Bodoh.
Itulah satu kata yang pantas untuk ku, diawal-awal aku menikah dengan mas Arick, ibu Nami dan ibu Sofia selalu mengingatkan aku tentang menjaga perasaan mas Arick.
Tapi apa yang aku lakukan?
Aku menyebut nama mas Arend ketika aku berhubungan dengannya?
Astagfirulahalazim.
Jika aku menjadi mas Arick pastilah hatiku sangat hancur, ketika sedang berhubungan denganku suamiku memanggil nama wanita lain. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat aku merinding.
Ya allah, aku ingin sekali memeluk mas Arick saat ini.
"Maafkan aku Mas." Ucapku lirih dengan air mata. Hanya inilah yang bisa aku ucapkan, meski aku tahu tidak akan mudah mas Arick memaafkan aku.
Lama aku menunggu tapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut suamiku. Hatiku makin pilu, saat melihat dia kembali acuh padaku.
Tidak apa-apa, aku pantas mendapatkan ini.
Selesai mas Arick dengan pekerjaannya, dia kembali membawa Zayn ke kamar, dia mencium Zayn dan kemudian merebahkan anak kami ke box.
Hatiku terenyuh, lihatlah Ji! lihatlah! suami mu sangat menyayangi anakmu. Tapi dengan bodohnya kamu menyakiti hatinya!
Berulang kali aku mengutuk diriku sendiri, karena kebodohan ku, aku menghancurkan semuanya.
Seperti biasa, jam 9 malam kami sudah merebahkan tubuh di ranjang. Aku masih bersyukur mas Arick mau tidur di kamar ini. Aku sempat berpikir mas Arick akan memilih tidur berpisah dengan ku.
Aku melihat punggung mas Arick, lagi-lagi dia tidur memunggungi ku. Aku menangis dalam diam melihat punggung suamiku ini. Tapi lagi lagi aku masih bersyukur, dia masih tidur disni.
Aku sengaja mengulur-ngulur waktu agar mataku tetap terjaga, membiarkan mas Arick tertidur terlebih dahulu. Aku ingin memeluknya, sangat ingin.
Jam 11 malam aku mulai mendengar suara napas mas Arick yang sudah mulai teratur. Aku yakin jika mas Arick sudah tertidur saat ini.
Dengan perlahan aku mendekat pada tubuh suamiku, perlahan aku memeluk tubuhnya dari belakang. Aku hirup dalam-dalam aroma tubuh mas Arick, seolah ini adalah candu bagiku, sedetik saja aku tidak menghirup aroma tubuhnya, aku bisa gila.
Aku sangat merindukan mu mas, rindu yang sangat banyak. Ya allah, bisakah engkau membawa ku kembali ke bulan september kami yang indah. Dimana kami saling menyayangi dan tidak ada sedikitpun jarak. Aku ingin memperbaiki semuanya ya Allah, hamba mohon, berilah hamba kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Lirihku dalam hati.
Aku mencium punggung mas Arick berulang, aku benar-benar seperti pungguk yang merindukan bulan. Mengharapkan sesuatu yang mustahil dapat dicapai.
Aku sadar, perasaanku pada mas Arick semakin dalam, aku takut kehilangan mas Arick didalam hidup ku.
Aku sadar, cinta untuk mas Arick sudah mulai menyentuh hatiku.
Deg! aku sangat terkejut ketika ku rasa tanganku yang melingkar diperut mas Arick digenggam olahnya.
Mas Arick belum tidur? atau dia terbangun gara-gara aku?
Aku semakin menangis, antara menangis bahagia dia sudi menggenggam tangan ku dan menangis sedih karena rasa bersalah yang semakin membesar dihatiku.
"Mas." Aku memanggilnya pelan dengan semakin mengeratkan pelukanku.
Mas Arick mulai membuat pergerakan, ia memutar badannya hingga kini menghadap padaku. Mas Arick menatap mata ku yang berlinang, dia kemudian menghapus air mataku secara perlahan.
Ya allah, aku sangat merindukan sentuhan suamiku ini.
"Aku minta maaf Mas." Lagi-lagi aku meminta maaf, rasanya semua kata maaf di dunia ini ingin aku berikan semua padanya.
Ku lihat mas Arick mengangguk kecil tanpa suara dan dia membawa ku ke dalam dekapannya.
Aku menangis sejadi-jadinya didalam dekapan mas Arick.
"Aku sangat merindukan mu Mas, percayalah padaku." Ucapku sesenggukan.
"Jujur saja Mbak, aku belum bisa memaafkan mu." Jawab mas Arick dengan suara pelan, tangannya terus mengelus punggungku, memberi ketenangan. Tapi bukannya tenang, aku malah semakin gusar.
"Saat ini aku hanya melakukan semuanya demi Zayn." Jawabnya jujur, hatiku mencelos mendengar ucapan mas Arick.
Seperti de javu, seolah aku pernah mengatakan tentang ini. Jika kasih sayang di rumah tangga kami hanya akan tertuju pada Zayn, sedangkan diantara aku dan mas Arick, tidak ada.
"Kamu berhak marah padaku mas, tapi jangan diamkan aku, jangan anggap aku tidak ada." Aku memohon, meski rasanya aku sudah tidak pantas untuk meminta apapun darinya.
"Baiklah." Ucap mas Arick, terdengar sangat dingin ditelingaku.
Aku tahu, mas Arick memang saat ini memeluk tubuhku tapi tidak dengan hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Mbak, besok sabtu kamu mau pulang ke rumah ibu Nami tidak?" Tanya mas Arick padaku, saat ini aku sedang menemaninya sarapan, sebelum dia berangkat kerja.
Aku tersenyum getir, panggilan Mbak yang dia berikan padaku benar-benar seperti sebuah pertanda jika jarak diantara kami masih membentang. Tapi aku bisa apa? harusnya pun aku masih bersyukur sekarang mas Arick sudah mau berbicara dengan ku, ya kan?
"Aku terserah mas Arick saja, jika mas mau mengantar ku pulang aku akan senang."
Ku lihat dia tetap fokus pada makanannya.
"Baiklah, sabtu besok kita pulang. Oh iya mbak, malam ini aku akan pulang larut malam. Mungkin jam 10 malam baru sampai di rumah, sedang ada acara penting di hotel." Jelas mas Arick, tapi dia tidak menatap ku meski aku terus melihat kearahnya.
"Iya Mas." Jawab ku lemah.
"Mbak tidak usah menunggu ku, temani saja Zayn di kamar."
"Iya Mas."
Hatiku bak diiris sembilu, ternyata seperti ini rasanya jika suami dan istri sedang dilanda masalah. Ku pikir hidupku akan sempurna dan selalu bahagia, ternyata harapan ku benar-benar terlalu tinggi.
Dulu, saat aku membina rumah tangga dengan mas Arend, jika kami ada masalah kami dapat dengan mudah menyelesaikannya, semudah memberikan kecupan dibibir maka semuanya akan selesai. Tapi kini?
Astagfirulahalazim, apa yang aku lakukan? kenapa aku malah membandingkan antara mas Arick dan mas Arend?
Aku menggeleng pelan, kemudian mengangguk kecil.
Tidak apa apa Ji, kamu tetap harus bersyukur, bagaimanapun keadaannya, mas Arick masih bersama mu.
Selesai sarapan, mas Arick menggendong Zayn sebentar, ini adalah kebiasaannya selama ini. Sebelum berangkat kerja, mas Arick akan menyempatkan waktu untuk bersama dengan Zayn. Ia juga menciumi wajah Zayn berulang kali. Dulu aku juga mendapatkan kecupan manis itu, tapi sekarang? aku hanya bisa tersenyum getir.
"Jaga Zayn, aku berangkat dulu ya Mbak." Mas Arick berpamitan padaku seraya memberikan Zayn dalam dekapan ku.
Aku hanya bisa mengangguk, kemudian memperhatikan punggung mas Arick yang semakin lama semakin menjauh, hingga lama-lama tak terlihat lagi di pelupuk mata.
Tidak ada kecupan, tidak ada belaian dan tidak ada sentuhan.
Kamu tetap harus bersyukur Ji, mas Arick masih berpamitan dengan mu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Rita
haduh susah juga ya
2025-02-17
0
⏤͟͟͞͞RL𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺
2025-01-06
0
andi hastutty
Susahnya ikutan sedih yah
2024-09-24
2