Almahyra Putri Pratama, adalah seorang gadis kecil berusia lima tahun yang periang. Cerdas dan berhati baik. Meski diasuh oleh seorang ayah, tapi Ayra sebutan untuknya, gadis kecil itu tidak kekurangan kasih sayang seorang ibu.
Ia tumbuh dengan limpahan kasih sayang dari semua orang yang ada di rumahnya. Mendapatkan nasihat yang baik yang berbeda dari setiap orang. Semuanya ia serap dengan baik. Ia simpan di otaknya, agar selalu mengingat setiap nasihat yang diberikan.
Saat ini, ia sedang berbaring bersama Razka. Ayah sekaligus ibu untuknya. Razka pandai memainkan perannya, saat gadis kecilnya membutuhkan sosok ayah, ia akan berperan sebagai ayah yang bertanggungjawab. Dan jika Ayra membutuhkan sosok ibu, Razka pun akan dengan senang hati berperan menjadi sosok ibu.
Ia akan menemani Ayra bermain, di waktu senggang. Meski kadang wajahnya menjadi bahan percobaan make up yang dipoleskan Ayra. Atau rambutnya yang diuel-uel oleh tangan mungil itu. Baginya itu bukanlah masalah, asal ia dapat terus melihat senyum manis Ayra yang begitu persis Aisyah.
Tangan kirinya dijadikan bantal untuk Ayra tidur. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menepuk-nepuk bokong gadis kecil itu. Mereka baru saja melaksanakan shalat Isya berjama'ah, dan bersiap untuk tidur.
"Ayah, ceritakan padaku tentang ibu?" pintanya dengan gurat bahagia tercetak jelas di raut wajahnya. Razka tersenyum, ia tak pernah lelah menceritakan tentang Aisyah pada gadis kecilnya, meski hampir setiap malam ia melakukannya.
"Apa kau tidak merasa bosan, sayang? Hampir setiap malam mendengar cerita tentang ibumu," gurau Razka sembari mencubit halus hidung kecil Putrinya.
"Eem." Ayra menggeleng tegas, "Aku tidak pernah bosan mendengarnya. Justru karena mendengarkan cerita ibuku dari semua orang di rumah ini, aku bisa mengenal siapa dan bagaimana ibuku. Jadi Ayah, bersediakah Ayahku ini menceritakan tentangnya?" sambungnya dengan raut wajah memohon yang biasa ia gunakan sebagai senjata terakhir saat Razka menolak permintaannya.
Razka terkekeh, ia selalu kagum saat mengobrol dengan Putri kecilnya itu. Ia merasa percakapan yang dilakukan Ayra begitu sempurna terdengar. Tidak seperti balita berusia lima tahun.
"Baiklah, baiklah. Ayah akan menceritakannya pada Putri cantik Ayah," katanya dengan senyum indah terukir di bibirnya. Tangan mungil Ayra selalu menusuk lesung pipi Razka ketika ia tersenyum. Itu mengingatkan Razka pada Mia di awal pertemuan mereka.
Ayra meletakkan tangan mungilnya di atas pipi Razka. Rasa lembut dan hangat mengalir di pembuluh darah Razka saat Ayra melakukannya. Ia dapat merasakan sentuhan Aisyah lewat sentuhan Putri kecilnya itu. Dan itu menjadi syarat mutlak untuk Ayra ketika Razka menceritakan tentang Aisyah.
Ayra sesekali akan bertanya saat Razka menjeda ceritanya. Razka tersenyum, dan Ayra akan menekan lesung pipinya dengan ibu jari mungilnya.
"Ibumu seperti mentari, yang selalu memberikan rasa hangat pada hati dan diri Ayah, pada hati setiap orang. Bahkan pada orang yang baru pertama ia jumpai. Ibumu selalu menghadirkan kehangatan, seperti mentari yang menyuguhkan kehangatan pada dunia," pungkasnya memberi perumpamaan tentang Aisyah.
Razka selalu mengakhiri ceritanya dengan perumpamaan Aisyah dengan hal yang akan memberi Ayra motivasi untuk tumbuh dengan baik.
Kemarin ia mengatakan, "Ibumu seperti pelangi. Selalu menghadirkan warna untuk hidup Ayah, hidup orang lain dan bahkan mereka yang baru dikenalnya. Seperti pelangi, yang menghadirkan warna untuk dunia, meski ia tidak mengenali satu per satu dari mahkluk yang mencintai warnanya."
Ia pun pernah mengatakan, "Ibumu seperti air, mengalir dengan lembut, kuat dan gigih. Tidak mudah menyerah saat ujian hidup datang melanda. Ia yang dapat menghilangkan dahaga Ayah saat Ayah membutuhkan seteguk air. Ia pun selalu berusaha menghilangkan dahaga setiap orang yang dijumpainya. Layaknya air yang dengan ampuh dapat menghilangkan dahaga seorang musafir di tengah gurun."
Yang paling disukai Ayra adalah saat Razka mengatakan, "Ibumu ibarat bulan, yang memancarkan secercah cahaya dalam kegelapan hati Ayah. Dia pun laksana bintang yang selalu menjadi pengunjuk arah saat Ayah buntu dengan masalah yang datang, ibumu selalu hadir memberikan jalan keluar. Saat Ayah terpuruk karena kehilangan kakek dan nenek buyutmu, ibumu datang membawa cahaya dalam gelapnya keterpurukan Ayah. Ibarat bulan yang memberikan cahayanya pada pejalan kaki di malam hari. Dan bintang, sebagai petunjuk arah bagi mereka yang tersesat."
"Apakah aku bisa menjadi bulan dan bintang Ayah? Seperti ibu?" sahut suara mungil yang kala itu menimpali perumpamaan Razka.
"Tentu saja, kau adalah bulan dan bintang Ayah. Putri Ayah yang menjadikan laki-laki rapuh ini, kuat sekuat saat ini," sahut Razka dengan tersenyum. Dan Ayra kecil akan mencium dahi Razka dengan bibir mungil nan basah miliknya.
"Ayah, apakah ibu seperti bidadari yang selalu hadir dalam mimpiku?" tanyanya lagi. Dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Ayra bermimpi sosok bidadari yang menyerupai ibunya selalu datang setiap malam menjelang tidurnya.
"Bidadari, ya ....?" Razka menggantung ucapannya. Ayra mengangguk dan menunggu antusias jawaban sang ayah. Ibu jarinya bergerak mengusap-usap pipi Razka dengan lembut. Razka sangat menyukainya saat Ayra melakukan itu.
"Bahkan, bidadari pun iri pada ibumu, sayang. Bagi Ayah, ibumu bukan hanya bidadari yang dikirim Allah untuk melengkapi hidup Ayah, tapi ia seperti malaikat yang selalu mengingatkan Ayah saat Ayah melakukan kesalahan," tukas Razka dengan yakin.
"Aku pun ingin menjadi seperti ibu," sahut Ayra dengan tangannya menutup mulut saat ia menguap.
Razka tersenyum, gadis kecilnya sudah mengantuk. Mulutnya menguap, matanya pun terlihat berat untuk mengerjap. Yang kian lama kian berat dan terpejam.
Razka menarik tangannya perlahan, ia mengusap lembut rambut Ayra dan mencium dahinya. "Selamat tidur bintang kecilku," katanya lirih. Ia tak ingin membangunkan bintang itu.
Razka perlahan beranjak dari samping Ayra, dengan gerakan yang sangat pelan dan hati-hati agar Ayra yang tertidur tidak dapat merasakan pergerakannya.
Hingga sebuah cekalan di tangannya menghentikan dia bergerak, Razka menoleh ke belakang tubuhnya. Ia melihat Ayra yang mengerjap lambat.
"Ayah, bisakah Ayah berjanji padaku?" tanyanya dengan berat. Suaranya lambat karena rasa kantuk yang semakin melanda.
Razka berbalik, ia mengusap pucuk kepala Ayra dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Kau ingin Ayah berjanji untuk apa?" sahut Razka menyanggupi. Baginya ia hanya memiliki Ayra dalam hidupnya. Semua hidup dan kerja kerasnya hanya untuk Ayra. Semua waktu dan cinta yang ia miliki, seluruhnya hanya untuk bintang kecilnya.
"Jangan pernah menggantikan ibu dalam hidup kita. Ayra tidak ingin ibu yang lain," katanya yang kembali terpejam setelah mengatakannya.
Razka mengusap-usap rambut Ayra, matanya berkaca-kaca mendengar permintaan kecil gadis kecilnya itu. Ia kembali mencium dahi Ayra.
"Tentu sayang. Tentu saja, ibumu tak kan pernah bisa tergantikan. Sekalipun seribu Aisyah datang menyuguhkan cinta pada kita, posisi ibumu tidak akan pernah digantikan orang lain. Ibumu selalu bertakhta di tempatnya," sahut Razka.
Seulas senyum terukir bibir mungil gadisnya. Meski matanya terpejam, tapi telinganya mendengar. "Terimakasih, Ayah," timpalnya mengakhiri percakapan setiap malamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
susi 2020
😍😍
2023-09-05
0
susi 2020
🥰🥰
2023-09-05
0
Vifa Sukmul
.
2021-06-22
0