POV JIHAN
Aku kembali melihat ponselku yang tergeletak asal di atas nakas, berulang kali aku memeriksa tetapi tetap saja tidak ada panggilan telepon dari mas Arick, jangankan panggilan, satu pesan pun tidak ada yang mas Arick tujukan padaku.
Sedari tadi pagi mas Arick benar-benar dingin, bahkan pesan ku untuk meminta izin pergi hanya dibalas dengan satu kata, IYA.
Aku mengelus dadaku mencoba sabar. Dadaku kembali sesak ketika mengingat siang tadi, saat aku menghubungi mas Arick dan yang mengangkatnya adalah Jasmin, asisten mas Arick.
Aku sangat mengingat satu nama itu, Jasmin. Wanita yang pernah aku tanyakan pada mas Arick dulu. Aku tidak tahu jika wanita itu juga adalah asisten suamiku.
Selain asisten, Jasmin juga merupakan sahabat mas Arick. Aku tersenyum getir, rasa-rasanya penting sekali kehadiran wanita itu di hidup mas Arick.
Ya allah, jangan biarkan kecemburuan hamba menguasai diri. Jangan biarkan pikiran hamba selalu menduga-duga.
Aku mencoba memejamkan mataku lagi, ku lihat saat ini nyaris jam 12 malam. Mungkinkah mas Arick sudah pulang? mungkinkah saat ini dia sudah tidur nyenyak di rumah? ingatkah mas Arick padaku?
Tadi pagi, aku menelpon ibu Sofia untuk meminta pak Amir mengantarku ke posyandu. Ibu mengizinkan, aku tidak tahu jika ternyata ibu pun ikut mengantar ku juga. Dan saat pulang, ibu memintaku untuk ikut pulang ke rumah ini, ia sangat merindukan aku dan juga Zayn.
Aku yang tidak ingin membuat ibu kecewa pun terpaksa menuruti, meski aku belum mendapatkan izin secara langsung dari mas Arick.
Kata Jasmin pun, saat ini mas Arick sedang sangat sibuk, Jasmin juga berkata dia akan menyampaikan pesan ku itu.
Tapi kenapa hingga tengah malam begini mas Arick tidak menghubungi aku.
Sudahlah Ji, jangan sakiti hatimu sendiri. Tidurlah.
Aku mencoba memejamkan mataku secara paksa, aku genggam lembut tangan Zayn yang aku tidurkan di samping ku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
POV ARICK
Jam 12 malam aku baru sampai di rumah ibu.
Ya Allah, aku benar-benar kacau, benar-benar merindukan Jihan.
Aku menekan bell rumah dengan tidak sabaran, tak berselang lama, pintu itu terbuka dan nampak lah papa Mardi dengan wajah tak ramahnya.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya papa Mardi, dia bahkan tidak membukakan pintu untuk ku.
Papa Mardi memang selalu keras kepadaku dan Arend, dia hanya menyayangi Jihan saja.
"Pa, izinkan aku masuk, aku ingin menemui istriku." Aku memasang wajah memelas, rasanya wajahku saat ini memang sudah sangat menghawatirkan.
Rambut dan baju yang acak-acakan dan badan yang lembab dengan keringat.
"Pulanglah, besok pagi baru kamu jemput anak perempuan ku." Papa Mardi nyaris menutup pintu, namun aku dengan cepat mencegahnya.
"Maafkan Arick Pa."
"Kamu meminta maaf untuk apa?"
Aku tahu papa hanya ingin menyadarkan aku dari kesalahan ku.
"Aku mengabaikan Jihan seharian ini." Jelas ku apa adanya.
Ku lihat papa Mardi menyeringai, firasat ku mulai merasa tak enak.
"Kamu jangan terlalu naif Rick, Papa tahu selama tiga hari ini hubungan mu dengan Jihan mengalami masalah. Karena itulah Papa dan ibu membawa Jihan kesini. Papa tidak mau anak perempuan papa dan cucu kesayangan papa diabaikan di rumah itu. Kamu ingat apa janji mu saat kamu meninggalkan rumah ini?"
Aku diam membisu, tidak punya kebenaran atas diriku sendiri. Apalagi untuk menjawab ucapan papa Mardi, aku memang salah.
"Kamu berjanji akan membahagiakan Jihan dan Zayn. Jihan dan Zayn itu satu, jika kamu menyakiti Jihan maka Zayn pun akan merasakan sakitnya."
Mataku mulai berembun, namun sekuat tenaga aku tahan agar air mata ini tidak meluncur.
"Rick, dulu Arend dan Jihan menikah itu atas dasar cinta. Bukan hal yang sulit untuk mereka membangun rumah tangga. Tapi kondisinya kini berbeda, kamu dan Jihan menikah karena keadaan yang memaksa. Sebagai seorang imam harusnya kamu bisa bersikap lebih dewasa."
"Maafkan Arick Pa." Ucapku lirih, memang tidak ada yang bisa aku sembunyikan dari papa Mardi, aku juga lupa jika di rumah ku ada mbak Puji, pastilah mbak Puji yang sudah memberi tahu papa dan ibu tentang semua yang terjadi di rumah.
"Bukan dengan ku kamu harus meminta maaf, minta maaflah kepada istri mu."
Setelah mengatakan itu papa Mardi masuk, meninggalkan pintu yang terbuka dan aku yang berdiri diluar.
Tanpa menunggu lama, aku segara masuk ke dalam rumah. Aku bergegas ke kamar Jihan, ternyata tidak ada.
Aku tersenyum kecil, berarti Jihan tidur di kamar ku.
Perlahan aku membuka pintu kamar, tatapan ku langsung terkunci pada tubuh Jihan yang meringkuk sambil memeluk Zayn.
Ya Allah, hatiku bergetar, tiba-tiba merasa sesak ketika melihat Jihan yang terlihat lemah seperti itu.
Aku naik keatas ranjang dan memeluk Jihan dari belakang, aku memeluknya erat dan berulang kali menciumi kepalanya.
"Maafkan aku Ji, maafkan aku." Ucap ku lirih tepat di telinganya.
Ku rasakan Jihan menggeliat, mungkin tidurnya terganggu dengan kedatangan ku.
"Mas Arick?" Jihan berucap dengan suara parau, matanya menyipit menatap kearah ku. Seolah tidak percaya jika saat ini aku berada disini.
"Maafkan aku Ji." Aku tidak ingin menunda untuk mengucapkan kata maaf. Aku ingin segera menyelesaikan ini semua.
"Maaf? Akulah yang seharusnya meminta maaf Mas." Lirih Jihan, dan hatiku makin teriris mengetahui kelembutan hati istriku.
Aku semakin memeluk tubuhnya hingga mendekat padaku, tatapan kami bertemu dan saling mengunci.
"Tidak Ji, akulah yang salah. Aku cemburu dengan hal yang tidak jelas. Aku cemburu saat kamu menyebut nama Arend. Aku cemburu Ji. Tapi seharusnya aku tidak boleh berlarut-larut dalam kecemburuan ku itu. Maukah kamu memaafkan aku Ji? Bisakah kamu memaafkan aku? melupakan semua kesedihan mu yang sudah aku toreh?"
Aku menatap netra hitamnya yang sudah mulai berlinang.
"Jangan menangis." Ucap ku pelan.
Ku lihat Jihan mengangguk pelan, kemudian mendekat dan mencium bibirku cepat.
Aku tersentak, Jihan menjawab pertanyaan ku bukan dengan ucapan melainkan tindakan dan aku sangat menyukai itu.
Aku kembali maraup bibir Jihan dengan tidak sabaran, rasanya sudah sangat lama sekali aku tidak menyesap rasa manis ini.
Kami berciuman hingga puas, hingga rasanya semua beban dipundak kami melayang entah kemana.
"Mas, jika aku berkata aku mencintai mu, apakah kamu percaya?" Tanya Jihan dan aku tercenung, merasa tidak percaya tapi entah kenapa hatiku berbunga-bunga.
"Jika aku berkata aku lebih mencintai mu, apakah kamu percaya?" Tanya ku menjawab pertanyaan Jihan.
Jihan tersenyum dan lagi-lagi aku pun ikut tersenyum melihat senyumannya itu.
"Aku mencintai mu Ji."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Nuryati Yati
nah gitu dong
2025-01-02
0
anonim
naaaa adem kan kalau begini....
2024-10-08
0
andi hastutty
Syukurlah
2024-09-24
1