POV ARICK
Aku sengaja mengajak pak Hamid untuk berbicara berdua membahas tentang masalah Lila.
Saat ini aku dan pak Hamid sedang duduk di kursi taman rumah sakit, sedangkan Jihan menunggu di dalam mobil, menyusui Zayn yang sudah mulai mengantuk.
"Sebenarnya ini semua bukan kesalahan pak Arend Mas, ini semua memang sudah takdir Allah, Lila bersama pak Arend dan mengalami kecelakaan itu. Juga kaki Lila yang sekarang tidak sempurna, itu semua cobaan yang harus Lila hadapi. Harusnya pun Lila pandai-pandai bersyukur, karena ia masih selamat, sedangkan pak Arend_"
Ucapan pak Hamid terhenti, aku tahu ia ingin mengatakan jika mas Arend sudah meninggal. Namun diurungkan karena takut membuat aku tak nyaman.
"Alhamdulilah kalau bapak berpikir seperti itu, tapi kami dari pihak keluarga almarhum mas Arend juga sudah membuat keputusan, jika Lila akan menjadi tanggung jawab kami. Menurut bapak apa yang terbaik untuk Lila setelah dia keluar dari rumah sakit?"
Dulu setelah memakamkan mas Arend, aku, papa dan ibu menjenguk Lila di rumah sakit, kami semua merasa iba melihat keadaan Lila yang terkulai lemah tak sadarkan diri, kami semua sepakat bahwa akan bertanggung jawab atas masa depan Lila.
Ku lihat pak Hamid nampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan ku.
"Mungkin saya akan bawa Lila pulang ke kampung Mas, pulang ke Lampung. Di sana dia bisa membantu istri saya untuk mengurus warung." Jelasnya, aku sangat bersyukur karena pak Hamid begitu bijak. Tidak ku sangka bahwa pak Hamid menyerahkan semuanya kepada Allah, tanpa menuntut apapun pada keluarga kami.
"Kalau begitu saya akan memberi tunjangan setiap bulannya, sebesar gaji Lila selama ini."
"Tidak usah Mas, saya tidak mau keluarga kami menjadi beban orang lain. Lagipula di sana kami memiliki usaha, kami tidak butuh belas kasihan orang lain." Tolak pak Hamid cepat.
"Maafkan saya pak, tapi saya mohon, terimalah pertanggungjawaban kami ini. Jika anda menolaknya maka kami akan selalu merasa bersalah seumur hidup kami." Jelas ku apa adanya, inilah yang aku rasakan atas Lila, perasaan bersalah karena kakakku membuat seorang wanita menjadi pincang. Pastilah kekurangan Lila ini akan membuatnya kesulitan menjalani kehidupan sehari-hari.
Belum lagi, cibiran orang-orang yang mungkin akan ia terima.
"Saya mohon Pak," Ucapku lagi karena pak Hamid hanya terdiam.
"Baiklah Mas, akan saya terima. Semoga kejadian ini menjadikan keluarga kita sebagai saudara dan bukannya menjadi musuh." Jelas pak Hamid dengan senyum tulusnya, dan hatiku begitu lega mendengarnya.
"Oh iya Pak, jika Lila ingin kembali bekerja pun saya akan membantu Lila untuk kembali mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Disini dia tidak perlu lagi mengontrak, dia bisa tinggal bersama kedua orang tua saya." Jelas ku lagi, aku masih berpikir jika mungkin saja Lila masih ingin bekerja.
"Iya Mas, terima kasih sebelumnya. Itu nanti biar saya bicarakan lagi dengan Lila dan Mas tidak usah khawatir, Lila akan baik-baik saja."
Pak Hamid menepuk-nepuk pundak ku pelan, sepertinya ia tahu akan kekhawatiran yang aku rasakan.
"Baiklah Pak." Jawabku mengakhiri pembicaraan kami.
Selesai urusan dengan pak Hamid aku segera bergegas kearah parkiran, ku rasa sudah cukup lama Jihan menungguku.
Dan benar saja, ku lihat didalam mobil sudah penuh dengan makanan yang dibeli oleh mbak Puji.
"Astagfirulahalazim, maafkan aku ya sayang, maafkan aku ya Mbak Puji. Aku lupa jika kalian tadi pagi belum sarapan."
Aku melihat jam ditangan kiri ku, ternyata sudah jam 11 siang.
"Kamu pasti kelaparan ya? mana harus menyusui Zayn." Sesalku, ku elus pipi Jihan yang menggelembung penuh dengan makanan. Satu tangannya menggendong Zayn yang sedang terlelap.
Ya allah, kasihan sekali istriku.
"Mas juga belum makan, ini makan dulu." Jihan memberiku sekotak bento, nasi dengan potongan ayam goreng yang diberi saus.
Bukannya mengambil kotak bento itu, aku malah mengambil Zayn didalam dekapan Jihan, aku juga memundurkan kursi ku agar lebih mudah bergerak.
"Biar aku yang gendong Zayn dan kamu suapi aku."
Ku lihat Jihan malah menahan senyumnya mendengar perintah ku.
"Ya ampun mas Arick, mentang-mentang mbak Puji duduk dibelakang dianggap obat nyamuk ya?" Keluh mbak Puji.
Aku terkekeh pelan mendengar protes mbak Puji itu, padahal tidak ada niat sedikitpun untuk menjadikan mbak Puji sebagai obat nyamuk. Hanya saja jika sudah melihat Jihan, aku tidak peduli yang lainnya lagi.
"Aa." Aku membuka mulut dan Jihan langsung menyuapi aku. Kami makan bersama dengan sendok yang sama pula.
Betapa indahnya.
"Mbak Puji, saya mau cium pipi Jihan boleh tidak?" Aku menggoda mbak Puji ketika kami semua sudah selesai makan dan bersiap-siap untuk pulang, Zayn juga sudah kembali ke gendongan sang ibu.
"Sak karepmu Mas, aku ora urus (Terserah kamu Mas, saya tidak peduli)." Kesal mbak Puji, aku dan Jihan tertawa terbahak dibuatnya. Untunglah tawa kami tidak sampai membangunkan Zayn.
"Hahaha, ah Mbak Puji seperti tidak ikhlas begitu. Biarlah saya cium Jihannya di rumah saja." Seloroh ku sambil mencubit hidung Jihan, gemas.
Aku pun mulai menghidupkan mesin mobil dan perlahan keluar dari area rumah sakit.
"Kita pulang kemana Mas?" Tanya Jihan.
"Pulang ke rumah kita saja sayang, aku tadi sudah menelpon ibu Nami untuk berpamitan dan beliau mengizinkan."
Ku lihat Jihan mengangguk dan kemudian menatap jalanan melalui jendela.
Adzan Zuhur kami baru sampai di rumah, kami semua memutuskan untuk segera shalat dan beristirahat.
Saat ini Zayn sedang menyusu dan aku hanya memperhatikan ibu dan anak ini.
Aku jadi teringat tentang ucapan dokter Diah kemarin.
"Ji."
"Apa mas?"
"Kamu masih mau memakai KB?" Tanya ku ragu-ragu.
Ku lihat Jihan menggeleng lemah, seolah dia pun ragu dengan jawabannya itu.
"Kita KB alami saja ya? kita hitung tanggal subur mu dan aku akan menahan diri di waktu itu."
Kali ini ku lihat Jihan menahan senyumnya, tapi sepertinya ia tidak tahan dan akhirnya terkekeh pelan.
"Mas tidak perlu menahan diri, aku hanya merasa sangat jahat jika sampai tidak bisa memberi asi eksklusif pada Zayn, pahami aku Mas sebagai seorang ibu."
Ku lihat kedua netra Jihan mulai berembun dan aku tak kuasa melihat itu.
"Maafkan aku ya Ji, aku terlalu bersemangat untuk memiliki anak sampai aku mengabaikan perasaan mu. Tapi percayalah, aku juga menginginkan yang terbaik untuk Zayn."
Jihan mengelus kepalaku dengan sayang, saat ini aku memang sedang berjongkok dihadapannya.
"Aku percaya Mas, aku juga sudah berusaha ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Allah."
"Masya Allah, terima kasih Ji."
Aku sedikit bangkit dan mengecup bibirnya sekilas, kemudian turun dan menciumi pipi Zayn yang sedang asik menyusu.
"Aku sangat beruntung memiliki kamu sebagai istri Ji."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Rita
hmmm jgn buru2 dulu mengambil keputusan Rick
2025-02-17
0
Rita
untung bapaknya baik
2025-02-17
0
andi hastutty
Kayanya lila ada hati ma aren atau jangan2 selingkuh yah
2024-09-25
3