"Permisi, Bu. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Yumna dengan logat kental daerah sini.
Bu Dina mendongakkan kepala. Menatap Yumna, lalu berdiri tegak di hadapan kami berdua.
Wajahnya baru terlihat pucat sekali. Dengan darah disekujur tubuhnya, disertai bau anyir menyerbak ke hidung kami, dan terlihat robekan di perutnya menampakkan isi bagian dalamnya. Tangan kanannya juga patah, terbalik ke belakang. Membuat miris yang memperhatikan.
"Hik... Hik.... Tolong bantu saya. Untuk memberikan tempat yang layak buat anak-anak. Saya tak bisa lagi berada di samping mereka," jawabnya dengan logat yang sama.
Yumna akhirnya pelan-pelan mengajak ngobrol dengan bahasa daerah mereka, yang sepertinya lebih nyaman digunakan oleh bu Dina.
Dia terlihat tak terlalu fasih berbicara bahasa nasional negara mereka. Meski masih bisa sedikit menanggapi kalau diajak bicara.
Menurut terjemahan dari Yumna, Bu Dina memang sudah meninggal. Jasadnya sudah dimakamkan oleh warga, di sekitar kampung dekat bandara. Dia tertabrak mobil saat memungut botol plastiknya yang menggelinding ke jalan raya.
"Astaghfirullah, lalu bagaimana caranya memberitahu Cici dan adik-adiknya?" tanyaku meminta pendapat dari bu Dina, yang lebih paham karakter anak-anaknya.
"Kata bu Dina, biarlah mereka menganggap kalau beliau pergi meninggalkan mereka," sahut Yumna mengartikannya untukku.
"Tapi, Bu. Kalau mereka tak tahu, mereka malah akan sangat berharap atas kembalinya ibu suatu saat nanti. Lebih kasihan lagi!" kataku sangat iba, meski cuma membayangkannya saja.
"Katanya beliau sudah pamitan pada Cici, anak tertuanya. Semoga dia bisa menjaga adik-adiknya dengan baik nanti," kata Yumna mengartikannya lagi.
"Kalau begitu, kami akan memberitahu pada Cici besok, sekalian mencari makamnya. Terserah dia ingin menyimpan rahasia ini sendiri, sampai adik-adiknya besar nanti atau tetap menjadi rahasianya sendiri."
Akhirnya bu Dina mengangguk setuju, pada usul yang ku berikan ini.
"Besok, aku dan kak Azzam akan mencari panti asuhan untuk anak-anak ibu. Supaya mereka juga lebih terurus di sana."
"Akan saya antar, karena kami lebih tahu daerah sini daripada kalian," kata Yumna ingin membantu juga.
"Terima kasih banyak. Terima kasih," katanya berulang kali, lama kelamaan semakin pudar, dan menghilang pergi.
"Ayo masuk. Besok kita juga harus daftar sekolah, jadi harus cepat menyiapkan banyak persyaratan. Terutama kamu yang bukan asli warga daerah sini," kata Yumna menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah.
"Siap, ayo!"
Kami melangkah bersama ke dalam rumah. Melanjutkan beres-beres calon kamarku, yang sempat tertunda sesaat.
Tepat setelah kami menyelesaikan semuanya, suara sepeda motor kak Azzam mulai terdengar dari luar.
"Aish... Yumnaa....., ini bahan masakan sama kopernya. Aku numpang mandi ya, lanjut sholat di sini. Sebentar lagi adzan magrib soalnya," kata kak Azzam menunjukkan jam di layar gawainya setelah kita keluar menemui mereka.
"Iya, terserah kamu mau apa. Yang penting dilarang masuk kamar aja!" sahut Yumna berkacak pinggang di depannya.
"Aku aja belum pernah masuk ke dalam. Mentok ya sampai ruang tamu ini aja. Eh, dianya malah dah numpang mandi juga!" kata Rey geleng-geleng kepala, dengan badan disandarkan di dinding dekat pintu masuk rumah, dan bersedekap di depan dada.
"Iri bilang, Bos. Maaf, permisi ya. Ini darurat lo!" kata kak Azzam cengengesan seperti biasa.
****
Pagi ini rasanya lelah sekali. Setelah seharian kemarin, aku dibantu Yumna menata kamar dan menyiapkan semua perlengkapan hari ini.
"Pagi, Aish! Hmmm.... Harum banget baunya, jadi laper kan kalau pagi-pagi sudah matang semua," kata Yumna mendekat padaku hendak membantu, tapi sudah ku selesaikan semua masakanku.
"Mandi dulu, trus sarapan. Kita makan sama-sama, setelah itu kita hubungi mereka buat jemput kita," usulku.
"Kamu sudah mandi?"
"Ya sudah dong tadi sekalian sebelum menghadapkan diri pada Illahi. Ayo, ku tunggu di meja makan ya!"
"Salah sendiri tadi gak bangunin, kan aku lagi halangan juga. Makanya sengaja alarm pagi ku matikan, he...."
"Bilang aja lagi males bangun pagi," kataku mengajak bercanda.
"Tau aja!"
Yumna segera membersihkan badan, dan bersiap menemuiku di meja makan.
"Gak salah memang kalau kamu jadi chef nanti. Enak sekali masakanmu soalnya," puji Yumna membantuku memberekan semua peralatan ini.
"Aamiin, doain aja ya."
Setelah selesai semua kami persiapkan, pintu ditutup untuk berjalan menuju rumah aparat setempat, guna melaporkan keberadaanku di rumah ini.
"Alhamdulillah, cepat juga ternyata laporannya. Sekarang, kita langsung ke kampus atau gimana?" tanyaku.
"Tuh, sudah ditunggu mereka berdua di teras. Yuk, langsung ke kampus aja!" ajak Yumna menunjuk kak Azzam dan Rey yang terlihat saat kami mencapai halaman rumah ini lagi.
Tanpa berlama-lama, kami berempat segera menuju kampus untuk mendaftarkan diri dengan minat masing-masing dari kami. Sampai siang hari, kami baru menyelesaikan semua urusan di sini.
" Jadi ke panti asuhan? " tanyaku pada Yumna.
" Ya jadi dong!" sahutnya mengajak Rey masuk ke mobilnya, untuk mengikuti kemauannya.
Aku dan kak Azzam masih membuntuti dari belakang, menuju panti asuhan. Sesampainya di tempat, aku dan Yumna langsung menceritakan tentang keluarga Cici dan nasib ibunya pada pengurus panti.
Alhamdulillah, beliau langsung setuju untuk menerima mereka di sini.
"Maaf, Bu. Ini ada sedikit rejeki untuk panti asuhan ini," sahut Rey mendahului kami.
"Maaf, ini juga!" kataku menyerahkan hasil patunganku dengan kak Azzam semalam.
"Terima kasih banyak. Tak dikasihpun, kami tetap akan menerima mereka di sini. Jadi kapan akan diajak ke sini?"
"Insyaa Allah besok, kalau adik Cici sudah sehat lagi."
"Baiklah kalau begitu, kami tunggu kedatangan mereka dengan senang hati."
Aku lega mendengar penuturan ibu panti. Sepertinya kami sudah melakukan hal yang tepat untuk mereka.
Langsung saja kami melaju lagi ke rumah sakit, tempat Cici dan adik-adiknya sekarang ini.
Sesampainya di rumah sakit, kami berpapasan dengan seorang wanita setengah tua yang diikuti oleh sosok bapak-bapak muda dari belakangnya.
Wanita itu terlihat murung sekali, dengan lelaki seumuran kami yang terus memapahnya. Sampai tak sadar, aku masih memandangi mereka meski berlalu semakin jauh meninggalkan kami di sini.
"Kenapa? Naksir!" kata kak Azzam yang ternyata melirikku dari tadi.
"Apaan sih? Aku lagi fokus sama sosok yang mengikuti ibu itu, trus pas diamati, kok kayaknya cowok yang gandeng ibu di sebelahnya tadi juga daftar di kampus kita."
"Tuh kan, ujung-ujungnya yang diperhatikan cowok yang gandheng ibunya. Bukan sosok yang ngikutin dari belakang?" kata kak Azzam sedikit mengejek.
"Sudahlah, ayo kita temui Cici dulu!" kataku segera mengehentikan sebelum ada perdebatan panjang.
Yumna dan Rey yang melihat kami, hanya diam saja sambil geleng-geleng kepala, dan meninggalkan kita.
"Woiy, tunggu!" kata kak Azzam menarik tanganku.
Ada rasa deg-degan dalam hati, tapi ku nikmati saja tanpa melepasnya lagi. Karena kita sudah pernah merasakan perpisahan lama sekali.
Seampainya di ruangan, Cici ternyata sudah bersiap untuk pulang. Hanya menunggu kedatangan kami, dan bangunnya adik-adik mereka yang masih menikmati enaknya tidur di kasur empuk rumah sakit ini.
Masih ditemani tetangganya, aku langsung menjelaskan semuanya.
"Ibuuuu....., ternyata benar kalau mimpi itu pesan darimu," tangis Cici sengaja tertahan, karena tak ingin adiknya mendengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
N Wage
berapa orang adik2 cici thor?
dan berapa umur mereka?
2024-04-17
0
Nurul Mulyati
lanjut
2021-11-29
0
Jihan Susanty
seruuuu
2021-08-06
0