"Ayah, apakah kita akan ke restauran hari ini?" tanya gadis kecil yang saat ini sedang didandani oleh ayahnya. Karena ini akhir pekan, maka yang akan mengurus Ayra adalah Razka sendiri.
"Tentu saja, kau ingin ke mana hari ini?" tukas Razka sembari terus menyisir rambut panjang Ayra dengan lembut. Razka bahkan sudah pandai menguncir rambut gadis kecilnya.
Lihat saja, tangannya yang besar itu dengan lihai menggulung rambut halus Ayra dan mengumpulkannya di tengah. Tangan kirinya dengan kokoh menggamit rambutnya, sedangkan tangan kanannya menyiapkan ikat rambut yang akan ia ikatkan pada rambut putrinya.
"Aku ingin memakan soto di kedai nenek," jawabnya. Jemarinya memainkan boneka kesayangannya.
Razka tersenyum, ia menatap pantulan putrinya di cermin besar. Cantik dan serupa dengan mendiang Aisyah.
"Selesai!" serunya ringan. Ia merapikan anak rambut Ayra yang tidak ikut terikat. Melangkah ke hadapan gadis kecilnya dan berjongkok di sana.
Razka memegang tangan Ayra yang sedang memainkan boneka. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Mau main di mall?" tawar Razka. Ayra berpikir sejenak, entah apa yang sedang dipikirkannya Razka pun tak tahu.
"Apakah para lelaki itu akan ikut?" tanya Ayra dengan raut wajahnya yang hampir membuat Razka tertawa.
Razka mengangkat bahunya, "Ayah tidak tahu," jawabnya. Ayra menghela napas. "Baiklah, kita ke mall. Tapi, setelah makan soto nenek," katanya dengan antusias menyebutkan soto nenek.
"Ok!" sahut Razka. Ia membantu Ayra turun dari kursi. Celana panjang, kaus panjang, sepatu, rambut ekor kuda, tangan yang bergandengan, mereka berdua keluar dari kamar setelah Ayra meletakkan bonekanya di atas ranjang. Menuruni anak tangga menuju lantai satu. Setelah beberapa bulan kepergian Aisyah, Razka kembali menempati kamarnya bersama Ayra.
Mereka menuruni tangga dengan riang, mata Ayra seketika berbinar saat melihat sesosok laki-laki di bawah tangga yang berdiri bersama ibunya.
"Kak Bryant?" panggilnya seraya melepaskan tangannya dari Razka dan menghampiri Bryant yang sudah menunggunya.
"Hallo little girl! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Bryant, ia meraih tangan mungil Ayra dan menggenggamnya.
"Aku baik, Kakak mau pergi ke mana?" Suaranya lucu yang membuat gemas wanita yang berdiri tak jauh dari mereka tersenyum.
"Hallo beauty, kami akan menemanimu bermain," katanya mengusap lembut rambut Ayra. Sasha ikut mencurahkan kasih sayangnya untuk Ayra. Ia membawa bayi perempuan yang digendongnya, buah hati keduanya bersama Rendy.
"Hai, Lucy! Apa kau pun akan menemani Kakak bermain?" tanyanya pada bayi yang baru saja berusia dua tahun. Tapi bayi itu mengerti. Ia mengangguk.
"Main, Kakak," katanya dengan suara dan cara bayi berbicara. Lucu dan menggemaskan. Razka yang sedari tadi hanya berdiri di tangga memperhatikan kelucuan putrinya, melangkah menghampiri mereka.
"Tuan Muda!" sapa Sasha sedikit menundukkan wajahnya saat Razka sampai di hadapan mereka. Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai balasan.
"Ayo sarapan dulu! Come on jagoan!" ajaknya pada Ayra dan Bryant. Beradu kepalan tangan dengan bocah laki-laki itu sudah menjadi kebiasaan rutin mereka.
Rendy dan Sasha memutuskan untuk keluar dari apartemen Rendy dan membeli rumah di sekitar rumah besar Razka. Setiap harinya Sasha akan ikut merawat Ayra bersama Emil dan Mega juga mamah dan bibi Nuri secara bergantian.
Rendy masih memegang kendali perusahaan, dengan Ferdi yang duduk sebagai CEO dan sudah mendapatkan kepercayaan dari para pemegang saham karena kerja kerasnya.
Sedangkan Razka, ia lebih memilih memegang kendali restauran cabang miliknya yang berada tak jauh dari stand penjualan ibu kota.
Mereka melangkah masuk ke dalam ruang makan, sudah ada mamah dan papah, bibi Nuri dan paman Max, tapi tidak ada Emil dan Fachru. Ke mana mereka?
Kepala Ayra menoleh ke kanan dan kiri mencari mereka. "Omah? Di mana mamah Emil dan papah Fachru? Juga adik Akmal?" tanyanya pada mamah Quin yang menggendongnya dan mendudukkannya di atas kursi makannya.
Razka masih menjadi kepala keluarga di rumah itu, ia duduk di tempatnya. Dilanjutkan kursi Aisyah yang kini menjadi tempat duduk gadis kecilnya.
"Mungkin masih di kamarnya, sayang. Kau tahu bukan? Adikmu yang itu susah sekali bangun pagi," ucap mamah diiringi kekehan dari keduanya.
Tak lama orang yang mereka bicarakan muncul. Fachru tidak ke rumah sakit hari ini, ia berencana akan berlibur dengan Emil dan buah hati mereka. Akmal, yang berusia empat tahun, satu tahun di bawah Ayra.
"Selamat pagi semuanya! Wah, ada Bryant. Apa kabarmu jagoan?" sapa Emil pada semua orang. Ia mengusap kepala Bryant saat menegur bocah itu.
"Baik, Aunty," jawabnya. Usia Bryant saat ini, delapan tahun. Ia telah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga. Tak lama setelah mereka duduk, Deri datang mencium pipi mamah dan papah dan duduk di kursinya.
Ia sudah benar-benar menjadi pemuda sekarang. Lima tahun telah berlalu setelah kematian Aisyah, tidak mudah bagi mereka memulihkan diri dari kondisi keterpurukan. Deri kini sudah berkuliah, rasanya ia yang paling merasa kehilangan Aisyah.
Mereka makan dengan hening, hanya Emil yang terlihat kerepotan karena putra mereka yang belum bisa makan sendiri. Sedangkan Ayra, ia begitu sempurna saat menyendok nasi dan menyuapkannya ke dalam mulut.
Aksi Emil dan Akmal selalu menjadi hiburan di meja makan. Ia yang menyuap makanan setelah menyuapi Akmal, bergantian dengan Fachru. Dokter itu kini sudah menjadi seorang ayah. Ia menepati janjinya pada Razka dan Aisyah untuk menyayangi Emil. Mereka bahkan sering berkunjung ke rumah tuan Nugraha.
"Ayo Akmal, buka mulutnya sayang. Aaaa," ucap Emil merayu Akmal yang menutup rapat mulutnya tak mau makan.
"Sayang," rengek Emil pada Fachru meminta bantuannya untuk merayu Akmal agar mau membuka mulutnya. Fachru yang melihatnya, meletakkan sendoknya dan memutar tubuh Akmal agar berhadapan dengannya.
"Akmal makan dulu ya, sayang nasinya. Kasian nenek Sum yang sudah capek memasak. Makan ya," rayunya. Tapi Akmal justru menggeleng.
Emil dan Fachru saling menatap satu sama lain. Razka hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
"Kakak akan pergi ke mall, jika Akmal tidak mau makan, Kakak tidak akan mengajak Akmal bermain," celetuk Ayra tanpa menoleh pada Akmal. Ia hanya terus fokus pada nasi di piringnya.
Bocah berusia empat tahun itu, berpaling pada Ayra. Sedikit binar di matanya menandakan bocah itu begitu antusias mendengar kata mall.
"Benarkah?" tanyanya. "Eem," balas Ayra dengan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Jika begitu, aa," ucapnya yang sontak saja mengundang gelak tawa dari semua orang yang ada di meja makan itu.
Ayra seperti senjata pamungkas untuk Akmal di saat dia tidak bisa dirayu oleh kedua orang tuanya. Bocah laki-laki itu begitu takut, jika Ayra tidak akan mengajaknya bermain.
Mendengar Ayra akan ke mall, ia dengan lahap menghabiskan makanannya disuapi Emil yang turut tersenyum bahagia saat menyuapi Akmal.
Fachru selalu bangga pada gadis kecil itu, ia mirip Aisyah. Melihat Ayra dan mendengar celotehannya, selalu mengingatkannya pada sosok Aisyah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
susi 2020
🥰🥰🥰
2023-09-05
0
susi 2020
😘😘
2023-09-05
0
Ardika Zuuly Rahmadani
masih bingung dengan masing" peran dari keluarga besar itu
2021-07-17
1