Setelah pertemuan pertamanya dengan Ayu, Tarachandra tak serta-merta menghubungi Ayu duluan walaupun dia juga sudah menyimpan nomor teleponnya. Selain karena disibukkan dengan pameran tunggalnya yang masih berlangsung, ia juga yakin bahwa dalam waktu dekat wanita dengan paras cantik itu akan menghubunginya dulu.
Keyakinannya itu bukannya tak beralasan. Bukan pula karena ia terlalu percaya diri dan menganggap Ayu juga tertarik padanya. Dia hanya mencoba berpikir logis saja.
Biasanya, berita mengenai acara apapun itu akan terbit tak lama setelah liputan dilakukan. Maksimal beberapa hari setelahnya berita tersebut biasanya sudah terbit dan bisa dibaca di surat kabar. Dan, ia juga tak lupa bahwa Ayu berjanji akan menghubunginya jika berita sudah diterbitkan.
Benar saja. Sore ini Tarachandra tak sedang berada di galeri. Semua urusan pameran sudah ia serahkan kepada kurator. Setelah acara pembukaan, ia hanya sesekali datang ke galeri, sekedar menikmati pemandangan berbagai macam raut wajah yang sedang menikmati karyanya.
Karena lelah, Tarachandra memutuskan untuk membuat secangkir kopi panas. Dia tak pernah menambahkan gula ke minuman favoritnya tersebut. Menurutnya, rasa otentik dari tiap jenis kopi hanya bisa dinikmati saat kita tidak menambahkan apapun ke dalamnya.
Di rumah kecilnya yang juga berfungsi sebagai studio pribadinya, Tarachandra selalu memilih untuk menikmati kopinya di kursi teras belakang. Suara gemericik air dari kolam yang dipenuhi ikan koi warna-warni seringkali memberinya inspirasi.
Belum juga sempat ia menyeruput kopinya yang masih panas mengepul, terdengar suara telepon genggamnya berdering di atas meja makan. Ia lalu berjalan ke sana untuk mengangkat panggilan tersebut.
Senyumnya merekah saat menatap layar telepon itu. Di sana, ia melihat nama yang sudah ia tunggu-tunggu.
"Halo, siapa ini?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Padahal, nomor telepon Ayu sudah dia masukkan ke dalam daftar kontak tak lama setelah ia menerima kartu nama Ayu saat pembukaan pameran waktu itu.
"Ini Ayu, Pak, dari surat kabar Pertiwi yang mewawancarai Bapak tempo hari. Apa kabar?" Di seberang sana terdengar suara lembut yang sudah ia rindukan. Suara yang pemiliknya terus mengganggu pikiran dan mimpinya selama beberapa hari terakhir ini.
"Ooo … Nona Ayu. Ya saya ingat. Kabar saya baik. Bagaimana dengan anda?" tanyanya lagi.
Ia mencoba untuk berbasa-basi demi memperlama obrolan melalui telepon tersebut. Padahal, dia juga sudah tau bahwa jika Ayu menghubunginya duluan, maka hal yang akan dibicarakan tentu akan berhubungan dengan liputan kala itu.
"Baik, Pak Tarachandra. Terima kasih sudah menanyakan kabar saya. Saya hanya ingin memberi kabar bahwa hasil liputan tentang pameran tunggal bapak akan terbit besok dan kami akan mengirimkan secara khusus satu eksemplar edisi khusus untuk Bapak," jawabnya dengan lugas dan langsung pada intinya.
"Oo … ya, terima kasih sudah mengabarkan hal tersebut. Anda menepati janji anda rupanya," puji Tarachandra.
"Saya hanya mencoba menjalankan tugas dengan baik, Pak. Surat kabarnya akan saya kirim ke alamat yang tertera di kartu nama Bapak ya?" tanya Ayu mencoba memastikan bahwa alamat tersebut memang tempat tinggal Tarachandra.
"Ya, betul. Itu adalah alamat rumah dan studio saya," kata Tarachandra yang sebenarnya juga ingin berkata pada Ayu, "silahkan mampir kalau mau". Tentu saja ia tak mengatakannya.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Kalau begitu, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Terima kasih banyak atas waktunya, Pak," kata Ayu yang terdengar sudah bersiap mengakhiri pembicaraan.
Tarachandra yang sebenarnya masih ingin berbincang dengannya pun tak kehabisan akal. Sebuah rencana memang sudah ia siapkan jika tiba-tiba Ayu meneleponnya.
Ternyata kesempatan untuk melancarkan rencana tersebut tiba pada hari ini. Tentu saja, Tarachandra tidak akan melewatkannya begitu saja.
"Tunggu, Ayu. Apakah Ayu tahu pelukis Wijaya Kusuma?" buru-buru ia bertanya, sambil berharap Ayu mengenal nama tersebut dan tertarik pada topik pembicaraan itu.
"Tentu saja saya tahu, Pak. Beliau adalah salah satu pelukis yang saya sukai. Saya selalu datang ke setiap pameran yang ia selenggarakan di kota ini," jawab Ayu dengan nada yang terdengar sangat antusias.
Seperti mendapatkan angin segar, Tarachandra merasa bahwa rencananya kali ini akan berhasil.
"Kebetulan sekali kalau begitu. Jadi begini, saya mendapatkan dua undangan untuk menghadiri pameran beliau yang akan diselenggarakan hari Minggu besok. Apakah Ayu tertarik untuk menemani saya datang ke sana?"
Walaupun ia yakin bahwa ini akan berhasil, ternyata tetap saja ada perasaan deg-degan dalam hatinya. Bagaimana tidak, gadis yang ia ajak itu adalah gadis yang sudah menyita perhatiannya sejak pertama kali bertemu.
Tiba-tiba muncul kekhawatiran di benak Tarachandra. Bagaimana kalau Ayu sudah mempunyai kekasih, atau bahkan sudah menikah? Bagaimana jika Ayu menolak ajakannya? Jika memang begitu, maka pupuslah harapan yang bahkan belum sempat berkembang dengan benar.
Di luar dugaannya, Ayu menjawab dengan sangat cepat. "Mau, Pak!" Ayu setengah berteriak. Setelah ia sadar, ia jadi merasa malu sendiri karena sudah bersikap terlalu antusias.
"Maaf, Pak. Hehehe. Saya terlalu senang." Suara tawa kecil ini membuat Tarachandra merasa gemas. Rupanya wanita yang lugas dalam menjalankan perannya sebagai wartawan punya sisi imut juga dalam dirinya.
"Tolong kirimkan detail waktu dan tempat pamerannya melalui SMS ya, Pak. Saya akan datang tepat waktu," kata Ayu dengan semangat.
Tadinya Tarachandra ingin menawarkan untuk menjemput Ayu. Hanya saja, ia berpikir bahwa mungkin terlalu dini untuk hal seperti itu. Ia memilih untuk bersabar dan menunggu saat yang tepat kelak. Tentu, itupun jika dewi cinta berpihak pada mereka berdua.
"Baiklah, nanti akan saya kirimkan detailnya. Sampai jumpa besok Minggu," pungkasnya.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak," kata Ayu, lalu memutus panggilannya.
Setelah memastikan bahwa sambungan telepon sudah benar-benar terputus, Tarachandra melompat dan berteriak kegirangan. Tentu dia belum ingin Ayu tau betapa senang hatinya saat itu.
Selama ini dia selalu disibukkan dengan urusan studi dan kariernya. Tak pernah sekalipun ia membuka ruang untuk urusan percintaan.
Tapi kali ini lain. Rasa tertarik tiba-tiba menyeruak di hatinya tanpa rekayasa. Semua terjadi begitu saja seolah sudah diatur oleh Yang Kuasa.
Pekerjaannya sedang cukup senggang karena memang dia baru saja menyelesaikan proyek pameran tunggalnya. Selain itu, ia juga secara tiba-tiba bertemu dengan wanita yang secara ajaib langsung menarik perhatiannya sejak pandangan pertama.
Entah dia terlalu percaya diri atau bagaimana, tetapi yang pasti ia merasa yakin bahwa semuanya memang sudah menjadi bagian dari rencana Tuhan. Dari situ pula ia merasa yakin bahwa rencananya tidak akan meleset. Dia pasti bisa menaklukkan hati Ayu.
Langkahnya terasa lebih ringan saat pergi menuju ke kursi di teras pinggir kolam. Ia pun duduk dengan nyaman, menyeruput kopinya yang sudah berubah hangat. Entah kenapa, kopi itu terasa manis walau tanpa gula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
ciru
kopi Brasa manis efek wajah Ayu yg terbayang2😀
2022-09-28
0
⚜️ Devi Dedev 💠
modus juga ini calon bapaknya amber 😂 😂
2020-06-05
0
. Baek_aja😊
. haiii nobita, aku baru sampe sini🤧🤧
. tunggu aku di episode 100 dehh😌😌
. maraton inimah, alamat begadang 😬😬😬
2020-06-03
0