Hingga waktu memasuki sore hari, mereka kembali berkumpul di gazebo usai melaksanakan shalat Ashar.
Kali ini berada di gazebo belakang, tempat para karyawan beristirahat setelah shalat, atau untuk makan siang.
Sam menyelidik Ayra dengan tatapan heran, gadis kecil yang sekarang sedang duduk di depan kolam kecil bersama boneka yang yang terbuat dari tangkai daun singkong, para karyawan sengaja menanamnya untuk mereka rebus sebagai lalapan. Razka tidak mempermasalahkan itu.
Seorang karyawan laki-laki yang berasal dari suku Sunda yang membuatkannya boneka itu. Ia membuatkan tiga buah boneka. Ayra sedang bermain bersama mereka.
Itu pun tak luput dari pandangan Razka. Gadis kecil itu selalu meminta dibuatkan mainan pada karyawan Ayahnya. Terkadang ia ikut membantu meski harus bermain dengan tanah liat.
"Hei, apa kau ingin mencurinya dariku?"
Razka dan Sam sama-sama menoleh saat suara bentakan terdengar dari arah Ayra. Mereka terperangah saat mendapati Ayra hanya berbicara seorang diri.
"Untuk apa aku mencurinya? Sementara dia sendiri yang datang kepadaku?"
Itu suara Ayra lagi, kedua tangannya memegang masing-masing satu boneka. Dan satu boneka lagi, ia letakkan bersandar di batu.
Apa yang sedang dia lakukan? Razka dan Sam sama-sama fokus pada peran yang sedang dimainkan Ayra. Mereka berdua terdiam mendengarkan.
"Cukup!" Suara bentakan Ayra yang melengking. Ia meletakkan kedua boneka yang dipegangnya bersandar di batu. Di tangannya hanya ada satu boneka yang tadi tidak dimainkannya.
Razka dan Sam mengerjap, terus memperhatikan peran apa yang sedang ia lakonkan.
"Aku tidak ingin memilih di antara kalian! Aku akan pergi saja!" Suara mungil Ayra terdengar lucu. Tangannya bergerak menjauhkan satu boneka yang dipegangnya dan ia sembunyikan di balik pohon bunga.
Ia kembali memerankan dua boneka, kanan dan kirinya. "Hei, tunggu! Jangan pergi!" Ayra menggerakkan salah satu tangannya, tangan yang lain hanya terdiam.
"Sudahlah, dia sudah pergi. Kita harus belajar dari kejadian ini. Bahwa tak selamanya cinta itu harus memiliki."
Suara bijak Ayra, ia menyudahi permainannya. Meletakkan ketiga boneka secara bersamaan. Razka dan Sam mengerjap, mendengar kalimat terakhir dari Ayra, membuat Sam seketika tersadar.
Benar, bahwa tak selamanya cinta harus memiliki. Bocah itu! Sudah seperti mengerti tentang hidup.
Ayra beranjak berdiri, ia menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan debu yang menempel.
Hah~ Gadis kecil itu menghela napas. Ia berbalik dengan senyuman, tapi seketika saja hilang. Saat ia melihat Razka dan Sam yang terbengong menatapnya.
"Ayah? Paman? Apa yang kalian lakukan? Kenapa menatapku seperti itu?" bentak Ayra yang membuat Razka dan Sam mengerjap beberapa kali lalu tersadar.
"Eh?" Mereka tersadar, lalu saling menatap satu sama lain. Dan bersama melempar pandangan pada Ayra.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Gadis kecil itu berteriak tidak suka saat kedua laki-laki dewasa di hadapannya, menatapnya dengan penuh selidik.
Mereka menggeleng kompak, dengan mulut terkunci rapat tak ingin menjawab pertanyaan Ayra.
Gadis kecil itu mendengus, ia berjalan cepat sembari menghentak-hentakkan kakinya di jalan berbatu. Ia duduk di antara Razka dan Sam.
Kedua laki-laki itu menatap Ayra lalu saling menatap saat Ayra duduk di antara mereka. Ayra melihat bergantian kedua laki-laki di kedua sisinya.
"Apakah benar dia berusia lima tahun?" tanya Sam memastikan. Ayra tidak bereaksi, ia hanya terdiam melihat bergantian Ayah dan temannya. Razka hanya mengangguk tanpa membuka mulutnya.
"Tapi, ku rasa hanya fisiknya saja yang berusia seperti bocah Lima tahun. Tidak tahu usianya yang sebenarnya," ujar Sam yang membuat Razka membelalak. Bagaimana mungkin?
Razka kembali menendang kakinya yang menggantung, "Aku yang menemani istriku melahirkannya, aku yang merawatnya, bagaimana mungkin usianya lebih tua dari ini!" hardik Razka tidak suka. Sam hanya mengangkat bahunya.
Razka mendengus. Ia menarik Ayra ke dalam pangkuannya, saat Sam hendak menyentuh tubuhnya. Mendekapnya erat membuat Ayra mendongak menatap Ayahnya.
"Little girl, dari mana kau mendapatkan kata-kata itu?" tanya Sam pada gadis kecil yang sedang duduk nyaman di pangkuan Ayahnya.
Ayra mengernyit, ia tidak mengerti maksud dari pertanyaan Sam. "Aku tidak mengerti yang Paman maksud?" Dia balik bertanya.
"Tadi kau bermain apa?" tanya Razka ikut penasaran sama seperti Sam. Ayra mendongak sebentar lalu kembali menatap Sam yang matanya berbinar berharap jawaban.
"Aku hanya sedang bermain, kedua laki-laki itu sedang memperebutkan satu wanita yang sebenarnya tidak mencintai salah satunya. Itu saja," jawabnya. Razka dan Sam saling menatap tidak percaya lalu menggeleng kompak.
"Dari mana kau tahu soal itu?" selidik Razka. Ayra menggeleng. "Aku hanya bermain saja Ayah, hanya itu!" tegas Ayra gemas.
Razka dan Sam menghela napas bersamaan. "Ada yang berbeda dari Putrimu!" ujar Sam yang baru menyadari bahwa gadis kecil itu berbeda dengan balita seusianya. Razka hanya menggeleng tidak tahu.
Razka teringat sesuatu, "Sayang, Ayah minta maaf padamu," katanya merasa bersalah.
"Kenapa Ayah meminta maaf?" tanya Ayra. Ia berbalik menghadap Ayahnya. Mengalungkan kedua tangannya di leher Razka.
"Ayah ... Tadi melihatmu belajar di sekolah," jawabnya. Ayra tersenyum, ia sepertinya senang saat Razka mengucapkan itu.
"Apa Ayah melihat semuanya?" tanyanya dengan senyuman lugu nan polos miliknya. Razka mengangguk. Ayra hanya tersenyum.
"Apa dia sering melakukan itu?" tanya Razka, Ayra hanya mengangguk menanggapi. Dan Sam bingung tapi tetap mendengarkan.
"Kenapa kau tidak menjawab dengan benar saat guru itu memintamu menyebutkan huruf?" tanya Razka lagi, "apakah gurumu sering memintamu maju ke depan seperti tadi pagi?" sambungnya bertanya lagi.
Ayra mengangguk, "Guru sering memintaku membaca huruf di papan tulis, aku hanya harus menyebutkan dengan benar semua huruf yang tertulis di sana. Tapi, Ibu mengatakan untuk tidak memperlihatkan apa yang ada dalam diriku kepada orang lain. Ibu memintaku untuk menjadi balita lima tahun saat di sekolah, polos dan tidak tahu apa-apa. Walau sebenarnya aku tahu semuanya," jawab Ayra yang membuat Razka terdiam.
Sam seolah terhipnotis mendengar penuturan gadis kecil itu. Ia bingung sekaligus takjub, itu artinya gadis kecil itu tahu betul berapa usianya saat ini, dan bagaimana seharusnya kelakuan balita seusianya. Dia berbeda, sungguh berbeda.
Sam mengagumi Ayra dalam diamnya, ia mengukir senyum untuk gadis kecil itu. Ia memandang bergantian Ayah dan anak yang sedang bercakap-cakap.
"Ibumu?" tanya Razka dengan dahinya yang berkerut, Sam pun ikut bertanya dalam hati. Bukankah Ibunya telah meninggal. Ayra hanya mengangguk.
"Bagaimana kau tahu itu Ibumu?" Akhirnya Sam yang bertanya. Ayra menoleh padanya. Kali ini tatapan matanya menghangat, tetap lugu layaknya anak seusianya.
"Aku tahu, Ibuku bahkan selalu datang setiap malam setelah Ayah menidurkanku. Dia selalu menemaniku setiap malam, mengajariku banyak hal dan juga menceritakan tentang apa saja untuk aku ketahui. Aku tahu Ibuku, Paman," tegas Ayra.
Suara mungilnya yang terdengar lembut, begitu menyentuh di telinga Sam dan Razka. Sam hanya tersenyum, ia tidak menimpali apa yang diucapkan balita itu.
"Kau sering didatangi Ibumu?" Razka bertanya heran, Ayra kembali menoleh padanya dan mengangguk. Razka mendesah.
"Pantas saja Ibumu tidak pernah mendatangi Ayah, ternyata setiap malam dia bersamamu," tukas Razka dengan suara yang lesu. Ayra terkekeh.
"Ayah ingin bertemu Ibu?" tanyanya polos. Razka mengangguk, "Tentu saja Ayah sangat merindukannya," jawabnya antusias. Sam masih tersenyum.
"Apa kau bisa menyampaikan pada Ibumu untuk datang menemui Ayah?" tanya Razka dengan binar harap di matanya.
"Tentu saja, aku akan mengatakannya pada Ibu untuk menemui Ayah," tukas Ayra menyanggupi.
Razka tersenyum, "Benarkah?" Ayra mengangguk. "Ayah tahu, apa yang selalu dikatakan Ibu saat menemuiku?" tanya Ayra. Razka menggeleng, Sam memfokuskan pendengarannya.
"Ibu mengatakan, Ibu selalu mencintai kalian. Ayra dan Ayah, Ibu selalu mencintai kalian. Ibu bahagia saat melihat kalian tersenyum, jangan pernah bersedih lagi. Karena Ibu di sini sudah bahagia. Saat kebahagiaan datang, jangan pernah menolaknya. Itu yang dikatakan Ibu," jawab Ayra.
Sam bertambah kagum pada gadis kecil itu. Razka terharu, sudut matanya berair, ingin menangis. Tangan mungil Ayra mengusapnya. "Jangan pernah menangis, ada aku di sisi Ayah," katanya.
Razka terkekeh, "Kau pandai merayu. Bagaimana Ayah bisa bersedih, sementara bidadari Ayah selalu membuat Ayah bangga padanya," timpal Razka.
Muncul binar di manik hitam Ayra, "Apakah aku sekeren Daddy?" tanyanya, Razka mengernyit. "Daddy?" Razka balik bertanya. Sam ikut mengkerutkan dahinya.
"Mmm, Daddy. Bukankah Daddy keren selalu membantu Ayah," ujarnya polos. Razka mendengus tidak suka.
"Kau memuji laki-laki lain di hadapan Ayahmu sendiri?" katanya tidak suka. Ayra terkekeh, diikuti tawa kecil dari Sam.
"Daddy memang keren, tapi Ayah yang terhebat untukku," gombalnya. Razka menatapnya dalam diam, "sungguh!" sambung Ayra mengangkat dua jarinya tanda bersungguh-sungguh.
Razka menghela napas, "Baiklah Ayah mengalah. Sepertinya Papahmu yang mengajari cara kau merayu," ungkapnya. Ayra hanya terkekeh.
"Tuan Besar!" Suara Roy menghentikan gelak tawa di antara mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
Wati Simangunsong
itu lahh bidadari yg d utuskn untk mngganti bidadari yg tlah pergi
2021-02-03
1
St Nurul NG
Semangat berkarya kak, sukses selalu buat kakak
2021-02-03
1