Sehabis mandi aku dan Zayn keluar kamar, mas Arick tadi mandi di kamarnya sendiri. Ya, barang-barang mas Arick masih berada di kamarnya sendiri, belum sempat berbenah untuk menjadi satu kamar.
Aku menghampiri ibu Sofia di dapur, ia sedang membantu mbak Puji memasak sarapan. Papa Mardi sudah duduk di meja makan dan meminum teh hangat.
"Wah, jagoan Opa sudah muncul, ayo kita berjemur dulu sayang." Papa Mardi mendekatiku hendak mengambil Zayn.
"Eits! tunggu dulu, hari ini aku yang akan membawa Zayn untuk berjemur." Mas Arick terlebih dahulu mengambil Zayn dan kemudian berlalu ke halaman rumah.
Selepas kepergian mas Arick, aku, papa, mama dan mbak Puji saling melempar tatapan. Kami semua terkejut mendengar ucapan Arick yang tidak seperti biasanya. Pagi ini sepertinya adalah pagi yang indah untuk mas Arick, dia berbicara menggunakan AKU dan bukan SAYA, dia juga tersenyum dengan ceria.
Benar-benar bukan mas Arick yang selama ini dikenal sangat dingin.
Diam-diam aku tersenyum tipis melihatnya.
"Kamu lihat Ji, Arick sangat berusaha untuk menerima pernikahan ini. Bahkan dia berubah menjadi lebih hangat hanya dalam waktu semalam." Ujar papa, dia tersenyum ikut bahagia melihat perubahan pada mas Arick.
"Ji, sebaiknya kamu menyusul Arick. Kalian bisa menghabiskan waktu bersama sepuasnya." Tiba-tiba ibu datang dan antusias memintaku untuk segera menyusul mas Arick.
Aku tersenyum tanpa bisa ditahan, merasa lucu dengan kelakuan kedua mertua ku. Seolah aku dan mas Arick ini masih bocah SMA yang sedang PDKT alias pendekatan.
"Sudah jangan senyum-senyum saja, sana temui Arick. Pelan-pelan jalannya." Ibu Sofia mendorongku lembut untuk segera menyusul Arick.
Aku adalah wanita yang sangat beruntung karena kemarin aku melahirkan Zayn secara normal, aku juga tidak mendapatkan jahitan walau hanya satu pun. Kini aku sudah bisa berjalan seperti biasanya. Sangat beruntung bukan? Aku tersenyum getir, sebenarnya itu bukan beruntung. Aku melakukan yang terbaik saat Zayn hendak lahir, itu karena aku ingin segera bertemu dengan harta yang paling berharga peninggalan mas Arend, anak kami.
Sudahlah, jangan mas Arend lagi, aku sudah berjanji pada diri ku sendiri untuk fokus kepada mas Arick.
Dengan langkah pelan, aku menghampiri mas Arick. Ku lihat mas Arick mulai membuka kancing baju Zayn agar perutnya terkena sinar matahari.
Melihat itu, hatiku benar-benar merasa bahagia. Kami sama-sama orang tua baru yang benar-benar awam dalam mengurus anak, kami hanya mengikuti naluri saja.
Tapi entah kenapa, aku merasa bahwa mas Arick lebih memahami caranya mengurus bayi.
"Mas." Aku menyapa mas Arick dan duduk disampingnya.
"Kamu disini?" Tanyanya dan aku mengangguk.
"Kamu ingin berjemur juga?" Tanyanya lagi dan aku malah tersenyum lebar. Mendadak mas Arick sangat banyak bicara dan aku merasa lucu.
"Kemana perginya mas Arick yang dingin?" Tanya ku sambil terkekeh pelan.
Kekehan ku berhenti ketika mas Arick menyentuh wajah ku lembut. Satu tangan kekarnya menggendong Zayn dan satu tangannya menyentuh wajah ku.
Aku tertegun.
"Kamu sangat cantik jika tertawa seperti ini."
Jantung ku langsung melompat-lompat mendengar ucapan manis mas Arick. Aku yakin mas Arick bisa mendengar detak jantung ku saat ini.
Aku menyentuh tangannya yang masih setia berada di pipiku. Aku memberanikan diri untuk mengecup sekilas telapak tangan itu. Tangan suamiku, tangan Imam ku, tangan yang mencari rejeki untukku dan Zayn dan tangan yang akan selalu melindungi ku.
"Mas juga terlihat lebih manusiawi jika tidak dingin seperti ini." Canda ku, aku kembali tersenyum.
Benar-benar pagi yang indah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam 9 pagi ibu Sofia dan papa Mardi berangkat ke jogja, pak Amir mengantar keduanya ke bandara.
Aku dan mas Arick kembali ke kamar. Kata ibu Sofia anggap saja saat ini sedang bulan madu.
Ya Allah, ada-ada saja.
Zayn kembali tertidur setelah puas menyusu.
Aku dan mas Arick duduk berdampingan di sofa kamar ku.
"Kenapa tidak dilepas saja jilbabnya Ji, lihatlah kening mu sudah berkeringat." Mas Arick menarik selembar tissue di atas meja, ia menghapus keringat di dahi ku.
Saat aku hendak mengambil tissue itu, ia mencegahnya.
"Kenapa? kamu tidak ingin aku sentuh?" Tanya mas Arick, seperti hanya menggoda tapi raut wajahnya serius sekali. Aku jadi bingung sekaligus takut. Takut menyinggung perasaannya.
"Bukan seperti itu Mas, tapi inikan kotor biar aku sendiri yang menghapusnya." Kilah ku.
Mas Arick diam saja, sebentar dingin sebentar hangat. Aku jadi bingung sendiri melihat perubahan sikap mas Arick. Aku selalu takut melakukan kesalahan jika seperti ini.
Mas Arick membimbingku untuk menghadap kepadanya. Dengan pelan dia melepas jilbab di kepala ku dan aku menurut.
Lega sekali rasanya ketika jilbab itu sudah terlepas sempurna. Biasanya aku sangat betah memakai jilbab walau berada dikamar. Tapi semenjak hamil hingga kini menyusui Zayn, aku selalu merasa kepanasan. Aku juga tidak tahu kenapa tubuhku mengalami perubahan ini.
"Lihat, leher mu juga penuh dengan keringat." Sidak mas Arick. Ia merapikan anak rambut ku yang tak beraturan disekitar leher. Padahal tadi aku sudah mengikat rambut dengan rapi, tapi kenapa kini jadi berantakan?
"Sekarang ganti baju santai saja, papa dan pak Amir sudah tidak di rumah. Mang Ujang juga tidak akan masuk ke dalam rumah." Jelas mas Arick. Mang ujang adalah satpam sekaligus tukang kebun kami.
Aku masih terdiam bingung.
"Emm Mas, gimana kalau sekarang Mas temenin aku dulu beli baju." Cicit ku pelan, tapi aku yakin mas Arick mendengarnya.
"Kenapa? kamu merasa tidak nyaman aku melihat tubuh mu?" Raut wajah mas Arick kembali dingin.
Sekarang aku mulai paham sesuatu, jika wajah mas Arick kembali dingin seperti ini berarti dia sedang marah. Atau jika dia hanya diam, itu artinya ia tidak menyetuji argumen ku.
Aku benar-benar harus banyak belajar.
"Bukan seperti itu Mas."
"Lalu seperti apa?"
Aku kehabisan kata-kata.
"Ya sudah aku ganti baju dulu." Aku hendak berdiri namun mas Arick menahan tangan ku, hingga aku kembali duduk disampingnya.
Tatapan kami bertemu dan kedua tangan ku digenggam oleh mas Arick.
"Aku tidak ingin munafik, aku sangat menginginkan mu untuk menjadi istriku yang sesungguhnya. Tapi percayalah, aku tidak akan memaksamu sampai kamu siap."
Deg! ya Allah, kenapa mas Arick jujur sekali. Lidah ku kelu, aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Jadi jangan merasa tidak nyaman jika berada disekitar ku, berprilaku lah sesuai kebiasaan mu selama ini dan aku pun akan melakukan hal yang sama, bukankah kita sudah sepakat untuk menerima satu sama lain?"
Aku semakin menciut, semua ucapan mas Arick memang benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Rita
Mudah2n saling bs menerima ya perlahan2
2025-02-17
0
andi hastutty
Hem
2024-09-24
1
Tuti Tyastuti
nah kan
2024-08-11
0