Ku dengar ada pergerakan yang dilakukan Arick, sepertinya Arick akan turun dan menemui ku.
Aku sangat takut.
Mas Arend.
Aku menggigit bibir bawah ku dan menutup mata, derap langkahnya semakin dekat. Ingin sekali aku melepas Zayn dan berlari mengambil apapun untuk menutupi tubuh ku. Tapi kini Zayn sedang menyusu dengan lahap, sangat tenang dan matanya terpejam. Aku tidak tega.
Akhirnya aku hanya pasrah, membiarkan Arick melihat semua aurat ku. Kini Arick sudah berdiri tepat dihadapan ku, bahkan dia pun mengelus pipi Zayn dengan lembut.
Saat ini aku benar-benar merasa seperti wanita murahan, Arick pun melihat sebelah payudaraku yang sedang di susu Zayn.
Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatapnya.
"Mbak tidak kedinginan memakai baju itu?" Tanyanya, pertanyaan ini juga sering sekali ditanyakan mas Arend dulu. Hanya akulah yang mengerti betapa panasnya dunia ini, meskipun AC sudah menyala.
Aku menggeleng, "Tidak." Jawab ku pelan. Aku masih menunduk, menahan malu yang sudah sampai di ubun-ubun.
Tidak apa-apa Ji, bagaimanapun keadaannya sekarang dia adalah suami mu. Dia berhak atas tubuh mu.
Aku hanya bisa terus mencari pembenaran dalam diriku. Mencoba menghilangkan kecemasan ini dan berpikir bahwa ini adalah wajar.
"Mbak, sepertinya kita harus bicara terlebih dahulu." Arick berjongkok dihadapan ku. Mungkin ia kesal melihatku yang selalu menunduk.
Dengan penuh keterpaksaan, aku memberanikan diri menatap matanya.
Mata mas Arend. Bukan! ini adalah Arick.
Mereka benar-benar sangat mirip.
"Maafkan Mbak Rick, kalau cara berpakaian Mbak tidak sopan dan membuat kamu tidak nyaman." Aku sadar diri, aku langsung meminta maaf kepada Arick.
"Semenjak Mbak hamil sampai sekarang Mbak selalu merasa kegerahan, Mbak tidak bisa tidur jika memakai baju yang tebal dan tertutup." Aku mencoba jujur, tidak ingin Arick menilai bahwa aku sedang menggodanya. Tidak seperti itu.
"Bukan itu maksud saya mbak." Jawab Arick, entah kenapa setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat ku takut. Kata-kata dengan nada bicara dan wajah yang sama-sama datar, tanpa ekspresi.
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa.
"Kita sudah menikah, Mbak dengan masa lalu Mbak dan saya pun begitu. Jadi alangkah baiknya jika mulai saat ini kita bisa saling mendekatkan diri. Agar pernikahan ini semata-mata bukan hanya karena Zayn. Tapi juga karena kita ingin mencari ridho Allah."
Hatiku tertegun mendengar penuturan Arick. Laki-laki yang biasanya selalu diam dan bersikap dingin bisa juga bicara seindah ini.
Arick memang masih menjadi misteri untuk ku dan sepertinya akan terus seperti itu. Meskipun sudah dengan jelas dia berkata untuk menerima satu sama lain, kami tetap saja merasa canggung.
"Baiklah Rick, kalau begitu bolehkah aku memanggil mu Mas?" Tanya ku dengan ragu-ragu.
"Jika hanya berdua Mbak boleh memanggil saya Mas, tapi jika Zayn sudah bangun panggil saya Ayah."
Aku dan Arick sama-sama tersenyum dengan mata kami yang saling mengunci, merasa lucu dengan panggilan itu.
Saat Arick tersenyum seperti itu, aku seperti melihat mas Arend.
Astagfirulahalazim.
Cepat-cepat aku membawa kesadaran ku kembali. Mas Arend sudah meninggal dan saat ini yang menjadi suami ku adalah Arick. Arick bukan Arend, kesalahan besar jika aku menganggap Arick adalah mas Arend.
Selesai menertawakan tentang panggilan Ayah, kami kembali terdiam canggung.
Ingin sekali aku meminta Arick untuk tidak memanggilku Mbak, tapi aku tidak punya cukup nyali.
Plup! Zayn sudah puas menyusu, tanpa ada rasa bersalah ia melepas *****.
Ya allah aku malu sekali saat Arick melihat itu semua. Cepat-cepat aku menaikkan baju ku dan tanpa ku duga Arick langsung bergerak mengambil Zayn dan meletakkannya di box bayi Zayn.
Arick sangat sigap dan aku sangat tersentuh akan hal itu.
Buru-buru aku mengambil cardigan yang tergantung di samping lemari pakaian. Setidaknya cardigan ini bisa sedikit menutup aurat bagian atas ku.
Selesai dengan itu aku menghampiri Arick yang masih berdiri didamping tempat tidur Zayn.
"Zayn sudah tidur, sekarang ayo kita tidur." Aku mengajak Arick untuk tidur, berusaha menghilangkan kecanggungan diantara kami.
Arick mengangguk dan kemudian berjalan menuju tempat tidur kami, aku mengikutinya dan berjalan kesisi lain ranjang.
Kini kami sudah sama-sama berbaring, tak ada obrolan pengantar tidur seperti yang selalu aku lakukan dengan mas Arend. Ya, wajar saja, karena ini Arick dan bukan mas Arend.
Lambat laun kami pun terlelap, keadaan kamar yang sunyi benar-benar membuat kami mengantuk.
Malam ini Zayn bangun sebanyak 4 kali dan tiap kali dia terbangun Arick juga menemaniku menyusui Zayn. Sumpah aku sangat tidak menyangka akan hal itu. Dalam benakku, Arick akan tertidur hingga pagi dan tidak akan mendengar tangisan Zayn meminta susu.
Aku salut sekaligus iba, ingin sekali aku bertanya tentang dirinya. Apakah kamu benar-benar ikhlas menjalani ini semua? menikahi ku dan membantu merawat Zayn. Apakah sebelumnya kamu sudah memiliki kekasih, namun kamu putuskan karena harus menikahi ku?
Banyak sekali pertanyaan yang berenang di kepalaku, namun tak satupun yang keluar. Melihat Arick yang rela berkorban, benar-benar membuat aku merasa egois.
Apalagi hingga kini aku masih memikirkan mas Arend.
Selesai mas Arick shalat subuh, aku mencium punggung tangan kanannya takzim.
"Terima kasih Mas." Ucap ku, aku memberanikan diri untuk menahan tangannya agar tetap berada di dalam genggaman tangan ku.
Bukannya menjawab, Arick malah kembali bertanya, "Kenapa tangan Mbak dingin sekali?" Tanyanya, Arick kemudian menarik tangan ku yang kiri kemudian menggenggam keduanya. Ia menggosok-gosok tanganku agar menjadi hangat.
Ini bukan karena aku kedinginan Rick, ini karena aku gugup.
Aku membiarkannya menghangatkan telapak tangan ku, meski tangan ini akan tetap dingin karena aku masih saja gugup.
"Jangan-jangan mbak masuk angin karena semalam tidur menggunakan baju itu." Tebak Arick dan aku menggeleng.
"Bukan Mas, aku baik-baik saja."
"Kalau Mbak sakit, kasihan Zayn nanti. Ayo biar saya balur punggung Mbak menggunakan minyak kayu putih." Arick menarik tangan ku untuk berdiri, aku benar-benar ingin lari dari situasi ini.
Ingin sekali aku menarik tangan ku dan melepas genggamannya.
Tapi niat itu aku urungkan, melihat betapa tulusnya dia kepadaku dan anak ku. Membuatku ingin menghargainya, menghargainya sebagai suami ku yang sesungguhnya.
Bukan hanya sebagai suami pengganti.
Aku melepas cardigan dan Arick mengambil minyak kayu putih di atas nakas. Tanpa babibu dia langsung duduk dibelakang ku dan membalurkan minyak itu di pundak ku yang terbuka. Aku belum mengganti baju dan kaki ku, ku tutupi menggunakan cardigan.
Tangan hangatnya terus menyentuh ku hingga ku rasa tangan itu menelusup dan masuk ke dalam bajuku. Arick membalur pinggangku juga.
Ya allah, jantung ku berdetak tak beraturan saat ini, rasanya jantung ini akan copot.
Tidak apa-apa Ji, dia berhak atas tubuh mu. Jika kamu menolaknya maka kamu yang akan menanggung dosa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Rita
hmmnnnnnn
2025-02-16
2
Nuryati Yati
Arick modus😆
2025-01-02
1
LENY
BILANG DONG SAMA ARICK JGN PANGGIL MBAK KAN SDH MANGGIL ARICK MAS.😊 ARICK SEPERTI NYA LAKI2 YG BAIK SHOLEH JUGA🙏
2024-08-13
3