Beberapa plastik sembako sudah kami dapatkan. Kulineran pagi ini juga sudah kami lakukan. Jadi saatnya menuju ke alamat tempat ibu yang ku temui tadi sebentar, sebelum menuju kontrakan.
"Bener alamatnya sekitar sini?" tanya kak Azzam saat kita berada di kawasan yang bisa dibilang sedikit kumuh dan tak beraturan.
"Aku gak tahu benar atau tidaknya, kan belum kenal daerah sini sama sekali. Pokoknya alamatnya sesuai yang ku katakan tadi," jelasku masih berkeliling mencari di atas sepeda motor yang penuh dengan sembako ini.
"Kalau yang tadi kamu katakan sih, bener daerahnya sekitar sini. Coba kita tanyakan ke salah satu warga. Apa ada yang mengenal ibu seperti yang kau ceritakan tadi," usul kak Azzam.
Mesin motor di hentikan, akupun turun dan mendatangi salah satu warung, yang didalamnya ada beberapa orang sedang mengobrol santai.
Ku sebutkan nama dan ciri-ciri fisik orang yang ku maksud tadi, tapi ternyata tak ada yang mengenali. Sampai ada seorang ibu pembeli yang baru datang, mulai mengamati pembicaraan kami.
"Apa yang adek maksud, bu Dina yang suka cari botol bekas?" tanyanya membuatku yakin, kalau beliau mengenalnya karena pekerjaan ibu Dina, tak ku sebutkan sama sekali di sini.
"Ibu kenal?"
"Iya, anaknya sering main ke tempat saya. Saya tetangganya. Memang ada perlu apa ya, Dek?"
"Oh, bisa tolong antar saya menemui bu Dina?"
"Wah, saya aja juga lagi cari dia. Anaknya sudah beberapa hari ini gak ada yang urusin, karena ibunya tak pulang sama sekali."
"Apa benar? Tapi tadi saya ketemu di bandara, dan beliau bilang kalau ingin cepat pulang. Katanya anaknya sedang lapar. Apa beliau belum mendapat uang untuk makan?" tebakku mengira-ngira sendiri.
"Bandara? Jauh amat sampai sana? Tapi sebelum saya ke sini ini, ibu Dina belum pulang sama sekali."
"Astaghfirullah, kemana ya bu Dina?"
"Memang anaknya sedang kelaparan saat ini, tapi saya hanya bisa memenuhi kebutuhan makannya sekali dalam satu hari. Saya sendiri tak ada banyak uang untuk merawat semua anaknya, meski sebenarnya kasihan juga. "
"Boleh saya tahu rumahnya?" tanyaku dengan menceritakan kisah pertemuanku tadi di tempat parkir bandara, sampai ku bawakan sembako karena bu Dina tak mau menerima bantuan uang dariku.
"Oh, baiklah. Akan saya antar ke sana, dan saya rasa mereka akan senang menerima bantuan sembako itu."
Ku ikuti langkah tetangga bu Dina dengan berjalan kaki. Sedangkan kak Azzam, menaiki pelan sepeda motornya karena sambil membonceng belanjaan sembakonya.
Sampai di sebuah rumah berdinding kayu yang nampak hampir saja tak kuat menahan atapnya, ibu itu mengetuk pintu.
"Cii... Cicii..., buka pintunya. Ini ada yang cari keluargamu," katanya masih menggedor pintunya pelan.
Tak lama, pintupun terbuka. Setelah ku beritahu maksud kedatanganku, anak yang dipanggil dengan nama Cici itu mempersilahkan kami masuk ke dalamnya. Kak Azzam juga langsung menurunkan barang yang kami bawa ke dalam rumahnya.
" Maaf, tapi apa kakak tadi benar-benar lihat ibu saya?" tanya Cici, anak yang paling besar dari ke semua anak yang ada di rumah ini.
"Iya, memang kenapa?"
"Saya mimpi buruk, kalau beliau berpamitan dan meminta saya menjaga adik-adik. Kalau memang kakak melihatnya, berarti ibu masih baik-baik saja."
'Deeeeghh....'
Ada rasa tak enak di hatiku tiba-tiba. Aku takut, kalau ternyata yang ku lihat tadi bukanlah manusia. Bukan takut sama sosoknya, tapi takut kalau hati anak-anak ini hancur saat yang ku lihat ternyata memang sesuai perkiraan anak ini sebelumnya.
"Kita doakan saja, semoga ibumu baik-baik saja," sahutku mencoba menenangkan mereka.
Sepanjang obrolan, ku dengar ada suara anak menangis dari ruangan lain di rumah ini.
"Adekmu rewel? Kenapa?" tanyaku pelan pada anak berumur sekitar dua belas tahunan itu.
"Iya, dia demam. Terus-terusan cari ibu," jelasnya.
"Boleh saya lihat?"
"Iya, sebentar saya panggilkan adik buat bawa ke sini saja. Soalnya kamarnya berantakan, he...," katanya polos merasa malu sendiri.
Tetangga bu Dina langsung tanggap, dan membawa adik bungsu Cici yang mungkin berumur sekitar dua tahun, menemuiku di ruang paling depan rumah ini. Diikuti adik Cici lainnya, yang dari tadi menemani di kamar sendiri.
"Eh, pantesan rewel. Panas banget lo. Sebaiknya segera kita bawa ke rumah sakit saja!" usulku.
"Tapi, Kak. Kitaa....," jawab Cici terpotong, sambil menundukkan kepala.
"Sudah, tak usah dipikirkan. Kita panggilkan taksi saja, biar lebih cepat sampai rumah sakit!"
Ku minta kak Azzam untuk menghubungi kendaraan di daerah sini. Diapun ijin keluar sebentar untuk mencari signal, dan tak lama justru ambulan yang malah datang.
"Kok ambulan?" tanyaku melongok ke depan, untuk memastikan.
"Biar cepat!" sahut kak Azzam singkat.
Kami terburu-buru membawa anak itu ke rumah sakit terdekat, yang sudah dihubungi kak Azzam tadi.
Sesampainya di tempat, anak itu juga segera ditangani. Sedangkan kak Azzam masih sibuk mengurus administrasi.
"Bu Dina?" gumamku sempat melihat sekilas seorang wanita mengintip kami yang masih menunggu di depan ruangan darurat ini.
"Ibu? Mana?" tanya Cici celingukan ke arah mataku tertuju.
"Tolong tunggu di sini, saya akan segera kembali!" kataku sedikit berlari, mengejar sosok yang sempat ku lihat tadi.
"Bu Dina, tunggu!" teriakku saat aku sudah melihat keberadaannya lagi.
Bu Dina nampak pergi dengan tergesa, tapi aku berhasil menangkap tangannya.
"Bu, anaknya sakit. Ibu mau kemana?" tanyaku tak dijawab apa-apa, justru hanya menunduk tak berani menatapku juga.
"Bu, apa ibu sakit? Tangannya dingin sekali. Apa yang ibu lakukan di sini? Apa dari tadi ibu mengikuti kami?" tanyaku bertubi-tubi, tapi tetap saja tak ada jawaban darinya.
"Lepaskan!" katanya singkat, sambil mengibaskan genggaman tanganku dari pergelangan tangannya.
"Maaf, saya hanya ingin mengatakan, kalau anak ibu butuh perlindungan."
"Kak," panggil Cici dari belakangku.
"Ci, ini ibu.....," belum sempat ku lanjutkan, bu Dina sudah menghilang.
Beliau tak ada lagi di tempatnya berdiri tadi. Membuatku jadi merasa khawatir, kalau tebakanku tentangnya tadi memang benar adanya. Bahwa dia sudah bukan manusia seperti kami.
"Kakak tadi ngomong sama siapa? Mana ibu, sudah ketemu belum?" tanya Cici membuatku semakin yakin saja.
"Ibumu... Ehmm... Entahlah, mungkin kakak cuma salah lihat saja. Yuk kembali ke ruangan tadi," ajakku merangkulnya.
Baru beberapa langkah berbalik arah, tak sengaja aku menabrak seorang wanita seusiaku juga, dengan laki-laki tinggi di sampingnya.
"Eh, maaf. Saya tak sengaja," kataku merasa bersalah.
"Saya yang harusnya minta maaf. Saya yang terburu-buru tadi."
"Hei, kalian kemana saja sih? Itu dokternya cari keluarga pasien, kok malah ditinggal ke sini?" seru kak Azzam dari belakang sepasang remaja di depanku.
"Azzam? Kamu di sini?" tanya remaja laki-lakinya.
"Rey, Yumna, kalian ngapain ke sini juga?" tanya kak Azzam.
"Biasa lagi selesaikan kasus yang tertunda. Kamu ngapain?" tanya si perempuan.
"Oh iya, kenalkan. Ini separuh jiwaku, namanya Aisyah. Dia baru datang ke sini pagi tadi."
"Saya Yumna, dan ini juga separuh jiwaku, namanya Rey," kata gadis itu tertawa menirukan perkataan kak Azzam sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Maharani Rania
masa di Amerika ada tempat kumuh sama pemulung.pemulung ada tapi beda sama di kita
2024-08-24
0
Yach Yulianah
belum baca kisah Yumna ,dari key sama Ical lgsg kesini😁
2023-08-07
1
kutubuku
wah..
pada ketemuan di sini toh😀😀
2022-01-23
0