Waktu berjalan begitu cepat, aku menghitung hari yang sudah ku lalui bersama mas Arick dengan sepuluh jari ku. Satu, dua, tiga, empat... Aku tersenyum penuh arti, ternyata sudah 37 hari aku dan mas Arick menikah.
Hari-hari yang ku lalui dengannya begitu indah, mas Arick menciptakan dunia yang begitu nyaman untuk ku dan Zayn tinggali.
Tiap malam kami selalu tidur berpelukan, tiap pagi selalu ada kecupan dan dihari-hari kami selalu bergandengan. Zayn pun tumbuh dengan sehat, berat badannya terus mengalami kenaikan.
Tidak ada yang lebih ku syukuri dari ini semua, aku selalu berdoa agar selamanya rumah tangga ku akan seperti ini terus.
Kata mas Arick jika masa nifas ku sudah selesai, sebaiknya kita pindah dari rumah ini. Belajar hidup mandiri dan membangun rumah tangga tanpa campur tangan orang tua. Mas Arick percaya, dengan kita tinggal berdua saja maka rumah tangga kita akan semakin kokoh.
Baiklah, aku menurut, meski sedikit tidak rela berpisah dengan ibu Sofia dan papa Mardi.
Mas Arick dan mas Arend sudah dibelikan rumah masing-masing olah papa Mardi. Papa Mardi sengaja membelikan rumah didekat rumah ini agar anaknya tidak ada yang meninggalkannya terlalu jauh.
Papa Mardi dan ibu Sofia sadar, jika suatu saat nanti pastilah anak-anaknya ingin hidup mandiri dan mereka tidak menentang akan hal itu.
Dan disinilah aku berdiri saat ini, didepan rumah sederhana dengan halaman yang tidak terlalu luas. Cukup untuk parkir 3 mobil.
Zayn sedang digendong mbak Puji, mang ujang dan pak Amir menurunkan barang-barang. Aku dan mas Arick berkeliling disekitar halaman rumah.
"Kamu suka rumah ini?" Tanya Mas Arick.
"Suka Mas."
"Tapi rumah ini lebih kecil daripada rumah ibu." Jelas mas Arick, ia menghentikan langkah kakinya dan aku pun ikut berhenti juga.
"Mas, kita sudah sangat beruntung memiliki rumah ini. Pasangan pengantin baru diluar sana mungkin masih banyak yang mengontrak." Jawab ku dengan menatap matanya. Mas Arick selalu saja menginginkan yang terbaik untuk ku dan Zayn, aku tidak mau hal itu malah membebaninya.
"Ibu juga minta mbak Puji untuk menemani aku disini, jadi Mas jangan khawatir aku akan kesepian saat mas kerja. Rumah ibu sama papa juga tidak terlalu jauh, cuma 10 menit naik mobil sampai." Aku kembali menjelaskan, padahal mas Arick yang mengajak ku pindah kesini, tapi dia juga yang merasa tak enak hati.
Mas Arik menarik pinggangku dengan kedua tangannya, dia mendekap dan kedua tanganku menahan dada mas Arick.
"Mas Malu." Ucap ku pelan, aku melirik mbak Puji yang senyum-senyum melihat kearah ku dan mas Arick.
"Aku sangat bersyukur memiliki istri seperti kamu Ji."
Pipiku merona mendengar pujian mas Arick.
"Aku lebih beruntung memiliki Mas didalam hidup ku." Jawab ku tak mau kalah dengan kata-kata manis miliknya, aku juga harus bisa menyenangkan hatinya bukan?
"Benarkah?"
Aku mengangguk.
"Hem, berarti malam ini malam pertama kita?" Tanya Mas Arick dengan senyum menggoda.
Sumpah demi apapun, saat ini aku sangat malu. Aku memukul agak keras dada mas Arick, hingga ia sedikit gaduh kesakitan.
"Sakit sayang."
Aku tau mas Arick bohong.
"Iya iya, ayo sekarang kita masuk." Mas Arick mengajak ku kembali berjalan, masuk ke dalam rumah baru kami.
Rumah minimalis, ada ruang tamu, ruang keluarga, 2 kamar tidur lengkap dengan kamar mandi, 1 ruang kerja, dapur, halaman belakang berupa taman kecil dan garasi.
"Sebelumnya mas sudah pernah tinggal disini?" Tanya ku, karena rumah ini sudah dilengkapi dengan perabot rumah tangga, aku dan mas Arick hanya membawa baju dan semua perlengkapan Zayn.
"Iya, kadang-kadang Mas memang tinggal disini." Jawabnya.
Aku mengangguk kecil dan mengikuti langkah mas Arick, sepertinya mas Arick akan mengajak ku masuk ke kamar kami.
Dan benar, inilah kamar yang akan kami tinggali. Lebih kecil memang dari kamar kami sebelumnya, tapi aku sudah merasa nyaman sedari awal masuk kamar ini.
Setidaknya box tidur Zayn masih muat untuk diletakkan di kamar ini.
Mas Arick memeluk ku dari belakang dan mencium pucuk kepala ku sekilas.
"Aku sangat bahagia hari ini Ji, impian ku untuk membina rumah tangga di rumah ini akhirnya terwujud."
Aku tersenyum dan mengelus kedua tangan mas Arick yang melingkar di perut ku.
"Percayalah Mas, aku juga bahagia." Aku memutar badan hingga tatapan kami bertemu. Aku memberanikan diri untuk mendekat dan mengecup bibir mas Arick. Ini adalah kali pertama aku menciumnya terlebih dahulu.
Aku tau mas Arick sangat terkejut, namun aku senang ketika ku rasakan dekapannya atas tubuh ku yang semakin menguat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam baru saja dimulai, bahkan belum ada 1 jam matahari tenggelam. Tapi aku sudah merasakan kegugupan, apalagi ucapan mas Arick tentang malam pertama terus terngiang di telingaku. Membayangkannya saja sudah membuat tubuh ku menegang.
Aku dan mas Arick baru saja selesai shalat magrib berjamaah. Zayn aku tidurkan di samping sajadah ku.
"Tangan mu dingin sekali Ji, apa kamu masuk angin lagi?" Tanya mas Arick ketika aku selesai mencium tangannya, wajahnya terlihat cemas dan dia langsung memeriksa suhu tubuh ku.
Aku tidak masuk angin Mas, apalagi demam. Aku gugup.
"Kamu tidak demam Ji, coba aku periksa kaki mu." Mas Arick nyaris menyentuh telapak kakiku, untunglah aku lebih cepat mencegahnya. Rasanya sangat tidak sopan membiarkan mas Arick menyentuh telapak kaki itu.
"Mas, aku baik-baik saja."
"Lalu kenapa kamu sampai keringat dingin seperti ini."
"Aku kedinginan." Jawab ku asal, ku lihat mas Arick terdiam mencoba menerima jawaban ku.
"Kalau begitu berbaringlah, masuk kedalam selimut." Perintahnya.
Mas Arick kemudian mengangkat Zayn dan menidurkannya di box, sedangkan aku membereskan sajadah dan melipat mukenah.
Selesai dengan Zayn mas Arick membimbing ku untuk berbaring di tempat tidur kami. Dia menyelimuti ku dengan telaten.
Padahal aku tidak sakit dan melihat mas Arick yang cemas seperti ini malah membuat ku merasa bersalah.
"Mas." Aku menahan tangannya ketika mas Arick hendak pergi.
"Mau kemana?" Tanya ku.
"Aku mau ke dapur, minum susu hangat mau?" Dia menawarkan minuman hangat padaku.
Ya Allah mas Arick, aku semakin merasa bersalah.
"Mas jangan kemana-mana. Aku mau mas peluk aku." Kata-kata itu keluar dari mulut ku dengan sendirinya.
Mas Arick tertegun, mata kami saling mengunci satu sama lain, lambat laun mas Arick semakin mendekat. Tapi dia bukan memelukku, melainkan mencium bibirku.
Lama kami saling berpaut, aku sadar, darah kami sudah sama-sama mendidih. Malam ini aku sudah menunaikan kewajiban ku meski sedikit ragu. Kami menyatu dan tidak ada lagi jarak sedikitpun. Satu yang aku sesali, malam ini aku masih mengingat mas Arend.
"Mas Arend." Lirih ku tanpa sadar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
komalia komalia
ini cerita nya ko kaya ji yang bercerita,author nya enga bercerita,nyeritain tentang eric perasaan eric jadi ini tentang perasaan ji semua.
2024-12-24
0
Tuti Tyastuti
waduh ji
2024-08-19
1
liberty
wadow🤧
2024-04-30
1