'Saya rasa kita belum siap untuk menerima satu sama lain. Harusnya kita memulai semuanya saat sama-sama sudah siap. Saat hati kita tidak diselimuti masa lalu.'
Kata-kata mas Arick semalam terus saja mengusik pikiranku.
"Masa lalu? apakah yang dimaksud mas Arick adalah mas Arend? ada apa dengan mas Arend? apa yang membuat mas Arick sampai marah karena itu?" Gumam ku pelan, tanganku mengelus tubuh Zayn yang sedang menyusu.
Tadi malam mas Arick memang tidur di samping ku, hanya saja ia memunggungi aku. Dan saat Zayn bangun pun dia juga menemani. Tapi kami hanya saling membisu, bahkan mas Arick tak sudi menatap wajah ku, lagi.
Pagi tadi tidak ada lagi kecupan hangat, ia juga menolak ketika aku ingin mencium punggung tangannya.
Ya Allah.
"Zayn, ayah Arick kenapa ya Nak? Ibu melakukan kesalahan apa?" Tanyaku pada Zayn, ku lihat Zayn yang tidak peduli, asik dengan dunianya sendiri.
Aku tahu Zayn memang tidak akan bisa menjawab, tapi aku benar-benar butuh seseorang untuk ku ajak bicara. Jika hanya ku pendam dalam hati, mungkin aku bisa gila.
Apa mas Arick menemukan sesuatu tentang mas Arend?
Huh! Aku hanya bisa menghela napas berat, seirama dengan hatiku yang begitu gundah. Selesai Zayn menyusu, dia kembali tidur.
Aku mulai memeriksa tiap sudut ruangan ini, lemari baju ku bongkar, ku periksa satu per satu baju itu, semua laci ku buka, bahkan perlengkapan Zayn pun tak lepas dari perhatian ku.
Aku mencari dan ingin menemukan sesuatu yang berhubungan dengan mas Arend. Aku ingin tahu alasan apa yang membuat mas Arick marah kepadaku.
Apa mas Arick menemukan cincin pernikahan ku dengan mas Arend?
Apa mas Arick melihat foto-foto kami?
Atau mas Arick menemukan surat cinta kami?
Apa? apa?
Ya Allah, aku sangat bingung.
Lama aku mencari bahkan hingga Zayn bangun lagi, aku tetap tidak menemukan apapun.
Lalu apa yang membuat mas Arick marah?
Tidak ingin berlarut-larut dalam kebingungan, aku memutuskan untuk memanggil mbak Puji.
"Mbak, kemarin waktu beresin barang-barang dari rumah ibu, apa mbak Puji lihat ada barangnya mas Arend?"
"Mas Arend Mbak?" Tanya mbak Puji padaku, ku lihat ia menatap ku dengan bingung.
"Iya Mbak, mas Arend"
"Tidak ada Mbak, tidak ada satu barang pun milik mas Arend yang saya bereskan kemarin. Semuanya baju Mbak Jihan, mas Arick dan den Zayn." Jelas mbak Puji, aku pun percaya dengan penjelasannya itu. Pasalnya aku ikut mengemas semua barang-barang ini.
Ya allah, berilah hamba petunjuk.
"Memangnya ada apa Mbak?" Tanya mbak Puji penasaran.
"Tidak ada apa-apa Mbak." Aku mencoba tersenyum, meski aku tahu, mbak Puji meragukan senyuman ku ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Mas, kamu sudah makan siang?"
"Mas, nanti pulang jam berapa?"
"Mas aku menunggu mu."
Aku mencoba mengirim pesan untuk yang kesekian kalinya dan berapa banyak pun pesanku yang terkirim, tetap saja tidak dibaca oleh mas Arick. Padahal di sana tertera dengan jelas jika statusnya online.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat.
Selama hampir dua bulan aku bersama mas Arick, aku mulai bisa memahami semua sikapnya, jika dia kembali dingin seperti ini itu artinya aku telah melakukan sebuah kesalahan. Tapi kesalahan apa? itulah yang terus mengganggu pikiranku.
Tunggu, mas Arick marah setelah kita melakukan hubungan itu. Aku memutar otak ku berulang, memutar berulang-ulang saat aku bersamanya kemarin malam.
Tapi tetap saja, aku tidak menemukan apapun, semuanya sangat indah, bahkan aku masih mengingat semua rasanya dengan jelas dan harusnya tidak berakhir seperti ini.
Aku mendengar suara bell rumah berbunyi dengan tidak sabaran, aku sedikit berlari menjangkau pintu utama rumah ini takutnya itu adalah suamiku. Aku tidak mau mas Arick semakin marah jika aku membuatnya menunggu.
Ternyata benar, mas Arick pulang.
Ternyata hari ini sama seperti kemarin, mas Arick pulang terlambat dan dia masih mendiamkan aku.
Sehabis shalat isya, ku lihat mas Arick mengambil Zayn dan keluar kamar, aku mengikuti kemanapun dia pergi. Mas Arick berhenti di ruang kerjanya. Ia masih menggendong Zayn dan satu tangannya membuka-buka berkas.
"Mas." Aku mencoba memanggil, tapi mas Arick tidak bergeming barang sedikit pun. Aku memberanikan diri mendekat dan kemudian memeluk tubuhnya dari belakang. Air mataku mengalir membasahi punggung mas Arick.
Aku hanya wanita lemah, hatiku rapuh, aku tidak sanggup jika diperlakukan seperti ini, terlebih oleh suamiku sendiri.
"Maafkan aku Mas. Aku minta maaf jika tanpa sadar aku menyakiti mu." Aku berucap sesenggukan, aku memeluk tubuh suamiku lebih erat, mencari kekuatan dan kehangatan yang sedari kemarin hilang.
"Maafkan aku."
Mas Arick tetap terdiam, bahkan cukup lama aku menunggu namun dia tetap tidak menjawab ucapan ku.
Perlahan aku pun melerai pelukan ku sendiri, pelukan yang tanpa balasan ini. Dalam hatiku selalu berharap mas Arick berbalik dan kembali memeluk ku. Tapi sepertinya harapanku terlalu besar, terlalu indah, hingga aku tidak pantas untuk mendapatkannya.
"Mas, apa jadinya rumah tangga kita jika kita terus seperti ini. Jelaskan padaku Mas, dimana salah ku? apa yang harus aku perbaiki?" Aku hanyalah manusia biasa, akhirnya amarah ku sedikit terpancing dan mulai mencerca mas Arick dengan banyak pertanyaan.
Ku lihat mas Arick mulai terpengaruh dan dia menoleh kepadaku. Aku tau ini bukan mas Arick yang sesungguhnya, dari matanya aku bisa melihat dengan jelas jika mas Arick masih peduli padaku.
"Mas." Lirih ku, melihat matanya sungguh membuat aku lemah, kemarahan ku tadi menguap entah kemana.
"Kita butuh waktu Mbak. Kita butuh waktu untuk sendiri."
Deg! suara ini, aku sangat merindukan suaranya ini, hanya dengan mendengarnya berucap sudah membuat hatiku berdebar. Tapi sayang, ucapan yang pertama kali keluar dari mulutnya begitu menyakitkan.
"Kenapa Mas? kenapa kamu butuh waktu untuk sendiri?"
"Bukan aku, tapi kamu mbak."
Aku?
Tatapan kami terus terkunci, seolah sama-sama menyusuri isi hati yang sesungguhnya.
"Aku tidak butuh waktu." Ucap ku pelan, aku tidak mau berdebat dengan suamiku sendiri.
"Mbak bisa berucap seperti itu, tapi hati Mbak belum. Bahkan tanpa sadar, mbak masih memanggil nama mas Arend dimalam pertama kita."
Ku lihat matanya berembun.
Astagfirulahalazim, astagfirulahalazim, betapa bodohnya aku ya Allah.
Mulut ku membisu, lidah ku kelu, aku tidak punya kekuatan lagi untuk menjawab ucapan mas Arick. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf pun aku merasa sangat malu.
"Jika Mbak belum siap harusnya beritahu aku, katakan padaku. Jika seperti ini aku benar-benar merasa tidak dihargai. Aku bukan Arick, aku adalah Arend dimata Mbak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Nuryati Yati
harusnya ngomong langsung mas Arick kasihan Jihan kalo kamu diemi dia kn gk sadar maklum baru di tinggal suaminya
2025-01-02
0
Mei Saroha
masih mending dia panggil arend, coba dia nyebut nama laen, pegimana tuh 🤣😆😁
2024-12-22
0
anonim
Arick yang sabar....baru meninggal Arend suami Jihan saat kalian bersetubuh. Tanpa sadar Jihan menyebut nama Arend. Ya memang kamu tersinggung Rick...tapi tidak usah pakai marah diamkan Jihan pula. Kan Jihan kasihan juga. Makhlumi Jihan dong Arick...
Mestinya kamu yang usaha supaya Jihan fokusnya ke kamu. Tapi ya sulit juga bagi Jihan lupakan Arend secara wajahmu sama.
2024-10-07
0