Awal bulan Agustus, 6 tahun kemudian.
Amber memarkir mobilnya di area parkir gedung utama universitas tempat ia akan menimba ilmu sebentar lagi. Hari ini ia datang untuk mendatakan diri sebagai peserta inisiasi mahasiswa baru yang akan diadakan di pertengahan bulan.
Sama sekali tak ada rasa gugup di hatinya, walaupun dunia perkuliahan nampaknya akan jauh berbeda dengan dunia SMA yang baru saja selesai ia jalani.
"Huuuuff … aku nggak akan aneh-aneh. Aku cuma bakal kuliah yang lempeng biar cepet kelar," janjinya dalam hati sembari menarik dan membuang napas panjang.
Belum juga melangkahkan kakinya keluar, kaca mobil Amber sudah diketuk dengan keras. Dilihatnya ada dua orang gadis yang mungkin sebaya dengannya berdiri tepat di depan pintu.
Amber lalu turun dan bertanya, "Ada apa, ya?"
"Lo nggak boleh parkir di sini!" jawab salah seorang dari mereka dengan nada yang cukup ketus.
"Ini parkiran mahasiswa, kan?" tanya Amber dengan nada datar karena memang yang dia tahu, dia tidak salah masuk ke area parkir dosen yang memang sudah diberi tanda khusus. Semua orang juga pasti bisa membaca tanda tersebut.
Walau begitu, ia tetap mencoba memastikan. Apalagi, dia kan masih belum tahu banyak soal universitas tersebut. Siapa tahu dialah yang salah.
"Iya, ini emang parkiran mahasiswa, tapi spot yang ini biasanya dipake sama Gian!" jawab gadis yang satunya lagi dengan nada ketus yang serupa.
"Gian itu mahasiwa di sini?" Amber masih saja bertanya dengan ekspresi yang biasa saja. Nampaknya itu membuat kedua gadis itu menjadi semakin kesal.
Dalam hati Amber hanya merasa heran, "Siapa Gian? Orang penting banget ya sampai dibelain segitunya?"
"Iya, Gian itu mahasiswa di sini. Masa lo nggak tahu sih? Kalau lo parkir di spot ini nanti dia mau par—"
Belum selesai gadis itu berbicara, Amber langsung memotong perkataannya, "Aku juga mahasiswa di sini kok. Jadi nggak masalah dong aku parkir di mana aja selama itu masih parkiran khusus mahasiswa dan masih kosong? Sorry, aku udah kesiangan," pungkasnya. Ia lalu mengunci mobilnya dan bergegas masuk ke gedung yang ia tuju.
Sempat dilihatnya sekilas kedua gadis tadi tampak menggerutu karena kesal namun tak beranjak dari tempat mereka berdiri atau mengejar Amber.
"Apa iya mereka nungguin orang yang namanya Gian di parkiran? Panas-panas begini? Ah, bodo amat," gumam Amber di dalam hatinya.
Saat baru saja tiba tadi, ia berkata pada diri sendiri bahwa ia hanya akan belajar dengan benar dan tidak akan terlibat yang aneh-aneh. Kini, ia sadar bahwa mungkin baru saja ia membuat dirinya sendiri masuk dalam sebuah masalah.
Di dalam pikirannya, ia berkata pada diri sendiri, "Harusnya kamu jangan asal ngomong tadi, Amber. Gimana kalau Gian itu ternyata orang penting? Habislah kamu, Amber."
Walau begitu, ia tidak memilih untuk kembali ke area parkir untuk memindahkan mobilnya. Toh alasan yang ia katakan tadi memang benar. Spot parkir itu tadi masih kosong saat ia datang. Ia tak melakukan kesalahan, paling tidak menurut aturan kampus.
Ia lalu melanjutkan langkahnya menuju ke tempat pendataan. Sesampainya di sana amber langsung menghampiri panitia inisiasi.
Setelah proses pendataan selesai, tiba-tiba …
"Lo dari Fakultas Seni Rupa juga?" sapa seorang gadis berambut panjang yang tersenyum manis padanya Amber saat mereka sedang sama-sama menunggu giliran pembagian jaket dan juga jas almamater universitas. Nampaknya ia mendengar pembicaraan Amber dengan salah satu panitia pendataan tadi.
"Iya," Amber menjawab dengan singkatnya.
"Wah … asyik, kita satu fakultas. Sini-sini," gadis itu menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya, memberi tanda pada Amber untuk bergeser mendekat.
Walau masih sedikit canggung, Amber tetap saja pindah duduk di kursi itu.
"Kenalin, nama gue Charemon. Gue di Prodi Seni Murni kelas B. Lo?" tanya gadis itu lagi.
Berbeda dengan Amber yang pendiam, Charemon terkesan sangat periang bahkan sejak pertama kali bertemu. Bahkan, ia tidak terlihat enggan setelah tahu bahwa Amber memang cenderung pendiam.
"Aku Amber. Aku juga di Seni Murni, tapi kelas A, Charemon," kata Amber.
Charemon tampak mengambil jeda setelah mendengar Amber menjawab dengan 'aku' ketimbang dengan 'gue' seperti yang dipakai oleh kebanyakan mahasiswa seumuran mereka. Ia langsung paham kalau Amber memang tidak sama dan itu bukanlah masalah buatnya.
"Yaah … sayang banget kita nggak sekelas. Tapi nggak papa. Kita tetep temenan, ya?" ajaknya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Amber. "By the way, panggil gue 'Momon' aja," tambahnya lagi sembari tersenyum.
Yang Amber tahu, tak semua orang sebayanya bisa menerima bahasanya yang sedikit berbeda bahkan sering dianggap kurang gaul itu.
Charemon nampaknya berbeda. Walau ia tak langsung mengubah bahasanya supaya setara saat sedang mengobrol dengan Amber, Amber tau bahwa Charemon menerima dengan terbuka perbedaan itu.
Bagi Amber ini adalah hal positif. Pikirnya lagi, akan bagus jika saat menjalani masa kuliah ia juga mempunyai teman yang menyenangkan seperti Charemon, walau mungkin tidak akan banyak.
"Okay, aku panggil kamu Momon," kata amber. Kali ini dengan disertai dengan senyuman di wajahnya.
"Inisiasi besok lo ada di kelompok berapa, Amber?" Charemon kembali bertanya.
"Aku di kelompok 21. Kamu?"
"Seriusan?" Charemon tampak senang sekali mendengar jawaban Amber. "Gue juga di 21!" Kehebohannya membuat beberapa mata tertuju padanya. Ia menyadari hal itu dan tersenyum malu, lalu mengecilkan suaranya.
Obrolan mereka pun berlanjut dengan topik seputar program studi yang sebentar lagi akan mereka jalani. Saat sedang asyik mengobrol, terdengar kasak-kusuk yang tidak biasa. Sepintas Amber mendengar beberapa mahasiswa baru menyebut-nyebut nama Gian.
Ia lalu teringat pada nama yang disebut-sebut oleh kedua gadis yang ia temui di area parkir tadi. Matanya pun mencoba melihat ke sekeliling sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa baru di sana.
Benar saja, ia kembali melihat kedua gadis itu ada di koridor tak jauh dari tempat ia duduk bersama Charemon. Hanya saja, kali ini mereka tak hanya berdua. Mereka datang bersama dengan seorang lelaki muda dengan tinggi badan yang mungkin mencapai 175 cm, dengan raut wajah yang cukup kesal. Setelahnya, salah satu dari kedua gadis itu menunjuk ke arah Amber.
"Jadi beneran bakal ada yang marah kalau aku parkir di spot tadi. Matilah aku," kata Amber dalam hati ketika dia paham akan situasi semacam apa yang mungkin sebentar lagi akan terjadi.
Amber tak pernah suka terlibat dalam keributan. Namun kali ini dia mau menghindar juga tak mungkin. Ia masih harus mengantri untuk mengambil jaket dan jas almamater. Awal studinya tak boleh kacau hanya karena hal sepele seperti ini. Tekadnya bulat dalam hati.
Lelaki muda itu berjalan menuju ke arah Amber. Aura kekesalan sudah nampak jelas dari setiap langkah yang ia ambil. Ia bahkan tidak memedulikan puluhan pasang mata yang tertuju penuh kekaguman padanya.
Ia lalu berhenti dan berdiri tepat di depan Amber. Hal itu membuat Charemon kaget karena ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Berbeda dengan Amber, ia paham betul hal apa yang akan dibahas oleh lelaki yang bahkan tidak dikenalnya itu. Ia cuma bisa berharap namanya segera dipanggil di daftar antrian.
Tanpa mengatakan sesuatu, lelaki itu tampak sibuk mencari sesuatu di smartphonenya. Ia lalu menunjukkan gambar sebuah mobil, lebih tepatnya mobil milik Amber.
"Here we go … " batin Amber.
"Ini mobil lo kan? Gue kira lo cowok karena pakai mobil macam begini," kata lelaki itu yang memang dari awal terlihat sedikit aneh saat tahu bahwa Amber adalah seorang gadis.
Mobil yang dipakai Amber memang bukanlah tipe mobil yang biasa dipilih oleh wanita. Mobil itu adalah sebuah SUV keluaran terbaru dengan seri Rubi.
Sebenarnya Amber tidak begitu ingin menggunakan mobil yang terlalu mewah seperti itu sebagai kendaraan pribadinya. Hanya saja, itu adalah pemberian ayahnya, yang kebetulan juga tahu bahwa Amber sejak dulu menyukai desain sporty Rubi. Karena itulah, mau tak mau ia harus memakainya. Ia tak ingin ayahnya kecewa.
"Iya, itu mobilku," jawab Amber dengan nada datarnya yang khas.
"Terus kenapa lo parkir di situ?" tanya lelaki itu dengan ketus.
Belum juga sempat menjawab, nama Amber dan Charemon dipanggil untuk mengambil jas dan jaket yang sedari tadi mereka tunggu-tunggu.
Dengan cepat Amber mengajak Charemon untuk mengambil jaket dan jas itu. Setelahnya, ia kembali kepada lelaki yang masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang lebih kesal dari sebelumnya.
"Gue belum selesai ngomong lo langsung cab—"
Amber memotong pembicaraan lelaki itu karena ia tak ingin memperpanjang keributan di area pendataan. Sedari tadi semua orang sudah melihat ke arah mereka sambil berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan.
Amber berkata sambil mengangkat tas berisi baju almamater yang sudah ia terima, "Udah selesai. Aku mau pulang. Silahkan kalau mau dipakai spot parkirnya." Ia lalu meringis kecut.
Tanpa menunggu tanggapan dari lelaki itu Amber cepat-cepat menarik tangan Charemon dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
Lelaki itu masih terdiam di sana dengan rasa marah yang mungkin sudah sampai ke ubun-ubun. Ia bahkan sampai tidak bisa berkata apa-apa menyaksikan ulah Amber yang sekarang mulai hilang dari pandangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Nobita_Upil(ig: blackjack_dnb)
Hai, teman-temin pembacaku yang baik 😊
Mulai sekarang kita akan berpindah pada cerita Amber ya. Bagaimana tanggapan kalian mengenai episode 14 ini? Semoga kalian menyukainya 😄
Terus dukung aku untuk berkarya ya. Jangan lupa masukkan karya ini ke daftar novel favorit kalian, berikan rate 5 bintang, berikan like di setiap episode yang sudah kalian baca, dan berikan juga komentar yang positif dan membangun👍
Terima kasih juga untuk kalian yang sudah merelakan poin kalian untuk memberikan vote pada Amberley. Maafkan jika aku tak bisa membalasnya satu per satu 🙏
Sampai bertemu di episode 15. Kalian keren! 😍
2020-05-16
4
Green Nam
Omooo...abis sedih-sedih sekarang berganti warna
2020-04-24
1
Miss R⃟ ed qizz 💋
semangat
2020-04-03
0