Happy reading gaes..
*******
Zahra termenung di kamarnya. Lagi-lagi ia harus ijin tidak masuk kerja karena kondisinya tidak memungkinkan.
Setelah semalaman menangis kini badannya demam dan sepalanya pusing. Hal itu semakin membuatnya kepikiran bagaimana nasib pekerjaannya nanti. Cepat atau lambat pasti ia akan mengalami masalah dengan pekerjaannya. Mengingat posisinya cukup penting di perusahaan.
Ponsel Zahra bergetar dan berkedip sesaat menandakan ada pesan masuk. Ia mengecek ponselnya untuk melihat dari siapa pesan itu.
+62 851 ********
Kamu sudah baikan?
Alis gadis itu bertaut karena tidak mengenal nomor itu. Ia tak merasa memberikan nomornya pada orang baru. Ia segera mengetikkan balasan pada nomor itu.
Zahra :
Siapa?
Tak perlu menunggu lama, nomor itu terlihat tengah mengetik pesan.
+62 851 ********
Aku Ega. Apa kamu sudah baikan?
Kembali ia meletakkan ponselnya tanpa membalas pesan itu.
Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Memilih untuk memejamkan matanya ketimbang membalas pesan Ega.
Rasanya masih terlalu berat menerima Ega kembali. Dulu memang ia selalu berharap bisa bertemu dengannya. Tapi sekarang apa yang ia rasakan sangat berbeda dengan apa yang ia harapkan.
Ia pikir, jika bertemu Ega semuanya akan kembali seperti dulu. Tapi nyatanya, justru dirinya sendiri yang tak bisa menerima kehadiran lelaki itu.
Zahra terlelap dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam otaknya. Mengistirahatkan tubuh dan badannya sejenak, Berharap saat bangun nanti semua kembali baik-baik saja.
*******
Di ruang kantornya Ega dengan tidak sabaran menunggu balasan pesan yang ia kirimkan pada Zahra.
Ia tak tau saja Zahra enggan membalas pesannya. Gadis itu memilih untuk terbang ke alam mimpi. Mengabaikan Ega yang sedari tadi menunggu balasan pesan darinya.
Telepon di meja kerjanya berbunyi. Ia mengangkatnya dengan malas.
"Ya?" ucapnya.
"Maaf, Pak. Ada tamu dari PT. Sekawan. Pak direktur minta anda yang menemuinya."
"Baiklah di mana?"
"Di hotel Dahlia setelah makan siang nanti."
"Ya. Ingatkan lagi nanti," kata Ega mengakhiri panggilan sepihak.
Ega kembali memeriksa ponselnya berharap ada balasan yang sedari tadi ia tunggu. Namun tetap sama, tidak ada jawaban dari Zahra.
Ia sungguh mengkhawatirkan keadaannya, tetapi ia bingung harus bertanya pada siapa. Rio dan Efelin tak mau memberi tahunya. Datang sendiri ke sana justru ia khawatir akan seperti kemarin.
Ega benar-benar dilema.
Aku harus bagaimana? Kenapa jadi seperti ini? ucapnya dalam hati.
Terlintas dipikirannya untuk meminta bantuan pada Doni. Ya, temannya itu pasti bisa di andalkan.
Dengan gesit ia segera mencari nomor ponsel Doni. Menelepon lelaki itu. Harapan satu-satunya untuk mengetahui keadaan Zahra.
"Halo, Don?" sapanya setelah nada sambung terangkat.
"Ya, Bro. Ada apa?" sapa Doni di ujung sana.
"Lagi sibuk gak? Aku mau minta tolong, ini soal Zahra."
"Kenapa dengan Zahra? Apa terjadi sesuatu pada kalian?" tanya Doni yang dibenarkan oleh Ega.
Akhirnya Ega menceritakan kejadian semalam pada Doni. Lantas Doni pun memarahi Ega lewat sambunga telepon itu.
"Makanya, aku mau minta tolong sama kamu, Don," kata Ega dengan nada putus asa.
"Ok. Aku akan bantu kamu, hanya untuk menanyakan kabar Zahra saat ini, Masalahmu dengan Rio selesaikan segera. Agar ia bisa membantumu dekat lagi dengan Zahra."
"Thanks Don. Aku tunggu kabar darimu."
Setelah menyelesaikan panggilannya dengan Doni, Ega sekali lagi mengecek ruang chat nya dengan Zahra. Namun lagi-lagi ia harus kecewa karena tak mendapat balasan.
Seharian ini ia bekerja tanpa semangat. Bahkan untuk menghadiri meeting pun rasanya ia enggan. Namun jika tidak dilakukan ia sendiri yang akan mendapat masalah.
Mau tak mau Ega harus menjalankan tugasnya sebagai kepala manager dengan baik. Ini semua ia lakukan semata-mata hanya untuk Zahra.
Karena sekarang hanya Zahra yang ia punya. Sang papa yang lebih memilih menetap di Singapura membuatnya hidup sendiri di kota kelahirannya.
******
Zahra keluar kamar untuk makan malam. Di ruang makan telah ada ayah, bunda dan adiknya. Ia mengambil tempat duduk di samping Efelin.
"Kamu sudah enakan, Nduk?" tanya sang bunda.
"Udah, Bun, tapi badan masih agak lemes," jawab Zahra.
"Wong kemarin sore ndak apa-apa kok tiba-tiba tadi pagi nggak enak badan, mbok ya dijaga kesehatannya Nduk, kalo di kantor terlalu berat mending kamu berhenti aja. Ndak usah kerja. Ayah masih sanggup biayain kebutuhan kamu," ucap sang bunda.
"Nanti aku bosen, Bun, kalau di rumah aja," balas Zahra.
"Kan kamu bisa bantu-bantu usaha Rio Nduk, lebih santai," timpal sang bunda.
"Ya sudah, kita makan dulu. Nanti kita bahas lagi," sang ayah menengahi.
Keluarga kecil itu melanjutkan makan malam mereka. Kali ini sang ayah juga ikut berkumpul melengkapi kursi yang sering kali kosong, karena sang empunya jarang berada di rumah.
Selesai makan malam, Zahra dan Efelin membantu sang bunda membereskan sisa makanan dan membawa piring kotor ke dapur. Setelah semuanya bersih mereka ikut bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang tengah.
"Kamu ndak istirahat, Nduk?" tanya bunda pada Zahra yang duduk di karpet bersama Efelin.
"Sebentar lagi, Bun, aku pengen kumpul sama kalian mumpung Ayah pulang."
"Besok Ayah sudah harus kembali ke Surabaya," ucap sang ayah.
"Baru tadi datang kok udah mau berangkat lagi sih, Yah?" tanya Efelin dengan nada sedikit merajuk.
"Mau bagaimana lagi, Nduk? Ayah juga pengen deket sama kalian setiap hari. Apa kalian semua mau kita pindah ke Surabaya?" tawar sang Ayah.
"Tapi nanti sekolah aku gimana, Yah?" tanya Efelin.
"Ya kamu pindah juga sekolah di sana. Gimana?" tawar sang ayah lagi.
"Kalo kalian berdua mau, Bunda setuju-setuju saja," sang bunda ikut menimpali.
"Aku mau, Yah. Aku pingin suasana baru," ucap Zahra.
"Kamu sudah yakin, Nduk? Dulu kamu ndak pernah mau kita pindah. Kenapa sekarang semudah itu?" tanya bunda.
"Aku ingin melepas semuanya di sini, Bun, Yah," kata Zahra lirih.
"Nduk, Ayah tahu, dia sudah kembali. Apa karena itu kamu ingin pindah?" tanya sang ayah.
"Jangan seperti itu, Nduk. Pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Jangan ikuti emosimu. Belum tentu kamu ikut Ayah akan langsung bahagia. Ayah minta pikirkan dulu, Nak. Ayah harap keputusanmu juga membawa dampak baik untukmu."
Zahra terdiam tidak menjawab pertanyaan sang ayah. Obrolan yang semula hanya candaan berubah menjadi keseriusan tatkala Zahra mengutarakan keinginannya untuk pindah dari kota ini.
*******
nah... Zahra malah ingin pindah..
ikutin terus ceritanyaaaa.....
bab ini juga aku tambahin dikit dialog sama narasinya. yang sudah pernah baca, coba di baca ulang yaaa..
jangan lupa buat pencet jempol yaa.. hehe.. tinggalkan komen biar aku tau kalian mampir
terima kasih sudah membaca...
salam sayang
kiki rizki
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
silviaanugrah
Hai thor, 12 like mendarat di ceritamu. 😍
Semangat yaaa. Feedback ke cerita aku yaa, kita saling support 😍
2020-12-24
2
Amanda
semangat selalu ka'☺️☺️
2020-11-11
1
ayyona
jempol lg 😎😍
2020-09-16
0