Hari ini adalah hari terakhir dari seluruh rangkaian acara inisiasi mahasiswa baru. Berbeda dengan dua hari sebelumnya, khusus hari ini acara dimulai lebih siang pada pukul 13.00.
Hanya ada dua agenda di hari ini. Yang pertama adalah pameran Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan yang kedua adalah malam seni dan inagurasi sebagai penutup dari semua kegiatan yang sudah berlangsung selama tiga hari terakhir.
Rasa lelah akibat mengikuti cukup banyak permainan kemarin membuat Amber jauh terlelap dan bangun cukup siang. Jam weker yang memang sengaja tak disetel alarmnya itu menunjukkan pukul 09.30 saat Amber membuka mata.
Perlahan ia beranjak dari tempat tidurnya. Merapikan sedikit selimutnya lalu pergi ke ruang makan. Rasa lapar di perutnya membuat ia enggan mandi terlebih dahulu. Apalagi, udara masih saja terasa dingin saat itu.
Di ruang makan sudah ada ayahnya yang sedang membaca koran pagi sambil menikmati secangkir kopi panas dan roti panggang buatan Bik Nem. Ya, setelah sekian tahun berlalu, Bik Nem dan Pak No memang masih setia melayani Amber dan ayahnya, bahkan setelah mereka pindah rumah.
"Baru bangun, Nak? Apa nggak kesiangan?" Ayah bertanya sambil melirik ke arah jam dinding.
"Nggak, Yah. Hari ini acaranya mulai siang tapi sampai malam, mungkin jam 12 malam atau lebih," jawab Amber sambil mengambil sepotong roti panggang dan menjejalkannya ke mulutnya.
"Kalau pulangnya selarut itu, biar kamu diantar-jemput Pak No saja ya?"
Walau memang tidak pernah mengekang Amber dalam hal apapun, Tarachandra memang tidak tenang jika membiarkan anak gadisnya pulang sendiri jika sudah terlalu malam. Amber pun sudah hafal dengan hal semacam ini. Karena itulah ia juga tak pernah membantah. Ia tak ingin ayahnya khawatir.
"Iya, Yah. Kalau pulang selarut itu pasti udah capek juga. Males nyetir sendiri," kata Amber.
"Ya sudah. Nanti ayah bilang sama Pak No," kata ayahnya.
Amber cuma mengangguk. Ia masih sibuk dengan potongan kedua roti panggangnya.
"Kamu sudah dapat teman baru, Nak?" tanya ayahnya yang mulai penasaran dengan kehidupan baru Amber sebagai seorang mahasiswa.
"Udah, Yah. Ada satu yang deket, namanya Charemon. Panggilannya Momon. Dia penggemarnya Ayah tuh," Amber cukup antusias bercerita tentang temannya itu. Mau bagaimana lagi, dengan sifat periangnya, Charemon memang berhasil membuat Amber sedikit lebih terbuka pada orang-orang disekitarnya.
"O ya? Ajaklah dia main ke sini ketemu Ayah."
"Dia masih belum tahu kalau aku anaknya Ayah. Bisa-bisa dia minta ke sini tiap hari kalau tahu, Yah," kata Amber sambil cengengesan.
"Kalau temen cowok? Ada yang deket?" tanya ayahnya penasaran.
"Ih, Ayah apaan sih?" Amber menjawab seadanya, berusaha menghindari topik itu.
"Lho memangnya kenapa? Anak Ayah kan sudah besar."
Tarachandra memang sudah beberapa kali mencoba memancing Amber untuk berbicara soal topik yang satu ini. Hanya saja, ia tahu betul bahwa Amber seolah selalu menghindarinya.
Ia tidak memaksa Amber untuk segera memiliki kekasih. Hanya saja, Tarachandra tidak pernah menaui Amber pernah bercerita soal hal itu. Bahkan hanya sekedar soal jatuh cinta saja tidak pernah.
Tarachandra hanya khawatir jika perginya sang ibu memberi dampak psikologis kepada Amber sehingga ia merasa enggan untuk menggubris soal cinta, tak seperti teman-teman sebayanya yang bahkan sejak SMP sudah mulai cinta-cintaan.
Satu hal yang mungkin Tarachandra tidak tahu, putrinya memang mengalami sesuatu yang traumatik semenjak kepergian ibunya. Perasaan ditinggalkan itu membuat dirinya hancur. Ia enggan mencintai karena tidak mau mengalami kehilangan sama.
"Amber belum mikir ke sana, Yah. Amber cuma pengen kuliah yang bener biar cepet lulus," jawabnya tanpa mematahkan hati ayahnya.
"Ya sudah. Sana cepat diselesaikan sarapannya dan siap-siap biar nanti nggak kena macet di jalan." Tarachandra tahu bahwa ia harus menyudahi obrolannya itu. Ia tidak pernah mau memaksa putrinya dalam hal apapun.
"O iya, Ayah. Nanti malem aku sama Pak No anterin Momon pulang dulu nggak papa? Jalannya searah kok. Dia biasa pulang bareng aku," Amber meminta ijin kepada ayahnya.
"Iya, nggak papa, Nak. Teman dekatmu itu berarti keluargamu juga," katanya sambil tersenyum.
Amber beranjak dari kursinya lalu melayangkan kecupan kecil di pipi ayahnya, "Terima kasih, Ayah."
Kecupan itu membuat Tarachandra tenang. Yang ia lihat, saat ini putri semata wayangnya sudah jauh lebih baik. Tak ada hal lain yang lebih penting dari itu.
★★★
Persiapan pameran sudah dilaksanakan sejak kemarin oleh masing-masing UKM. Kelas-kelas yang biasanya dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar telah disulap menjadi ruang pameran.
Setiap UKM diberi ijin oleh pihak kampus untuk menata dan menghias satu kelas sesuai dengan konsepnya masing-masing. Sebagian dari mereka bahkan ada yang sampai bermalam karena gagal menyelesaikan dekorasi tepat waktu.
Yang membuat pameran menjadi menarik adalah pertunjukkan yang sudah dipersiapkan oleh beberapa UKM untuk dilihat oleh para maba. Ada UKM teater dengan seni perannya, UKM paduan suara dengan keindahan nyanyiannya, UKM karate dengan atraksi beladirinya yang memukau, dan masih banyak lagi.
Jika beruntung, usaha tersebut bisa menarik minat mahasiswa baru untuk bergabung nantinya. Tak heran jika di acara pameran semacam ini juga dibagikan formulir pendaftaran di masing-masing stan untuk siapa saja yang ingin bergabung.
★★★
Masih setengah jam lagi sebelum pameran di inisiasi hari ketiga akan dimulai. Amber tiba lebih awal kali ini. Bukan semata-mata karena ia diantar oleh Pak No, tetapi karena kebetulan tadi jalanan cukup lengang.
Tak ada satu pun teman kelompoknya yang sudah nampak batang hidungnya. Maka, Amber memutuskan untuk menunggu di tempat mereka semua sudah janjian kemarin, di bangku beratap dekat lapangan bola kampus.
Walau tadi sudah cukup sarapan, nyatanya ini sudah siang hari. Perut amber mulai protes minta diisi. Untungnya, Amber tak pernah lupa memasukkan beberapa energy bar ke dalam tasnya. Itu sangat berguna untuk saat-saat darurat seperti sekarang ini.
Ia ambil satu dari tasnya. Belum juga sempat ia membukanya, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingnya lalu mengambil energy bar kedelai dan stroberi itu.
"Udah nggak usah sampe melongo gitu. Gue tau gue ganteng." Orang itu adalah Gian.
"Balikin," kata Amber dingin.
"Widih, ketus banget sih? Kan gue cuma ngambil bayaran. Yang waktu itu terlalu sedikit," katanya sambil membuka energy bar itu lalu mulai memasukkannya ke mulutnya.
Amber kesal bukan kepayang. "Kenapa sih ini orang nongol lagi?!" batinnya.
"Lo ngatain gue dalam hati ya?" Gian bertanya setelah sadar kalau Amber melotot padanya sedari tadi dan seolah bisa mendengar batin Amber.
"Nggak tuh. Cuma heran aja," Amber masih bertahan dengan nada dinginnya.
"Apaan?" tanya Gian tak kalah sengitnya.
"Kan kamu sendiri yang bilang nggak mau deket-deket aku. Takut sial katanya," Amber berharap ini bisa mengusir lelaki muda itu pergi.
"O … iya, gue lupa. Hahaha," Gian berdiri dari tempat ia duduk. Ia mengambil satu tangan Amber dan menaruh bungkus energy bar yang sudah melayang isinya di sana.
"Makasih ya, Amberley Senja," katanya sambil menyunggingkan senyum yang malah terkesan menyeramkan bagi Amber.
Hal itu membuat Amber kaget. "Dari mana dia tahu namaku?" ia membatin lalu mencoba berpikir dengan keras.
Tak ada yang salah dengan memori yang ia punya. Seingatnya, tak pernah satu kali pun ia menyebutkan namanya kepada lelaki itu.
Saat ia masih berkutat dengan pikirannya, Charemon tampak tergopoh-gopoh berlari mendekatinya dari kejauhan.
"Haduh! Capek!" keluhnya.
Amber yang masih memproses semuanya hanya bisa berkata, "lagian lari-larian. Duduk sini."
"Gue lari ada maksudnya juga kali, Amber," sahutnya dengan napas yang belum teratur.
"Apaan?" tanya Amber singkat.
"Tadi gue liat lo duduk berdua di sini sama Gian! Ngapain?!" Dan … dimulailah badai Momon, suatu kehebohan yang tercipta saat momon mengetahui sesuatu yang luar biasa. Itu istilah yang diciptakan sendiri oleh Amber.
"Tauk, dia yang yang nyamperin aku," Amber menjawab dengan santainya.
"He?! Kenapa bisa begitu? Gian nyamperin kamu terus duduk bareng di sini?!" Charemon seolah tidak bisa menerima hal itu sebagai sesuatu yang wajar di dalam otaknya.
Sudah kepalang tanggung. Nampaknya kali ini Amber harus menceritakan kejadian tempo hari saat ia harus berbohong bersama Gian supaya ia tidak mendapat hukuman.
"Kok lo nggak cerita sama gue sih?! Pantesan tadi Gian nyamperin lo," kata Charemon sambil menepuk keras pundak Amber.
"Lebih keras bisa nggak, Mon suaranya? Biar semua orang denger," Amber bersungut-sungut karena badai Momon yang tampak belum akan mereda.
"Hihihi," Charemon hanya meringis mendengar sindiran sahabatnya itu.
"Tapi ada yang aneh lho, Amber," wajah Charemon berubah serius kali ini.
"Aneh gimana?" Amber yang masih merasa lapar setelah energy barnya dirampas oleh Gian mengambil satu lagi dari dalam tasnya lalu mulai memakannya.
"Kecuali soal lahan parkir yang emang udah ga bisa diganggu-gugat lagi, setahu gue Gian itu bukan tipe orang yang suka turun tangan langsung untuk menumpahkan kekesalannya. Dia selalu diem aja. Bahkan dua temen deketnya, Bimo dan Egidia, juga begitu. Kadang, malah orang lain yang membela dia, itupun bukan karena disuruh sama Gian. Mereka kaya sukarela ngebelain gitu," Charemon mencoba menjelaskan.
"Tapi … ini kok ada yang aneh ya? Kenapa dia malah nyamperin lo tadi? Jangan-jangan …" lanjut Charemon.
"Jangan-jangan apa, Mon?" Amber menghentikan makannya.
"Jangan-jangan Gian suka sama lo?!" Charemon memegang pipi dengan kedua tangannya sambil memasang wajah syok.
"Jangan ngaco deh," Amber tak menanggapi perkataan sahabatnya dengan serius.
"Ah elo mah nggak pernah mau dengerin gue—"
"Sssttt…udah. Anak-anak udah pada dateng tuh," Amber mencoba mengalihkan kehebohan Charemon.
Dalam hati, Amber hanya mengganggap sikap Gian sebagai wujud kekesalannya karena Amber tidak 'membayar' hutang budinya dengan benar dan hanya memberinya satu energy bar.
"Ntar juga bosen sendiri," batinnya.
Sudah menjadi kebiasaan Amber untuk tidak terlalu menggubris urusan lelaki. Semasa ia sekolah, entah sudah berapa anak laki-laki yang terpesona pada paras manisnya dan menyatakan perasaan mereka padanya. Tanpa basa-basi atau merasa tak enak, Amber langsung menolak. Ia juga merasa tak perlu mengatakan panjang lebar apa alasannya.
Biasanya, siapapun yang ditolak Amber dulu langsung mundur teratur karena sikap dingin Amber. Satu hal yang Amber tidak tahu, kali ini urusannya dengan Gian tidak akan selesai secepat itu hanya dengan sikap super cueknya itu. Yang ia tahu, ia hanya tak ingin berurusan dengan lelaki menyebalkan seperti Gian ataupun siapa saja yang seolah siap maju perang untuk membelanya.
Sayangnya, harapan Amber itu nampaknya tak bisa jadi nyata sekarang. Dari kejauhan, dua pasang mata sedang menatap lekat padanya, bahkan sejak sebelum Gian duduk di sebelahnya tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Nobita_Upil(ig: blackjack_dnb)
Hai, teman-temin pembaca sekalian. Apa kabar kalian hari ini? 😊
Aku hari ini rada sekip. Mata pegal sekali rasanya. Sampai-sampai lupa simpan update AMBERLEY, makanya tadi agak telat. Biasanya sih jam 19.00 sudah up 😅
Nampaknya tubuh nagih istirahat yang berkualitas. Kalian juga ya, jangan lupa istirahat yang cukup biar tetep sehat dan semangat 😆
Jangan lupa dukung aku selalu ya. Sampai jumpa di episode selanjutnya 😉
2020-05-23
2
Mechan
keren
2020-05-03
1
Green Nam
Fixed ... sukak
2020-04-24
0