Selamat membaca
****
Seharian ini suasana bengkel cukup ramai. Ada beberapa pelanggan yang datang, entah itu hanya sekedar mencucikan motor atau mobil mereka. Ada juga yang melakukan servis kendaraan. Semua pegawai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Tak terkecuali sang pemilik bengkel. Dia juga terlihat sibuk mengamati para pegawainya. Sesekali ia juga turun tangan ikut membantu.
Semenjak ada kakak sepupunya ikut bekerja dengannya, ia merasa banyak terbantu. Tak jarang kakaknya juga membantu pengecekan laporan dari beberapa cabang bengkel yang ia punya.
Memang belum lama Zahra bekerja. Kalaupun di hitung mungkin baru seminggu lebih. Tapi selama satu minggu itu Rio benar-benar merasa terbantu.
Lelaki muda pemilik bengkel itu memasuki ruang kerja Zahra. Ia melihat kakak sepupunya yang sedang fokus dengan buku-buku di depannya.
Pantas saja dia bisa jadi sekertaris direktur, batin lelaki itu tatkala memperhatikan sang kakak saat bekerja.
"Ra. Nanti kamu balik sendiri ya," ucap Rio duduk di hadapan Zahra.
"Oke," jawab Zahra tanpa melihat Rio. Ia masih sibuk dengan pembukuan yang ia kerjakan.
"Jangan di paksain ya. Di sini santai kok. Anggap saja punya kamu sendiri," ucap Rio yang merasa masih diabaikan kakaknya.
"Minta jemput Ega aja, daripada naik ojek," kata Rio lagi.
"Iya gampang. Santai aja. Mau keluar sama Kia?"
"Iya. Gapapa kan?"
"Iya gapapa dong. Dia kan pacar kamu. Kenapa harus tanya aku dulu," kata Zahra sedikit tertawa. Merasa lucu dengan ucapan Rio.
"Ya kan kamu sodara aku. Dan dia masih pacar aku. Sodara lebih penting daripada pacar."
"Heleeh. Jangan ngomong gitu. Nanti kalau Kia tau dia bisa salah paham. Dikiranya aku yang ngelarang kamu. Sesama perempuan aku tau apa yang dia rasain. Jaga perasaan dia juga ya." Zahra berucap panjang lebar.
"Iya-iya. Bawel amat sih sekarang." Rio tertawa mengejek sang kakak.
"Ya udah. aku balik dulu. Kuncinya titipin anak-anak yang lain aja," setelah berpamitan. lelaki dengan jeans sobek-sobek kebanggaannya itu meninggalkan Zahra sendirian di ruangan.
Tak lama setelah Rio keluar, Zahra segera membereskan mejanya dan merapikan buku-buku yang berserakan dan segera keluar ruangan itu.
"Dim, balik dulu ya," pamit Zahra pada salah satu temannya yang bekerja dengan Rio.
"Yoi Ra. Sendirian aja?" jawab lelaki itu yang bernama Dimas.
"Iya."
"Mau bareng? Aku juga mau balik nih?" tawar Dimas.
"Ngga deh, naik ojek aja," tolak Zahra.
"Oohh ojek pribadi yaa," goda Dimas.
"Apa an sih. Ya nggak lah."
"Nah itu, mobil Ega bukan?" tanya Dimas menunjuk mobil yang hendak menyebrang jalan memasuki area bengkel.
Zahra buru-buru mengambil ponselnya di dalam tas untuk mengeceknya. Ternyata Ega mengirimkan pesan yang berkata akan menjemputnya. Setelah membaca pesan itu ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Menunggu hingga mobil Ega berhenti di dekat mereka.
Ega turun dari mobil dengan senyuman menghampiri Zahra dan Dimas. Ia menyapa dan menyalami Dimas dengan gaya ala lelaki.
"Belum balik, Dim?" tanya Ega.
"Mau balik juga ini," jawabnya.
"Ya udah, kita duluan ya. Ayo, Ra," ajak Ega pada Zahra.
Keduanya berpamitan pada Dimas dan memasuki mobil sedan Ega.
"Kok WA ku nggak dibalas?" tanya Ega memperhatikan Zahra yang duduk di sampingnya.
"Baru aku lihat pas kamu datang tadi," jawab Zahra.
"Mau makan dulu? Atau langsung pulang?"
"Langsung pulang aja. Aku capek banget," Zahra sedikit mengeleluh.
"Padahal aku laper," kata Ega berharap Zahra mau di ajak makan.
Zahra menolehkan pandangannya pada Ega yang ternyata juga menghadapnya. Ega kembali memperhatikan jalanan di depannya setelah melihat ekspresi wajah Zahra yang seolah-olah bertanya 'emangnya tadi kamu gak makan siang?'
"Tadi kerjaan banyak banget, ngga sempet makan siang," ucap Ega masih fokus menyetir.
"Gimana? Makan dulu ya?" pinta Ega lagi.
"Ya udah, makan dulu gapapa," kata Zahra akhirnya.
"Makan di mana?" tanya Ega fokus mengemudikan mobilnya.
"Terserah aja."
"Nggak ada warung, restoran, ato kafe yang namanya terserah, Sayang."
"Ih. Kamu apaan sih panggil sayang-sayang gitu." Zahra memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Mendadak ia merasa wajahnya memanas dan jantungnya berdebar kencang.
"Makan di resto depan aja ya?" tawar Ega.
Ia pura-pura tidak mengetahui kegugupan Zahra.Akhirnya mereka mampir di salah satu restoran yang mereka lewati.
"Ega," panggil Zahra setelah keduanya menghabiskan makannya.
"Hem?" Ega langsung memfokuskan netranya pada gadis yang duduk di depannya.
"Aku minta maaf, beberapa waktu lalu, sikap aku ke kamu enggak baik," ucap Zahra, menundukkan pandangannya.
"Kenapa tiba-tiba minta maaf? Bahkan kamu ga melakukan kesalahan apapun. Harusnya aku yang meminta maaf padamu."
"Aku sadar, sikapku beberapa waktu lalu, pasti sangat menyakitimu. Di saat kamu datang dan membutuhkan aku sebagai sahabat yang akan mendengarkan keluh kesah mu, tapi perlakuanku makin membuat kamu sedih."
"Ra. Jangan nunduk. Coba kamu lihat aku," pinta Ega.
Perlahan Zahra mendongakkan kepalanya, Memandang Ega dengan mata berkaca-kaca.
"Zahra. Jangan nangis. Kamu lihat? Aku baik-baik aja," tanpa sadar Ega mengusap pipi Zahra yang basah oleh air mata tanpa mendapat penolakan.
"Aku memang sedih, aku terpukul atas meninggalnya mama. Mama meninggal karena sakitnya. Dan pertama kali ketemu kamu, aku seperti menemukan kebahagiaanku yang telah lama tak aku rasakan. Tapi aku lagi-lagi terpukul kamu menolak kehadiranku. Aku ingat pesan terakhir mama, agar aku bahagia. Sesedih apapun, selama apapun kamu menolak ku, aku bertekad untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu."
Zahra menangis tergugu. Membayangkan dirinya yang begitu egois. Tak memikirkan bagaimana perasaan Ega. Ia benar-benar menyesali keegoisannya.
Setelah Zahra bisa mengendalikan emosinya. Mereka berdua keluar dari resto itu. Untungnya pengunjung tak begitu ramai. Dan tak ada yang melihat gadis itu menangis.
Ega segera memacu mobilnya untuk mengantar Zahra pulang.
****
Zahra duduk di samping bundanya yang sedang menonton televisi. Ia hanya memainkan ponselnya saja, seperti sedang menunggu sesuatu.
"Ra," panggil sang bunda.
"Iya, Bun?" Zahra menolehkan pandangan kepada sang bunda.
"Gimana kerjaan kamu?"
"Ya gitulah, Bun. Aku seneng kok. Anak-anak di tempatnya Rio baik-baik. Ada beberapa temen sekolah aku juga."
"Kamu betah?"
"Betah, Bun." Zahra tersenyum menatap sang bunda, pun di balas senyum kelegaan dari sang bunda.
"Masih ada niatan buat pindah nyusulin ayah?" pancing sang bunda.
Zahra terdiam tidak segera membalas pertanyaan itu.
"Nduk. Meski kamu ndak bilang alasanmu kepingin pindah, Bunda tahu. Sekarang Bunda lihat kamu sama dia sudah mulai dekat lagi."
"Ada kalanya kita harus mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Saat kita ikhlas hati kita telah menerima. Pasti kebahagiaan akan mengikuti kita, Nduk. Bunda bahagia kalau kamu juga bahagia. Bahagialah untuk dirimu, untuk bunda," lanjut sang bunda.
Zahra berpindah posisi tidur di pangkuan sang bunda. Di usap-usapnya rambut lurus milik gadis itu. Ia menikmati usapan tangan sang bunda.
"Ayahmu beberapa hari lalu bertanya, kalau kamu masih ingin pindah, kamu bisa menyusul ayahmu ke Surabaya, tapi Bunda sama Efelin tetap di sini sampai sekolah Efelin selesai. Kasian adik kamu kalau harus pindah sekolah."
"Pikirkan baik-baik, Nduk, belum tentu kamu di sana akan cepat beradaptasi, dan di sana kamu hanya dengan ayahmu saja."
"Iya, Bun, Zahra masih memikirkannya."
Ibu dan anak itu saling terdiam dengan pikirannya masing-masing. Di temani suara televisi yang mengisi sepinya ruang tengah.
****
hollaaa.....
pencet jempol buat dukung zahra yaa...
terimakasih kakak-kakak baik
salam sayang
kiki rizki 💞😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Rasinar Yohana
jejak smngt kaka
2020-09-05
0
Wirdah K 🌹
Semangattttt
2020-09-05
0
Twitria
mantuuul .. makin keren aja. semangat trs
2020-07-08
0