"Kamu anaknya pekerja keras banget ya. Jadi malu kalau inget aku yang selalu mengandalkan ayah sama bunda," pujiku pada Yumna yang sedang membuka kunci pintu rumahnya.
"Ah, biasa saja. Aku tak sehebat itu, karena semua yang ku lakukan karena keadaan yang memaksa. Asalkan pekerjaan itu baik dan tak merugikan orang, ya jalanin saja. Ayo masuk!"
Pintu rumah sudah terbuka. Hawa dingin langsung menyeruak seketika. Hembusan nafas busuk juga sempat meremangkan bulu di tengkuk dari belakangku.
"WOIIIIIii..... Ngapain tiup-tiup leherku?" gertakku langsung berbalik, yang memang posisiku berjalan berada paling belakang.
"Aaaaarggghhhh.....," teriak seorang wanita berdaster putih, sempat melompat ke belakang saking kagetnya karena tatapan mataku.
"Ih, Susi biasa bikin orang kaget, sekarang mau ngerjain malah kaget sendiri. Gimana sih?" seru Yumna membuat kami semua tertawa.
"Anak ini juga bisa lihat saya? Gak seru! Ya sudah deh, saya keluar ke depan lagi saja," jawabnya kesal karena tak berhasil membuatku bergidik ngeri, seperti tamu lain yang sempat terbirit-birit oleh keisengannya.
"Maaf ya. Kalau sudah bikin jantungan," candaku membuatnya semakin sewot saja.
"Memang dia masih punya jantung?" tanya Rey datar tanpa senyum seperti biasa.
Aku sedikit heran dengan sikap dingin Rey, yang jarang sekali berbicara. Tapi sepertinya meskipun begitu, dari perhatiannya pada Yumna terlihat kalau Rey benar-benar tak bisa lepas darinya.
Memang Yumna anak yang mengesankan. Dan aku sangat ingin banyak belajar kemandirian dari dia. Jadi ku putuskan untuk tinggal di sini saja bersamanya. Apalagi sikap ramahnya membuat nyaman, saat mengajak kami keliling menunjukkan semua bagian dari rumah minimalis ini.
Mulai dari pintu masuk, langsung terlihat ruangan untuk menerima tamu, dengan sofa yang tak terlalu banyak kapasitas tempat duduknya. Kemudian berjalan masuk, sebelah kiri langsung ada ruang makan yang dilengkapi dengan televisi, yang kadang juga digunakan sebagai ruang santai.
Sedangkaan sebelah kanannya ada dua kamar yang berjajar, dengan pintu yang menghadap ke ruang makan menuju ke arah belakang.
Setelah menunjukkan kamar yang hendak ku huni kalau aku berminat nanti, kami berjalan lagi ke bagian paling belakang rumah ini. Di situ ada kamar mandi dan dapur yang tertata rapi.
"Gimana, Aish? Rumahnya ya gini saja. Kecil karena memang bisanya beli yang seperti ini," kata Yumna setelah menunjukkan bagian-bagiannya.
" Kamu yang pilih sendiri. Kalau kamu mau, bisa aku carikan apartemen yang lebih luas, atau rumah yang lebih besar. Tapi kamu tolak!" seru Rey mulai bersuara lagi.
"Aku hanya ingin membeli dengan uang hasil kerjaku sendiri. Aku takut gak sanggup melunasi kalau terlalu jauh di batas kemampuan yang bisa ku hasilkan," jawab Yumna terdengar sangat dewasa, dan bertanggung jawab sekali meski usianya tak jauh beda dengan kami.
" Yumna, kalau diperbolehkan, aku akan sangat senang sekali tinggal di sini. Berapapun biaya sewanya, akan aku usahakan bayar nanti. Tapi sampai aku dapat pekerjaan, karena aku ingin belajar mandiri seperti kamu."
"Kalau kamu sudah mendapat keluarga yang bisa mencukupi kebutuhanmu, tak perlu kau memaksakan diri. Syukuri dengan membuat orangtuamu bangga, atas apa yang mereka berikan untuk membiayai kamu di sini."
"Terima kasih. Aku malu sekali sama sifatku yang jauh kekanakan dari kamu," kataku terharu, langsung memeluk sahabat baruku.
"Lalu, berapa sewa yang harus aku bayar?" tanyaku mulai serius untuk tinggal di sini.
"Bayarlah dengan janji, untuk membantuku memasak nanti. Karena aku sama sekali tak pandai soal itu, justru Rey yang biasa memasakkan untukku," sahut Yumna tersenyum tulus lagi.
"Siap, aku yang akan memasak di sini," ucapku membalas senyumnya.
"Oke, karena sudah deal soal tempat tinggal, jadi kami pamit pulang dulu sebentar. Buat ambil koper dan belanjaanmu tadi siang."
"Iya, Kak. Hati-hati, dan terima kasih!" kataku pada kak Azzam.
"Kamu aja pulang sendiri, aku masih ingin di sini," sahut Rey dingin seperti sebelumnya.
"Ayo bantuin aku kemasin barang yang mau dibawa ke sini!"
Kak Azzam menarik paksa tangan Rey, yang dari tadi bersedekap di depan dada.
"Aku tunggu di sini saja, jagain mereka berdua," kekeh Rey masih berat meninggalkan rumah ini.
"Gak usah dijagain, mereka sudah dewasa. Kalau ada kamu sendiri di sini, malah gawat nanti."
Semakin kencang tarikan itu, sampai berhasil membuat Rey pasrah mengikuti langkah kak Azzam pergi.
"Maaf, masih berantakan rumahnya. Tadi terburu-buru pergi soalnya," kata Yumna membereskan beberapa buku yang masih tergeletak di meja ruang tamunya.
"Aku bantu ya. Sambil nunggu koper juga."
"Tak usah, kamu pasti capek. Sebentar lagi ku siapkan juga kamar untukmu. Kamar nenek sudah lama tak ada yang menempati. Jadi harus dibersihkan sebentar sebelum di tempati lagi. Gak apa-apa 'kan?"
"Kita kerjakan bersama, biar cepat. Setelah kak Azzam datang, kita bisa langsung masak buat makan malam," kataku menggandeng tangannya agar yakin kalau aku benar-benar berharap dipercaya untuk menjadi sahabatnya.
"Sip, terima kasih kalau kau mau temani aku tinggal di sini. Jadi tak merasa sepi lagi kalau aku sedang libur kerja," jawab Yumna sambil berlalu ke kamar yang hendak dia bersihkan untukku.
"Memang kamu sekarang kerja dimana?" kataku mengikutinya.
"Rey memiliki sebuah pujasera yang terletak di dekat tempat wisata. Ada banyak makanan dari banyak negara di sana. Nah, aku bekerja di salah satu gerainya. Yang kebetulan merupakan masakan dari negara asal kalian," jelas Yumna panjang lebar tentang pekerjaannya.
" Wah, jadi pengen ke sana. Kalau aku melamar kerja, kira-kira diterima nggak ya? "
" Serius kamu mau kerja?"
" Pengennya sih iya, tapi aku harus minta ijin ke bunda dulu," kataku sambil mengganti sprei yang sudah disiapkan Yumna, saat dia sedang mengelap semua barang dari debu.
" Iya, sebaiknya kamu minta ijin terlebih dahulu. Biar lancar semua yang kamu lakukan nanti. "
Obrolan sore ini masih kami lakukan sambil saling mengenal satu sama lain. Dari cerita yang ku dengar darinya, masa kecilnya juga hampir bernasib sama sepertiku.
Tak ada teman, karena kami memiliki mata kedua, yang tak semua orang punya. Bedanya, aku dijauhi bahkan dibully oleh mereka. Sedangkan Yumna, dia tak terlalu percaya diri, dan memilih untuk menyembunyikan kemampuan yang dia miliki.
"Hik... Hikk..... Hikk.....," suara tangisan perempuan terdengar dari luar tiba-tiba.
"Yumna dengar? Apa itu kerjaan Susi lagi?" heranku memandang penuh tanya pada Yumna.
"Iya, aku dengar. Tapi itu bukan suara Susi. Kita lihat saja dulu, yuk!"
Yumna membuka jendela di sebelahnya. Karena suaranya seperti di luar, tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Ada perempuan, nangis!" kata Yumna menunjuk ke bawah pohon samping rumanya.
"Astaghfirullah, bu Dina?" ucapku ikut melihat keluar.
"Kamu kenal?"
"Tak terlalu sebenarnya, tapi boleh kita coba komunikasi dengannya? Karena anaknya sedang dirawat di rumah sakit, tempat kita ketemu tadi pagi," jelasku hendak memanggil sosok yang aku belum tahu maksud dia mengikutiku.
"Namanya siapa? Coba aku bantu bicara dengannya."
"Bu Dina. Apa tak sebaiknya kita ke sana saja, biar bisa lebih dekat untuk membicarakan masalahnya. Soalnya dia sering muncul di sekitarku, tapi tak mau saat ku ajak bicara banyak," usulku.
"Ide bagus, ayo!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
N Wage
berarti kira2 aisyah dan azzam berasal di negara tetangga.
2024-04-17
0
✪⃟𝔄ʀ sⷡεͬɴͦɢͫᴏͦᴛ ʰᶦᵃᵗ🦈
makin penasaran
2021-09-16
2
Siti Fatimah Fatimah
AQ masih baru awal langsung baca ini jadinya masih nyimak dulu😊
2021-08-30
1