Sosok ibu adalah satu-satunya yang seolah tak nampak dari kehidupan Amber yang tergambar serba sempurna dan berkecukupan. Seseorang yang harusnya menjadi bagian terpenting dari semua keluarga. Seseorang yang bisa menjadi poros utama dari setiap anggota keluarga. Ke mana dia?
Yang orang lain ketahui, ibunya memang tidak terlalu sering terlihat. Bahkan, di beberapa tahun terakhir keberadaannya seolah semakin tenggelam entah kemana. Dari situ, muncullah spekulasi bahwa ayah dan ibunya mungkin telah diam-diam bercerai. Dan, melihat fakta bahwa Amber masih bersama ayahnya sekarang, membuat mereka bahkan juga mengira-ira bahwa hak asuh atasnya jatuh ke tangan sang ayah.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah memang semua perkiraan tersebut benar adanya? Walau tak sepenuhnya salah, kenyataan yang dihadapi Amber sebenarnya jauh lebih buruk dari itu.
***
Amber lahir dari rahim seorang wanita bernama Ayu. Ya, hanya itu namanya, tanpa ada embel-embel apapun di belakangnya. Mungkin saja, saat ia lahir, orang tuanya sangat terpesona pada parasnya yang cantik sehingga tak lagi merasa perlu untuk menautkan nama lain untuk membuatnya terkesan panjang.
Dan memang benar, ibu Amber adalah orang yang berparas cantik memesona. Sifatnya yang kalem membuatnya terlihat anggun. Bisa jadi, hal ini jugalah yang membuat Tarachandra, yang tak lain adalah ayah Amber, jatuh hati padanya. Ayu bertemu dengannya untuk yang pertama kali di sebuah pameran tunggal yang diadakan di sebuah galeri ternama di pusat kota. Kala itu, nama Tarachandra sudah mulai dikenal publik berkat karyanya yang selalu membawa pesan menggelitik dan berani, baik itu soal masyarakat atau pemerintahan di negeri ini. Hal-hal dengan topik tersebut lebih mudah untuk mendapat perhatian orang dari berbagai kalangan saat itu. Karenanya, nama Tarachandra cukup cepat melejit. Walau begitu, tentu saja, hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari kualitas karya-karya lukisannya yang berkarakter dan sudah mempunyai ciri khas tersendiri.
Pameran kala itu adalah yang cukup besar yang bisa Tarachandra wujudkan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berkecimpung di dunia seni lukis. Dan nyatanya, dewi keberuntungan sedang berpihak padanya. Pameran tersebut menjadi titik awal ketenaran dan kesuksesannya. Bahkan, pameran itu jugalah yang mempertemukannya dengan wanita yang kelak akan menjadi istrinya.
Ya, Ayu memang datang ke sana untuk melaksanakan tugasnya sebagai wartawan yang meliput acara pembukaan pameran tunggal yang bertajuk MATA RAKYAT BICARA tersebut. Tentu saja, di sana ia juga harus mewawancarai sang pelukis guna membuat liputan yang akan dia tulis menjadi lengkap.
"Permisi, Bapak Tarachandra. Saya dari surat kabar Pertiwi. Mohon waktunya sebentar untuk wawancara." Suaranya yang lembut namun lugas menarik perhatian sang pelukis yang kala itu memang masih bujang.
Tentu saja, ia lalu meluangkan waktunya untuk memenuhi permintaan wawancara tersebut. "Ya, silahkan. Dengan siapa ini?" tanyanya ingin tahu.
"Saya Ayu, Pak," jawabnya sambil manjabat tangan Tarachandra, lalu mengeluarkan sebuah alat perekam suara. "Langsung pada pertanyaannya ya, Pak. Seperti yang sudah tertera dalam katalog yang kebetulan sudah saya baca terlebih dahulu tadi, Anda memilih tajuk MATA RAKYAT BICARA untuk pameran tunggal yang perdana ini. Sebenarnya apa alasan di balik pilihan tersebut, Pak?" Ayu bertanya dengan mantap, seakan dia sudah mempersiapkan bahan untuk wawancara tersebut dengan matang.
"Ya, pada jaman sekarang ini, semakin banyak rakyat yang pintar dalam mengamati dan menyadari hal-hal yang sedang terjadi di negara kita tercinta ini, terutama jika itu berkaitan dengan pemerintah-" Ia pun memberi sedikit jeda pada jawabannya, seolah sedang memikirkan sesuatu. "Hanya saja, tidak semua orang mempunyai keberanian yang cukup untuk menyampaikan hal-hal tersebut walaupun mungkin sebenarnya apa yang mereka pikirkan memang benar adanya. Oleh karena itu, karya-karya yang ada dalam pameran tunggal ini, saya harapkan bisa menjadi perwakilan dari apa yang banyak rakyat lihat, pikirkan, dan harapkan dari pemerintah," lanjutnya dengan serius.
Ketika bicara soal karya seninya, apalagi yang isinya mengandung kritik sosial terhadap wakil rakyat, Tarachandra memang tidak pernah main-main. Dirinya pun merasa sebagai rakyat, sebagai bagian dari negara ini, yang berhak dan berkewajiban menyuarakan kebenaran jika memang ditemui adanya ketidakadilan, penyimpangan, atau bahkan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah yang harusnya menjadi wakil yang mengedepankan rakyatnya.
"Lalu, berapa lama total waktu pengerjaan keseluruh 31 lukisan yang Anda ikut sertakan dalam pameran ini?" Ayu bertanya tanpa terlebih dahulu basa-basi menanyakan berapa jumlah keseluruhan lukisan yang ada dalam pameran itu. Dia sudah terlebih dahulu membaca dengan hati-hati semua informasi yang ada dalam katalog seni yang sudah ia terima sebelum acara pembukaan resmi dilaksanakan. Dengan begitu, ia bisa lebih fokus pada hal-hal yang memang belum tertera di sana.
Menurutnya, menjadi seorang wartawan haruslah pintar dan proaktif. Selain itu, dia tahu betul bahwa terkadang seorang pencari berita tak diberikan waktu banyak untuk mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, ia harus bisa memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin, bukan malah menanyakan pertanyaan yang tidak perlu atau yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya.
Dengan diawali senyum yang seolah paham bahwa Ayu memang bukanlah wartawan amatiran atau paling tidak dia adalah wartawan dengan dedikasi tinggi, Tarachandra pun menjawab, "jika hanya dilihat dari lini masanya, saya memulai pengerjaan lukisan pertama untuk pameran ini sekitar bulan Juni tahun lalu. Lukisan terakhir selesai pada bulan Januari awal. Jadi kurang lebih saya menyelesaikan semua lukisan ini hanya dalam waktu 6 bulan saja."
Luar biasa memang. 31 lukisan dengan ukuran yang cukup besar selesai dikerjakan dalam waktu yang bisa dibilang cukup singkat. Itu bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh semua orang. Yang membuatnya lebih istimewa, kualitas dari setiap karyanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Kemampuan semacam itu adalah hadiah istimewa yang ia terima dari Sang Pencipta.
"Wah, Anda luar biasa sekali, Pak," Ayu secara refleks memberikan pujian pada sang pelukis karena rasa kagumnya. "Kalau mengenai karya di pameran kali ini, menurut Anda pribadi, manakah yang paling berkesan, Pak Tarachandra?" Ayu kembali mengajukan satu pertanyaan.
"Mari, saya tunjukkan," kata Tarachandra sambil mengajak Ayu menuju ke bagian depan tengah ruang galeri tersebut. Di sana, terpampang sebuah lukisan yang memang ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan lukisan lain di pameran tunggal itu. Lokasi tempat di mana lukisan itu dipajang pun sangatlah strategis, di mana setiap orang yang baru saja memasuki ruang pameran akan langsung bisa melihatnya.
"Ini dia. Kira-kira, apakah anda bisa menebak hal yang ingin saya tunjukkan dari lukisan ini?" tanyanya kepada Ayu.
Ayu berpikir sejenak lalu menjawab. "Apakah ini mengenai kerusuhan besar waktu itu, Pak?" Ayu teringat pada peristiwa kerusuhan besar yang terjadi di ibukota dan beberapa kota lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan. Entah mengapa, ia seolah bisa melihat peristiwa itu tertuang dalam karya surealis ini.
"Tepat sekali. Hanya saja, saya tidak memilih sudut pandang si pelaku kerusuhan atau juga sudut pandang pihak-pihak yang dituntut dalam peristiwa tersebut. Seniman lain juga tentunya sudah banyak menyampaikan itu di dalam karya-karya mereka," terangnya. Lalu ia terdiam sejenak. Ia seolah menggali kembali memori akan kerusuhan itu yang tersisa di pikirannya. "Saya paham betul betapa ada banyak pihak yang sangat menderita akibat peristiwa tersebut dan saya juga menuangkannya di beberapa karya saya di sini. Namun, ada hal yang cukup mengganggu batin saya kala itu dan itulah yang menjadi inspirasi utama dari lukisan yang satu ini," lugasnya.
"Kalau boleh tahu, hal apakah itu, Pak?" Ayu spontan bertanya karena merasa penasaran. Wawancara kali ini malah semakin terasa seperti sebuah obrolan.
"Menurut Anda?" Tanya sang pelukis dengan singkat sambil melihat wajah Ayu yang mungkin sebenarnya sudah menyita perhatiannya sejak awal.
Ayu kembali menatap lukisan itu dalam-dalam dan mencoba menangkap suasana yang ada di dalamnya. Tak mudah memang karena lukisan tersebut beraliran surealis. Karya semacam ini berbeda dengan karya realis yang peristiwa di dalamnya bisa lebih mudah terbaca.
Walaupun sedang dalam sesi wawancara, Ayu tidak terlihat terburu-buru dalam membaca lukisan tersebut. Rupanya, hal ini tertangkap oleh mata Tarachandra. Ia yakin bahwa Ayu tidak akan secara sembarangan menjawab pertanyaannya.
"Aa ..." kata Ayu tiba-tiba. "Saya memang belum pandai membaca keseluruhan dari lukisan Anda ini. Hanya saja, pada bagian ini," kata Ayu sambil menunjuk pada salah satu bagian di lukisan itu, "saya melihat perasaan yang terteror. Seolah merasakan suasana yang mencekam kala itu. Mungkin, Anda menuangkan perasaan dari orang-orang yang walaupun tidak terlibat tapi ikut menyaksikan kerusuhan kala itu," pungkasnya.
"Mata Anda cukup jeli, Nona Ayu," puji Tarachandra.
Ayu tersenyum puas. Dia memang cukup sering mengunjungi galeri dan pameran lukisan, sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Tak terasa lama kelamaan hal itu menjadi hobi yang bisa mengusir penatnya disela-sela hari kerjanya. Mungkin karena hal itulah ia ditugaskan untuk meliput pameran tunggal Tarachandra kali ini.
"Baiklah, saya rasa semua info yang saya butuhkan sudah saya terima. Selebihnya, saya meminta ijin untuk menggunakan info lain dari katalog ini jika diperbolehkan," kata Ayu seraya meminta ijin.
"Ya, ya. Silahkan saja. Katalog seni ini memang dibuat guna mempermudahkan setiap orang, termasuk para penulis berita, yang datang ke sini untuk mendapatkan info lengkap, terutama tentang setiap karya yang saya sertakan dalam pameran ini," jawab Tarachandra.
"Terimakasih, Pak Tarachandra. Sungguh menyenangkan bisa berbincang dengan Anda. Kalau begitu saya pamit dan sekalian minta ijin untuk mengambil beberapa foto," kata Ayu sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat Tarachandra.
"Sama-sama. Silahkan. Tapi sebelumnya, apakah Anda memiliki kartu nama atau nomor yang bisa dihubungi? Siapa tahu suatu saat perlu," tanya Tarachandra.
Ayu yang kala itu sedang bertugas sebagai wartawan tentu sama sekali tidak menaruh curiga. Dia memang selalu membawa kartu namanya ke mana-mana untuk keperluan kerja. "Ini, Pak," kata Ayu sambil mengulurkan kartu yang lengkap berisikan namanya dan juga nomor telepon yang bisa dihubungi. Dia melihat, Tarachandra menerima kartu itu sambil seperti sedang mencari sesuatu di dalam kantong kemeja hitamnya.
"Nah, ini dia. Ini kartu nama saya. Simpanlah. Jangan lupa hubungi saya jika hasil liputannya sudah terbit, saya pasti akan membacanya." Rupanya, Tarachandra juga memberikan kartu nama kepada Ayu lalu menjabat tangannya.
Tanpa Ayu ketahui, Tarachandra sebenarnya bukanlah orang yang sering memberikan kontaknya secara sembarangan. Rupanya kali ini ia ingin memastikan bahwa Ayu tahu namanya, tahu nomor teleponnya, dan tahu ke mana harus mencarinya.
Satu hal yang mungkin Ayu memang tidak tahu saat itu. Nampaknya, itulah cinta pada pandangan pertama yang dialami oleh sang pelukis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Si Autor (IG: Anterta.)
Wow... bagus loh novelnya.
Rekomended pokoknya!
2020-08-12
2
reni
hmmm lanjut lagi kuy
2020-06-06
0
⚜️ Devi Dedev 💠
uwuuuuu tukaran no hp, cenat cenut hatinya, 😁😁
2020-06-05
0