Tak terasa, malam sudah tiba. Setelah ku tunaikan ibadah isya', aku dekati lagi kak Raisha. Yang kebetulan baru menyelesaikan semua pesanan pelanggan yang masih tersisa. Sebelum Yumna memberikan lagi pesanan selanjutnya.
"Kak, istirahat dulu. Mumpung pesanannya sudah terpenuhi semua," ucapku menyerahkan coklat hangat untuknya.
"Terima kasih. Kamu masih kuliah?" tanyanya memulai, saat kami duduk di dapur berdua saja malam ini.
"Iya, Kak. Anak kakak umur berapa?"
" Tiga tahun, namanya Louisa. Sebentar, ehmm.... Ini dia fotonya," tunjuk kak Raisha pada gambar anak perempuan kecil dari gawainya.
"Cantik, apa mirip ayahnya?" tebakku karena tak terlalu mirip sama kak Raisha.
"Iya, dia jiplakan ayahnya banget."
"Kakak pasti sayang banget ya sama dia, semoga dia bisa membuat kakak bangga suatu saat nanti," doaku berharap untuk masa depan anak itu.
"Amiin. Pastilah sayang banget. Makanya kalau saya menikah lagi suatu saat nanti, cuma satu yang saya harapkan. Suami saya bisa menyayangi, seperti anaknya sendiri."
"Aamiin. Oh iya, tadi kakak sempat bicara tentang Jil? Apa dia calon kakak?" tanyaku mulai mencari informasi lagi.
"Saya juga gak tahu, ada perasaan nyaman sekaligus khawatir saat bersamanya. Tapi saya sendiri juga bingung, apa yang sebenarnya saya khawatirkan pada dia?"
"Jil itu...apa laki-laki yang semalam menemani kakak duduk di pinggir danau Rubi?" tanyaku menyebut nama danau di depan pujasera ini.
"Iya, kamu lihat saya?" tanyanya malu, tapi justru sebenarnya membuatku khawatir pada hubungan mereka.
"Ehmm...Lihat sih meski gak terlalu jelas. Terus kenapa kakak masih berhubungan dengannya, kalau dalam hati kakak masih ada kekhawatiran?"
"Entahlah, saya sendiri juga tak bisa mengartikan isi hati. Di satu sisi, saya tak ingin berpisah dengannya. Tapi di sisi lain, saya sering bermimpi kalau almarhum suami saya seperti menghalangi kedekatan kami berdua."
"Apa ada pesan yang pernah disampaikan suami kakak dalam mimpi?"
"Tak ada kata-kata sedikitpun yang dia keluarkan. Dalam mimpi yang pernah saya alami beberapa kali, dia datang dan menyuruh saya menjauh saat duduk bersama Jil di pinggir danau ini. Hanya dengan menunjukkan arahan tangan, tanpa ucapan. Apa dia tak ingin saya menikah lagi ya? Egois sekali kalau seperti itu."
Ku usap punggung kak Raisha, sambil memintanya menengguk minuman buatanku agar bisa sedikit menenangkan emosinya.
"Dia tega meninggalkan kami, tertatih-tatih saya bangkit sendiri membesarkan anak kami. Sekarang saat ada orang yang hendak membantuku berdiri, kenapa rasanya seperti dihalangi," lanjutnya mengingat suaminya yang telah pergi mendahului dia dan anaknya.
"Maaf sebelumnya. Suami kakak meninggal karena apa?"
"Sakit. Dia sudah tahu penyakitnya setelah kita baru saja menikah. Tapi tak pernah menceritakannya, sampai kita berdua punya anak."
Kak Raisha kembali mengambil nafas dalam, untuk melegakan pernafasan yang sempat terganggu oleh kesedihan yang mendalam.
"Dan beberapa bulan setelah anak kami lahir, dia mulai tak kuat menyembunyikan penyakitnya. Jadi sering keluar masuk rumah sakit sampai akhirnya meninggal," cerita kak Raisha sambil menunduk sedih.
"Sakit apa, Kak? Kakak yang tabah ya, semua akan indah pada waktunya," ucapku masih berusaha menguatkannya.
" Dia terkena gagal ginjal, dan harus pergi meninggalkan kita semua saat Louisa berulang tahun yang ke dua. "
" Sabar ya, Kak. Semoga beliau tenang di alamnya. Kakak juga bisa melanjutkan hidup, demi masa depan Louisa. Lalu sebenarnya apa yang kakak suka dari Jil? Apa kakak sudah pernah mengenalkannya ke keluarga, terutama pada Louisa? "
" Dia memang hanya menemuiku saat di danau ini saja. Belum berani ku ajak ke rumah meski dia sudah meminta. Tapi aku nyaman saat berada di sampingnya. Seperti ada yang mendampingiku dari kesepian selama ini. Lagi pula dia tampan juga, " katanya mengingat wajah kekasihnya.
" Tampan? Seperti apa? "
Justru sekarang aku yang jadi penasaran. Seperti apa wajah Jil di mata mata kak Raisha. Karena yang aku tahu, sosok yang bersamanya kemarin itu bukanlah manusia. Malah lebih mirip seperti monster pohon kalau aku lihat dengan mata kedua.
"Cakep sih, kulitnya putih, halus, hidung mancung, kornea mata hitam, sama seperti warna rambutnya. Kurus, tinggi, ya mirip-mirip sama bos Rey tapi versi dewasanya," jelas kak Raisha sambil tersenyum membayangkan wajah Jil yang katanya tampan.
"Aish, ini pesanan masuk yang baru," kata Yumna mengagetkan kami berdua.
"Oke, lima belas menit selesai," ucapku yakin bisa menyelesaikan bersama kak Raisha, meski sebenarnya pesanannya tak sedikit juga.
Aku dan kak Raisha sudah tak banyak bicara. Karena pesanan mulai datang silih berganti. Apalagi sekarang akhir pekan, yang pasti membuat semakin banyak pelanggan. Makanya gerai juga dibuka lebih malam dari hari biasanya.
'sreett.....'
Aku merasa seperti ada sekelebat bayangan hitam, yang memperhatikan semua tingkahku. Sempat ku lihat juga, sosok itu menembus pintu di belakang tubuhku.
"Siapa itu?" tanyaku memastikan, manusia atau bukan.
"Siapa, Aish?" tanya kak Raisha yang hanya berdua denganku di dalam ruangan ini.
"Kakak lihat ada orang masuk kamar mandi tidak?" tunjukku ke kamar mandi yang tertutup di belakang punggung kami.
"Tak ada. Ah, jangan ngomong macam-macam. Kita cuma berdua saja lo di ruangan ini."
Di pujasera milik Rey, memang hanya ada dua gerai yang buka sampai larut malam. Gerai tempatku bekerja bersama kak Raisha dan Yumna salah satunya. Sedangkan gerai satu lagi ada di ujung deretan yang jauh dari tempat kami sekarang.
Gerai-gerai makanan yang berderet kosong di tengahnya, hanya buka sampai petang. Karena mereka sudah membuka gerainya dari pagi, sebelum dua gerai termasuk kami terbuka untuk pelanggan.
"Mungkin cuma angin," kataku mencoba menutup pembicaraan, agar kak Raisha tak berpikir macam-macam.
"Semoga saja."
"Eh, ini siap diantar ke pelanggan 'kan? Kok tumben Yumna sama Tissa belum balik ke sini buat ambil pesanan?" tanyaku mengintip dari balik pintu.
Dari kejauhan, nampak riuh para pelanggan. Yumna dan Tissa juga wara-wiri sedang membersihkan mejanya, karena ada satu pegawai malam yang tak masuk hari ini.
"Sini, biar saya saja yang antar. Itu masakan lainnya tinggal plating aja, bisa' kan?"
"Bisa, Kak! Apa aku aja yang antar ke sana?" tanyaku karena tak enak atas permintaan kak Raisha yang mau antar sendiri makanannya.
"Biar saya saja. Daripada saya yang harus tinggal sendiri di sini, setelah kamu bicara aneh-aneh tadi. Sudah ya, aku ke depan dulu sebentar!" kata kak Raisha meninggalkan tempat ini, sambil membawa nampan berisi makanan.
Satu demi satu, sayuran ku potong untuk mempercantik dan melengkapi masakan ini. Namun tiba-tiba, bulu kudukku mulai berdiri.
"Siapa? Ayo keluar kalau berani, jangan cuma intip di sekitar sini," kataku melihat sekeliling yang masih sepi, karena aku hanya sendiri.
Jarak dapur gerai tempatku, dengan pinggir danau adalah paling jauh di pujasera ini. Jadi suasananya yang ramai di sana, hanya sayup-sayup terdengar dari dapur ini.
"Jangan ikut campur, kalau kau tak ingin celaka di sini!"
Suara sosok yang tak terlihat menggema di telinga.
"Siapa kamu? Apa maumu?"
Sepi, tanpa ada jawaban lagi. Saking penasarannya, akhirnya ku mulai mencoba mencari, meninggalkan sayuran yang baru ku potong tadi.
"Siapa kamu?"
Masih tak ada jawaban, sampai ku longokkan lagi kepala ke luar dapur untuk mencari sumber suaranya.
"Lhah, kemana semuanya?" gumamku saat tak nampak seorangpun di luar sana.
Pujasera ini nampak tak ada siapa-siapa. Padahal, tadi saat ku tengok untuk mencari Yumna dan Tissa, masih ramai orang berlalu lalang di sana.
"Tunjukkan wujudmu!" teriakku saat sudah mulai dipermainkan sosok itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Jeje
nah kan dapat bisikan
2021-09-30
1
Nurhalimah Al Dwii Pratama
semoga Yumna sadar trus rey datang sma azzam
2021-04-24
0
St. May Sharoh
ku gak suka dg dsikap aish lebih suka Keyla
2021-03-07
1