Razka menjatuhkan tubuhnya pada kepala ranjang, ia baru saja menidurkan Putri kecilnya. Ia melirik pada Ayra yang tertidur dengan damai. Wajahnya bertambah cantik saat ia tersenyum dalam tidurnya. Mungkin dia sedang bersama Ibunya saat ini.
Begitulah anggapan Razka, ia percaya apa yang dikatakan Ayra tentang bertemu dengan Aisyah adalah benar. Ku harap kau pun akan datang ke dalam mimpiku, sayang. Aku ingin melihat senyummu meski hanya dalam mimpi. Aku ingin mendekap tubuhmu walau hanya di alam bawah sadarku. Aku merindukanmu.
Wajahnya mengamati wajah Ayra yang begitu mirip dengan Aisyah. Tangannya mengusap-usap lembut rambut Ayra untuk membuatnya semakin terlelap.
"Kali ini, kau sedang bermimpi apa, sayang?" gumam Razka lirih. Ia mengukir senyum di bibirnya. Hanya melihat senyum Ayra sudah cukup baginya mengobati kerinduan hati pada sang kekasih.
Razka menarik napas dalam, ia menghembuskannya dengan sangat perlahan. Wajahnya telah kembali berpaling dari Ayra. Ia menatap langit-langit kamarnya. Menatap pada sebuah gambar yang terpasang dengan kokoh tepat di dinding di hadapannya.
Foto pernikahannya dengan Aisyah. Wanita itu terlihat bahagia meski wajahnya ditutupi niqab. "Kau cantik dan tetap yang tercantik bagiku," katanya dengan senyum menawan yang ia tujukan pada gambar di sana.
Ting
Suara pesan masuk ke dalam ponselnya, mengalihkan perhatiannya dari gambar wanita yang sedang tersenyum di hadapannya.
Ponsel yang digunakan Razka saat ini, adalah ponsel yang digunakan Aisyah saat ia masih hidup. Razka tidak berniat menggantinya. Ia menjaganya dengan baik, berharap agar Aisyah selalu berada di sisinya.
Razka menggeser layar kunci ponselnya, Rendy? batinnya berucap dan dahinya berkerut. Ia membuka pesan WhatsApp itu dan membacanya.
Tuan Muda! Apa yang terjadi?
Begitu bunyi pesan dari Rendy. Dahi Razka semakin berkerut dalam. Pertanyaan apa yang sedang ditanyakan Rendy. Ia beranjak perlahan, sesekali akan melirik Ayra. Takut tidur nyenyak Putrinya akan terganggu.
Razka turun dari ranjang, ia berjalan keluar dari kamar menuju balkon kamarnya. Razka menutup pintu balkon untuk mencegah angin malam masuk ke dalam kamarnya.
Razka melakukan panggilan pada Rendy. Dan dengan cepat orang di seberang sana mengangkatnya.
"Tuan Muda!" katanya dengan nada cemas yang dapat ditangkap dengan jelas oleh Razka.
"Ada apa Ren? Sepertinya ada hal yang tidak beres," ucap Razka. Ia berdiri di balkon menatap pada lampu taman yang gemerlap. Di sanalah istrinya terbaring. Mungkin saja ia sedang menatapnya saat ini dari tempatnya beristirahat.
"Tuan Muda, maafkan saya. Tapi, salah satu orang yang saya tugaskan menjadi mata-mata di sebuah media melaporkan pemberitaan yang akan ditayangkan esok pagi," jawab Rendy.
"Pemberitaan? Berita apa?" tanyanya.
"Sepertinya wanita itu tidak menyerah untuk mendapatkan Anda, Tuan Muda. Dia mengatakan kebohongan pada seorang wartawan tentang Anda dan dirinya," tukas Rendy.
Razka mendesah, ada kesal dan jengah dalam hatinya terhadap wanita yang sore tadi membuat keributan di restaurannya. Ia menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon.
"Kau bisa mengurusnya bukan? Jangan sampai berita itu disiarkan esok pagi. Atau buat saja pemberitaan tentang dirinya. Agar dia tahu diri, dan sadar dengan siapa dia berhadapan!" ucap Razka tegas.
"Baik, Tuan Muda! Sesuai perintah Anda!" ucapnya tegas. Razka menutup sambungan teleponnya. Ia berbalik dan kembali menatap taman yang dipenuhi cahaya lampu.
Ia teringat pada beberapa Minggu lalu, di mana dirinya baru saja menyelesaikan dapat bulanan bersama Roy dan karyawan lainnya.
#Flashback on
Di lantai dua restauran Razka, ia dan Roy juga dua orang karyawannya yang lain sedang mengadakan rapat bulanan. Evaluasi bulanan rutin dilakukan Razka untuk menghadirkan cita rasa makanan yang dapat diterima oleh penduduk di sana.
Membacakan kritik dan saran yang ditulis para pengunjung restauran. Itu pun sangat berguna untuk perkembangan bisnis restaurannya.
Satu per satu kertas dari dalam kotak kritik dan saran dikeluarkan dan dibacakan. Ke semuanya adalah kepuasan pengunjung akan pelayanan dan kualitas masakan yang disajikan.
Namun, tak jarang juga ada yang mengkritik dan ada yang memberikan saran. Di pintu masuk restaurannya, tersedia sebuah kotak kayu dengan kertas note dan pulpen yang tergantung di sampingnya.
Kritik dan saran dari pengunjung akan ditulis oleh karyawan yang bekerja sebagai sekretaris Roy. Dia akan membacakan ulang apa yang ditulisnya, kemudian mereka membahasnya bersama-sama sampai menemukan titik temu yang pas untuk mereka.
Usai rapat evaluasi, satu per satu dari mereka meninggalkan lantai dua bangunan itu dan hanya menyisakan Razka yang duduk di kursi menghadap jendela. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat stand penjualan tempatnya dan Aisyah berjualan dulu.
Tok tok tok
Sebuah ketukan pada pintu, membuyarkan lamunannya tentang kenangan dirinya bersama Aisyah.
"Masuk!" Suara tegasnya memenuhi ruangan itu. Roy masuk kembali ke ruangan Razka. Ia berjalan mendekat pada tempat Razka duduk.
"Ada apa Roy?" tanyanya setelah memutar kursinya menghadap Roy. Ia membungkuk sebentar sebelum menjawab.
"Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda, Tuan Besar," katanya. Razka mengernyit, ia tidak ingat ada janji pertemuan dengan seseorang.
"Siapa?" tanyanya singkat. "Keluarga Wibowo," jawab Roy. Razka mengerutkan dahinya bingung, untuk apa keluarga yang selalu ingin tenar itu mendatanginya.
"Di mana mereka?" tanya Razka lagi. "Mereka berada di gazebo samping restauran, Tuan Besar. Menunggu Anda di sana," tukasnya lagi.
"Baiklah, aku akan menemui mereka nanti. Berikan saja minuman untuk menemani mereka selama menungguku," titahnya.
Roy mengangguk, ia membungkuk sebelum berbalik dan melangkah pergi dari ruangan Razka di lantai dua itu. Razka kembali membalik kursinya menghadap jendela. Ia memandang rindu pada tempat di mana Aisyah berjualan.
"Ah sial! Aku tidak ingin menemui mereka. Untuk apa sebenarnya mereka ingin bertemu denganku?" Ia menggerutu.
"Seandainya ada Ren di sini, aku tidak perlu menemui mereka. Ah aku merindukanmu Ren!" sesalnya. Terbayang olehnya tawa jahil Rendy saat apa yang ia ucapkan terdengar olehnya.
"Ah, kau pasti akan menertawakanku seperti itu!" katanya terkekeh sendiri. Kehadiran sosok Rendy begitu berarti baginya. Ia selalu tahu apa yang harus dilakukan saat Razka sedang dihadapkan dengan masalah.
Pada akhirnya, meski dengan malas ia meninggalkan kenyamanan kursi kenangannya. Berjalan gontai menuruni tangga menuju lantai satu.
Karyawan yang berpapasan dengannya akan membungkuk memberi hormat padanya. Ia terus melangkah, menuju gazebo samping restauran.
Razka menghentikan langkahnya sejenak saat ia melewati seorang pelayan yang sedang membawa sebuah nampan berisi gelas kosong.
"Berikan aku minuman yang akan mendinginkan pikiranku," katanya. Ia kembali meneruskan langkahnya setelah pelayan itu mengangguk.
Dari kejauhan, ia dapat melihat dua orang sedang duduk di salah satu gazebo. Laki-laki Tua dan wanita muda. Razka menarik napasnya perlahan dan menghembuskannya dengan kasar. Sesungguhnya ia begitu malas.
Benar saja.
Baru saja ia melewati pintu yang menghubungkan dua tempat pengunjung itu, laki-laki tua di sana berdiri seolah menyambutnya.
"Oh, Tuan Besar! Kami telah menunggu Anda. Mari duduklah bersama kami di sini!" katanya semangat.
Cih, Razka berdecih sebal. Sok akrab. Memangnya siapa dia? Kenapa seolah-olah sudah sangat akrab dengannya. Ia mengumpat dalam hati. Kenapa hari ini harus bertemu dengan orang sepertinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments