Datang ke sebuah pameran lukisan dengan pengunjung yang tidak terlalu banyak ternyata cukup menyenangkan. Ayu merasa beruntung karena bisa menikmati setiap karya dari pelukis Wijaya Kusuma dengan lebih khusyuk.
Walau tak sempat berbincang, ia tadi sudah sempat bertatap muka dan berjabat tangan dengan beliau. Tentu, ini adalah pengalaman yang cukup luar biasa baginya.
Semua hal tersebut nampaknya tidak mungkin ia dapatkan jika bukan karena ajakan Tarachandra. Sejak tadi pun entah sudah berapa kali ia berterima kasih padanya.
"Sudah-sudah. Lama-lama saya bisa tenggelam dalam ucapan terima kasih yang anda berikan," kata Tarachandra saat menikmati jamuan makan siang di jeda antara pameran dan lelang.
Karena memang sedang luang, Tarachandra dan Ayu memutuskan untuk mengikuti seluruh rangkaian acara hingga selesai. Lagipula, pengalaman menyaksikan lelang lukisan secara langsung semacam ini nampaknya cukup baru untuk Ayu dan dia terlihat sangat antusias.
Acara hari itu memang dibagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah pembukaan, yang kedua adalah pameran, dan yang ketiga adalah lelang. Setiap bagian dilaksanakan di ruang yang berbeda di gedung tersebut. Nampak sekali jika pameran ini memang berbeda dengan yang lain. Semuabtelah dipersiapkan dengan baik.
Panitia penyelenggara juga sudah menyediakan jamuan makan siang yang bisa dinikmati saat waktu jeda seperti sekarang ini. Ada banyak jenis makanan lezat dan juga minuman yang tersedia di sana.
Ada pula banyak meja dan kursi yang telah disediakan supaya setiap tamu bisa menikmati makan siangnya dengan nyaman, seperti Ayu dan Tarachandra saat ini.
Mereka menghabiskan makanan mereka sambil mengobrol. Awalnya obrolan hanya berkisar pada karya-karya yang baru saja mereka lihat. Lama-kelamaan, percakapan mereka mulai melebar ke hal yang lain dan tanpa disadari, mereka berdua sudah tak lagi merasa canggung.
"Jadi Bapak tinggal sendirian sekarang?" tanya Ayu ingin tahu.
"Iya. Sebenarnya orang tua saya juga tinggal di kota ini. Hanya saja, sejak selesai kuliah saya lebih memilih untuk hidup mandiri, sendirian," jawabnya sambil sedikit memberi tekanan pada kata terakhir. Dia seolah ingin memberikan petunjuk bahwa memang saat ini ia masih sendiri, bujang, tak punya kekasih.
Sayangnya, tanpa ia ketahui sebenarnya Ayu belum berpikir sampai ke sana. Memang betul dia tadi sempat merasa tersanjung karena Tarachandra mengajaknya ke acara yang hanya dihadiri orang-orang penting tersebut, hanya saja, dia memang tak berani memikirkan hal yang lebih dari itu.
Di hatinya, dia mencoba berpikir logis dan realistis, bahwa dia adalah seseorang yang baru dikenal oleh Tarachandra dan itupun karena tugasnya meliput pameran tunggal waktu itu. Bisa saja kan Tarachandra memang orang yang baik hati kepada semua orang dan melihat bahwa Ayu memang tertarik pada dunia seni rupa, lalu menawarkan undangan untuk hari ini. Itu yang ia kira. Tak lebih dari itu.
Maka, walau sudah tak canggung lagi, Ayu pun berusaha menempatkan dirinya di posisi yang semestinya. Posisi di mana ia seolah mendapatkan kesempatan emas untuk lebih mengenal dunia seni rupa dan para pelakunya melalui kebaikan hati Tarachandra.
"Saya juga tinggal sendiri di kota ini, Pak." Ayu lalu terdiam sejenak. Pikirannya seolah melayang entah ke mana.
"Kalau boleh memilih, sebenarnya saya lebih suka tinggal dekat dengan orang tua saya, Pak. Hidup sendiri rasanya sepi," lanjutnya. Ia pun mulai mau menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya. Tampak bahwa ada sesuatu yang ia rindukan.
"Loh, memangnya Anda tidak punya kekasih?" Tarachandra mencoba memberikan pertanyaan pancingan supaya ia tahu apakah dia masih bisa bergerak maju memperjuangkan perasaan sukanya pada Ayu atau harus berhenti sampai di sini lalu mundur perlahan-lahan.
Dengan santai sambil menikmati makan siangnya yang sedikit lagi habis, Ayu pun menjawab pertanyaan tersebut.
"Tidak punya, Pak. Saya belum benar-benar memikirkan hal semacam itu."
Jawaban tersebut tentu merupakan angin segar untuk Tarachandra. Kini ia sudah tau pasti bahwa perasaannya boleh ia perjuangkan.
★★★
Setelah makan siang selesai, acara selanjutnya akan segera dilanjutkan. Para panitia yang bertugas mempersilahkan para tamu undangan untuk berpindah ke ruangan lain lagi.
Di sana, ada barisan kursi-kursi yang ditata menghadap ke depan untuk para tamu. Di masing-masing kursi telah diletakkan sebuah papan nomor yang nantinya akan digunakan saat memberikan penawaran harga untuk setiap lukisan yang dilelang.
Pada bagian depan ruangan, terdapat semacam panggung yang tidak terlalu tinggi, lengkap dengan podium dan juga mikrofon. Di sanalah nantinya juru lelang akan berdiri dan memandu proses pelelangan lukisan dari awal hingga akhir.
Tarachandra memilih untuk duduk di bagian belakang bersama Ayu. Tujuannya mengikuti proses lelang kali ini bukanlah untuk membeli karya Kusuma Wijaya. Ia lebih tertarik untuk berlama-lama dengan Ayu sambil memberikan pengalaman baru ke padanya.
Di wajah Ayu, jelas tergambar raut antusias. Karena inilah, Tarachandra memilih untuk mengurungkan niatnya mengajak Ayu pergi ke tempat lain tanpa menunggu acara selesai. Ia tak ingin membuat Ayu kecewa.
Ternyata keputusannya tepat. Bagi Ayu, pengalaman semacam ini adalah hal yang baru yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Ayu pun tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang di ruangan itu berlomba-lomba untuk mendapatkan lukisan-lukisan sang pelukis. Tentu, caranya adalah dengan memberikan penawaran-penawaran yang sangat fantastis nilainya.
Sesekali, Ayu menanyakan hal-hal yang belum ia pahami kepada Tarachandra. Suasana lelang yang cukup serius membuatnya harus berbisik di dekat telinga Tarachandra supaya ia bisa bertanya tanpa di dengar oleh orang lain di sana.
Tanpa ia ketahui, hal ini membuat jantung Tarachandra berdegup cukup kencang. Ia sadar bahwa ia benar-benar menyukai wanita ini, apalagi setelah ia tahu bahwa Ayu tertarik dengan seni, terutama seni lukis.
★★★
Seluruh rangkaian acara pameran hari itu akhirnya selesai. Waktu sudah hampir jam setengah empat sore. Nampaknya Ayu akan tiba di kos tempat ia tinggal menjelang malam mengingat jarak yang harus ditempuh dengan menggunakan taksi. Selain itu, hari ini adalah akhir pekan, jalan-jalan tentunya akan penuh sesak dengan kendaraan.
Walaupun ia merasa penat membayangkan perjalanan pulangnya yang akan makan waktu cukup lama, Ayu merasa sangat senang atas pengalaman baru yang ia terima hari ini.
"Terima kasih, Pak. Kalau bukan karena Bapak nampaknya saya tidak akan pernah mungkin bisa ikut serta di pameran dan lelang yang bergengsi semacam ini," katanya sambil menjabat tangan Tarachandra.
"Sama-sama, Ayu. Anda tak perlu merasa sungkan begitu." Sebenarnya, dalam hati Tarachandralah yang merasa sangat berterima kasih pada Ayu karena sudah menemaninya hari ini.
"Tadi saya lihat Anda datang naik taksi. Sekarang mau pulang naik taksi juga?" tanya Tarachandra.
"Iya, Pak. Kalau saya menunggu sebentar saja di depan sana pasti akan ada yang lewat," jawab Ayu sambil tersenyum.
"Saya bawa mobil. Bagaimana kalau saya antar saja?" Dalam hatinya ia sangat berharap Ayu mau menerima tawarannya.
Melihat Ayu sepertinya ragu untuk menerima tawarannya, ia lalu buru-buru berkata lagi, "kalau naik taksi, bisa jadi nanti Anda kemalaman sampai di kos. Bukankah bahaya?"
Mendengar itu, Ayu merasa sedikit kaget. Batinnya berkata, "bagaimana bisa pria ini tahu apa yang ku khawatirkan?"
Entah kenapa ia jadi merasa tertarik pada tawaran yang diberikan oleh Tarachandra tapi ia masih merasa sedikit ragu. Ia merasa tak enak karena sebenarnya hari ini pun dia sudah menerima lebih dari cukup.
"Apa tidak akan merepotkan, Pak?" tanyanya memastikan.
"Tidak sama sekali. Dari pada saya pulang sendiri malah sepi. Ayo," jawab Tarachandra dengan mantap.
Tanpa menunggu jawaban pasti dari Ayu, ia sudah mempersilahkannya untuk berjalan menuju ke parkiran mobil. Ayu pun tak mampu menolak lagi.
"Baiklah. Terima kasih banyak, Pak" Senyum kembali mengiringi jawaban Ayu. Hal sesimpel inilah yang sudah membuat Tarachandra jatuh hati sejak pertama melihatnya.
Terkesan aneh mungkin, tapi cinta memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan bahkan dengan alasan yang kadang tak masuk di akal.
Sesampainya di parkiran, Tarachandra membukakan pintu layaknya seorang pria sejati yang tahu caranya memperlakukan wanita dengan baik. Ia juga menunggu sampai Ayu duduk lalu menutupkan pintunya. Kali ini, Ayu menyadari hal ini. Entah kenapa dia pun tersipu.
Mobil sedan berwarna hitam mengkilap itu pun lalu melaju membelah jalanan kota. Ternyata benar, jalanan telah ramai dengan kendaraan yang pemiliknya ingin menikmati akhir pekan setelah penat seminggu bekerja.
Karena jalanan sudah pasti akan macet, Tarachandra mengajak Ayu untuk mampir ke kedai kopi dan membeli minuman hangat serta cemilan. Mereka menikmatinya di dalam mobil sambil menempuh perjalanan.
Karena memang sudah tak lagi canggung dengan satu sama lain, perjalanan itu pun tak menjadi sepi. Mereka mengobrol panjang lebar tentang berbagai macam topik dan sesekali tertawa bersama jika ada hal yang lucu.
Tak terasa hari sudah menjelang senja saat mereka tiba di depan sebuah rumah indekos yang Ayu tinggali.
"Di sini cuma ada 4 kamar dan semuanya berpenghuni, Pak." kata Ayu sambil mengambil barang-barang pribadinya dan bersiap untuk turun.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Pak. Hari ini sungguh menyenangkan," katanya sambil menebar senyum manis sekali. Itu wujud rasa syukurnya atas pengalaman yang luar biasa yang ia alami hari ini.
"Sama-sama, Ayu. Tapi tak bisakah Anda berterima kasih dengan cara yang lain?" tanya Tarachandra dengan raut muka serius.
Ayu pun bingung dan salah tingkah sendiri mendengar hal ini. Ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Maksud Bapak?" tanyanya memastikan. Ia tak mau begitu saja menuruti pikirannya yang sudah membayangkan hal yang tidak-tidak.
Tarachandra membaca raut muka aneh di wajah Ayu lalu ia terbahak.
"Kenapa jadi serius sekali begitu?" Tanyanya sambil masih terkekeh.
"Aku hanya ingin kamu berhenti memanggilku dengan panggilan 'pak'. Toh aku belum setua itu," lanjutnya sambil masih tertawa.
Ayu menyadari sesuatu yang berbeda dalam ucapan Tarachandra barusan. Ia sadar bahwa Tarachandra tak lagi menggunakan kata 'saya' dan 'Anda'.
Entah mengapa senyumnya merekah lebih dari sebelumnya hari itu. Ia seolah tahu bahwa ke depannya mereka masih akan terus bertemu.
Berusaha mengimbangi ajakan Tarachandra, walau masih sedikit kaku, Ayu pun menjawab, namun dengan pertanyaan yang lain. "Lalu aku harus panggil apa?"
"Panggil aku 'mas' saja."
Hati kedua insan itu lalu berdesir dengan perasaan senang yang entah tiba-tiba datang dari mana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Khaireen miracle
cie..cie....mas kaaaan
2020-07-03
0
Zii Azizah
waah waahhh...
pepet terus mas, gas pool sampai dapet...
hai kak author saya mampir ya....
2020-07-01
1
reni
modus nya ciamik
2020-06-07
0