"Aisyah, nama yang bagus. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Masih ada yang harus kami selesaikan di rumah sakit ini dulu," kata Yumna menjabat tanganku terlebih dahulu.
"Panggil Aish saja. Senang bisa kenalan sama kalian berdua," jawabku menyambutnya.
"Maaf, kami tak bisa lama. Sampai ketemu lagi ya!" ucap Yumna sebelum melangkah pergi menjauh dari kami.
"Iya, hati-hati!" sahut kak Azzam menjawabnya.
"Teman sekolah kakak?" tanyaku.
"Bukan, mereka dari sekolah yang berbeda. Tapi rencananya akan kuliah di kampus yang sama dengan kita," jawab kak Azzam menggandengku menuju ruang tempat adik Cici dirawat tadi.
Belum sempat ku tanyakan banyak hal tentang mereka, karena ku lihat ibu tetangga Cici nampak kebingungan sendiri dari kejauhan.
"Dek, ini anaknya sudah bisa masuk ke ruang rawat inap. Bagaimana, Dek?" tanya ibu tetangga Cici saat melihat kami berlari mendekat.
"Dipindahkan saja anaknya, sudah saya urus semua administrasinya," kata kak Azzam langsung membuat suster bergerak cepat, setelah menunjukkan pembayaran pelunasan biaya untuk menyiapkan ruangan perawatan.
Kami masih menemani mereka sejenak selesai pemindahan adik Cici. Dan setelah adzan dhuhur berbunyi, kami segera pamit undur diri.
" Maaf, kami ijin pulang dulu. Besok akan kami usahakan menjenguk lagi ke sini. Ehm.. Apakah Cici punya kerabat yang bisa dihubungi?" tanyaku setelah mengatakan hendak pamit pulang.
"Orang tuanya merupakan perantauan, yang hidup menyendiri di kampung kami. Rumah yang mereka tempati juga sebenarnya bukan rumah mereka, tapi rumah kosong yang diikhlaskan warga karena sudah tak ada ahli warisnya."
"Lalu, kalau ibu Dina tak ada kabar lagi, bagaimana nasib anak-anak ini?"
"Saya sendiri juga belum tahu, karena saya juga tak punya banyak biaya untuk mengurusi mereka semua dengan layak."
"Besok saya akan usahakan mencari panti asuhan terpercaya. Supaya anak-anak ini bisa terawat selayaknya anak seusianya," usul kak Azzam langsung kami setujui bersama.
"Tapi kalau kami pindah dari rumah itu, bagaimana jika ibu datang dan mencari kami?" tanya Cici menunduk sedih.
"Kamu tak usah khawatir, ibu masih tinggal di situ. Ibu yang akan mengatakannya kalau memang ibumu mencari kalian nanti," jawab tetangga Cici tersenyum iba menatap anak-anak ini.
"Baiklah kalau itu keputusannya. Kami pamit dulu, dan ini ada sebagian rejeki untuk kebutuhan anak-anak ini sementara waktu. Insyaa Allah, besok kami datang ke sini lagi," kataku menyerahkan beberapa lembar uang yang hendak ku berikan pada bu Dina tadi pagi.
" Terima kasih banyak atas kebaikan kalian, diantara orang-orang yang tak terlalu memperdulikan nasib anak-anak ini," ucap ibu itu sampai meneteskan air matanya.
" Sama-sama. Semoga besok kami bisa cepat mendapatkan tempat untuk mereka."
"Terima kasih, Kak. Semoga kebaikan kakak terbalas dengan kebaikan juga, yang datang untuk kalian berdua suatu saat nanti," doa Cici pada kami.
"Aamiin," jawabku dan kak Azzam bersama, lalu melangkah keluar dari ruang perawatan ini setelah mengucap salam.
Kami keluar dari ruangan, dan mengatur rencana tempat tinggalku sambil berjalan ke parkiran.
"Sekarang kita cari kontrakan dekat kampus langsung aja ya. Sungkan kalau barangku di apartemenmu lama-lama. Aku juga gak mau kalau dititipin ke temanmu meski cuma sementara," pintaku.
"Iya-iya..., padahal sebenarnya gak masalah kalau barangmu ada di apartemen sewaanku. Toh aku cuma tinggal sendiri aja, paling juga Rey nanti yang tanya. Karena cuma dia yang keluar masuk di sana buat main game," jawab kak Azzam gampang.
"Rey,.... Pacarnya Yumna?"
"Iya, Rey yang tadi itu tetangga apartemen. Sebenarnya dia punya keluarga di luar kota, tapi memutuskan pindah ke sini karena ikut pacarnya yang pindah rumah juga dua tahun yang lalu."
"Berarti mereka berdua juga bukan asli orang dari kota ini?"
"Bukan, neneknya minta pindah setelah mengalami trauma. Diculik oleh sekte sesat dari kotanya."
"Astaghfirullah, kok kisahnya Yumna hampir sama ya kayak aku?"
"Hampir, tapi masih jauh berbeda. Karena anggota sekte yang ngejar kamu lebih banyak dan kita belum tahu pasti, apa tujuan dibentuknya sekte mereka. Selain untuk mengabdi pada iblis sembahannya, dengan menuruti aturan aneh mereka."
"Memang kalau kisah Yumna seperti apa? Dan kenapa neneknya yang disandera?"
"Panjang ceritanya. Tapi kisahnya sudah berakhir, dan tak ada lagi pengikut sekte mereka. Setelah rumah yang dijadikan ritual hancur tak tersisa."
"Yang pasti, mereka hendak menculik Yumna. Karena selain dia dan Rey memiliki 'mata kedua', juga karena Rey masih ada hubungan saudara dengan pengikutnya. Dan semua ritual dilakukan murni untuk pesugihan mereka," lanjut kak Azzam menjelaskan.
"Oh, kayaknya asik juga pengalaman mereka. Mungkin aku bisa nyaman kalau berteman sama Yumna," pikirku mulai tertarik untuk mendapatkan teman baru, yang hampir bernasib sama sepertiku.
"Ehmm... Kalau dipikir-pikir, memang sebaiknya kamu coba tinggal sama Yumna. Dia tinggal sendiri, di rumah yang kebetulan tak jauh dari calon kampus kita nanti. Kalau cocok, kan bisa langsung ngontrak di rumahnya. Biar kamu dan dia bisa sama-sama ada temannya."
"Eits... Kalau cocok sebaiknya langsung tinggal saja. Aku tak menyewakan kamarnya, tapi pintu rumahku selalu terbuka lebar untukmu," celetuk seorang wanita dari belakang kami.
"Yumna? Panjang umur mereka, baru juga diomongin. Sudah muncul aja di sini."
"Boleh kita lihat dulu?" tanyaku.
"Boleh, kita juga mau pulang kok. Semoga aja cocok, dan betah biar aku gak ditemani terus sama Susi. Ngeselin kalau malam, suka godain yang lewat depan."
"Susi?"
"Iya, penunggu pohon di rumah lamaku. Sengaja ku ajak agar bisa temani nenek kalau aku tinggal pergi. Tapi.... Nenek sudah tak ada setahun yang lalu. Jadi tugasnya hanya nongkrong di pohon depan saja."
"Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Maaf, kalau ucapan kita mengingatkan kamu pada nenekmu."
"Tak apa, nenek juga sudah tenang di sisi-Nya. Sekarang kami akan melanjutkan hidup ini tanpa beliau, dan berjanji untuk membuatnya bangga melihat kesuksesan kami berdua suatu saat nanti," jelasnya menghapus cepat air mata yang hampir menetes di pipi.
"Sabar ya, boleh kita berangkat sekarang saja? Tapi sebelumnya kita mampir ibadah sebentar, karena adzan sudah berkumandang," usulku dijawab anggukan semuanya.
"Ayo!" jawab Yumna mulai penuh semangat lagi, berjalan mendahului, meski masih terlihat kesedihan ada di dalam hati.
Aku dan kak Azzam menaiki sepeda motor sejenis Honda Gold Wing berwarna merah tua dan hitam. Sedangkan Rey mengajak Yumna menaiki mobil mewahnya, yang aku tahu harganya sangat fantastis sekali untuk orang biasa seperti kami.
Menyusuri jalanan yang sedang terik, kami menyempatkan istirahat sejenak untuk menunaikan ibadah wajib sesuai rencana tadi. Kemudian lanjut makan siang sebentar, dan berangkat ke rumah Yumna lagi, yang harus ditempuh dalam waktu satu jam dari rumah sakit tadi.
Sampai akhirnya, mobil Rey berhenti di sebuah rumah minimalis, yang tertata rapi dengan bunga - bunga kecil memutari halamannya.
"Ini rumahku, hasil nyicil kerja sama dia. Meski kecil, yah lumayan syukuri saja. Yang penting tak kehujanan dan kepanasan," senyum ramah Yumna mulai terkembang lagi.
"Kamu kerja sama Rey?"
"Iya, dia memang kerja sama aku. Sekarang, dia sudah buka usahanya sendiri. Buka counter pulsa di depan, yang ditungguin sama tetangganya. Jadi dia tinggal terima duwitnya," jelas Rey yang baru bicara setelah pertemuan kami hari ini, sambil menunjuk ke arah sebuah stand yang didirikan di sebagian halaman rumah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Ila Lain
ketemu mb Susi lagi niiiihh😁
2023-10-01
1
dianelischaa94_
Baru kemarin aku rindu dgn kelanjutan Restoran Hantu..
Eh malah ketemu disini..
Yeeaaayyy.. ReyYumna.. Loveit
2022-04-10
0
NaMika
mbak susi ngikut ternyata😄😄😄
2022-01-13
0