua pasang mata menatap kearah kami.
"Mas Arend." Lirih Lila ketika melihat mas Arick.
Deg! jantungku seperti tersengat, hatiku pun merasa sakit ketika mendengar Lila menyebut nama mas Arend begitu dalam. Seolah ada kerinduan yang ingin ia sampaikan dari panggilannya itu.
"Saya bukan mas Arend, saya adalah adik kembar beliau dan nama saya adalah Arick." Jelas mas Arick yang tidak ingin ada kesalahpahaman.
"Iya Nak, ini adalah mas Arick dan bukan pak Arend. Mama sudah bilang padamu kan, jika pak Arend sudah meninggal dunia." Jelas mama Lila dengan berurai air mata.
"Tidak mungkin Ma, tidak mungkin mas Arend sudah meninggal." Lila mulai menangis, ku rasa Lila tidak melihat keberadaan ku disini.
Melihat Lila yang sepertinya masih hilang kendali, mas Arick kemudian menarikku lebih dekat, ia memeluk lengan ku dengan cukup kuat.
"Bagaimana keadaan Lila Pak? apa semuanya baik-baik saja?" Mas Arick mulai membuka perbincangan, pak Hamid Papa Lila pun langsung menanggapi.
"Alhamdulilah semuanya baik-baik saja Nak, hanya saja kata dokter Lila tidak akan bisa lagi berjalan dengan normal, karena ada pergeseran tulang pada kakinya."
Mas Arick mengangguk, itu artinya Lila akan menjadi wanita pincang.
Ya allah, betapa malangnya nasib mu Lila. Batin ku merasa tidak tega.
"Sekali lagi saya minta maaf Pak, ini semua terjadi karena keteledoran kakak saya. Tapi Bapak tidak usah khawatir, mulai saat ini Lila akan menjadi tanggung jawab keluarga kami. Kami akan memastikan bahwa masa depannya akan baik-baik saja."
Aku mengangguk menyetujui pernyataan mas Arick itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
komalia komalia
jangan jangan lila ada apa apa nya sama arend
2024-12-24
1
Rita
alhamdulillah bs nerima nasihat kk ipar betul sih
2025-02-17
0
karin Ke
uhhh,, ada kh affair lila dan arend
2025-02-06
0