Razka berhenti berlari tak jauh dari Ayra yang juga telah berhenti di hadapan seseorang. Rendy ikut menghentikan langkahnya di samping Razka. Sedangkan Bryant ia baru berhenti setelah berada di dekat Ayra.
"Siapa pemuda itu?" gumam Razka mengernyitkan dahi heran. Ia menyipitkan matanya untuk dapat melihat siapa yang ditemui Ayra.
"Ah, bukankah dia si penjual jus?" sahut Rendy menerka-nerka siapa pemuda yang berhadapan dengan Ayra. Razka mempertajam penglihatannya. "Ah, kau benar!" pekiknya. Semakin dalam kerutan di dahinya. Untuk apa bocah itu menghampiri si penjual jus.
Bryant menghentikan langkahnya di samping Ayra, ia memegangi lengan Ayra membuatnya menoleh dan tersenyum.
"Apa yang kau lakukan? Berlari seorang diri tanpa memberitahu siapa pun," hardik Bryant tegas. Ia sudah seperti Kakak laki-lakinya bagi Ayra.
"Maaf, aku hanya tidak sengaja melihat Paman ini keluar dari masjid. Aku mengejarnya, hanya ingin memberitahunya tentang festival jajanan di kota kita," tukas Ayra dengan raut wajah yang menyesal.
"Tapi, kau tidak boleh pergi tanpa memberitahu siapa pun seperti tadi!" tukas Bryant dengan tegas. Ayra menunduk ia merasa bersalah. Bryant mendesah.
"Festival jajanan?" ucap si penjual jus menatap antusias pada mereka berdua. Ayra dan Bryant menoleh bersamaan menatap si penjual lalu mengangguk.
"Apa Paman mau ikut andil dalam acara itu? Paman bisa menjajakkan jus enak dan langka Paman di sana," tawar Ayra yang membuat senyum si penjual terbit dengan lebar.
"Tentu saja, Nona Kecil. Aku akan ikut," sahutnya dengan antusias, "kapan festival itu akan diadakan, Nona Kecil?" tanyanya.
"Awal bulan besok, Paman. Tapi, Paman harus mendaftarkan jualan Paman mulai dari sekarang," sahut Ayra yakin. Si penjual mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Di mana alamatnya?" tanyanya. "Apa Paman punya kertas dan pulpen?" Ayra balik bertanya. Dia merogoh ke dalam tas kecil yang disampirkan di bahu kirinya.
"Ini!" katanya menyodorkan secarik kertas kecil dan sebuah pulpen. Ayra menerimanya, menuliskan sesuatu. Bryant mengernyit.
"Kau akan menulis apa?" tanyanya penasaran. "Alamat kota kita," sahutnya tanpa mengangkat wajahnya dari kertas dan pulpen itu.
"Memangnya kau tahu alamat kota kita?" tanya Bryant lagi semakin penasaran. Ayra tidak menjawab, ia terus menulis alamat kotanya dan menyodorkannya pada Bryant.
"Bukankah ini alamat kota kita?" tanyanya dengan lugu. Bryant menerima kertas itu, dan membacanya. Matanya membelalak sempurna saat membaca tulisan tangan Ayra yang masih sedikit berantakan.
Si penjual pun tak kalah terkejut, bagaimana mungkin bocah seusianya bisa tahu sebuah alamat dan bisa menuliskannya.
Bryant mengangguk ragu, ia tidak percaya Ayra dapat menuliskannya dengan baik. Dia saja belum tentu bisa melakukannya.
Bryant memberikan kertas itu pada si penjual, "Itu alamat kota kami. Datang saja ke sana dan cari tempatnya," ucap Bryant. Si penjual menerimanya dengan dahi yang berkerut.
Ia pun mengangguk ragu, "Baiklah, terimakasih Tuan Kecil, Nona Kecil. Sepertinya Ayah kalian menyusul kalian," tukasnya menunjuk pada Razka dan Rendy yang berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan.
Kedua bocah itu menoleh, "Baiklah, Paman, jangan lupa datang. Aku ingin mencicipi lagi jus enak buatan Paman!" katanya seraya berbalik lalu melangkah sembari menggandeng tangan Bryant.
Razka mengusap kepala Putrinya begitu keduanya sampai di hadapan mereka. Rendy merangkul bahu Bryant.
"Apa yang kau lakukan dengan dia?" tanya Razka pada Ayra. "Aku hanya menawarinya untuk ikut dalam acara festival jajanan di kota kita," sahut Ayra menatap Razka dengan polos.
Razka tersenyum, namun senyumnya seketika hilang saat mendengar suara Bryant, "Dia menuliskan alamat kota kita."
Razka membelalak tak percaya, ia mencengkeram sedikit kuat kedua bahu Ayra. Menatap Putrinya dengan tatapan tak percaya.
"Tidak mungkin!" sangkalnya, "bagaimana mungkin, bocah seusianya bisa menulis apalagi sebuah alamat! Ini tidak masuk akal!" sambungnya menolak apa yang diucapkan Bryant.
"Tapi, aku tidak berkata bohong. Dia memang bisa menulis dan tahu alamat kota kita!" sanggah Bryant membela diri. Razka memejamkan matanya sejenak.
Lalu membukanya lagi dan menatap Putrinya dengan tajam, "Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya sedikit geram.
"Aku hanya menulisnya, Ayah. Aku sering membaca alamat kota kita di spanduk-spanduk yang terpasang di jalan kota kita. Itu saja," jelasnya dengan dahi yang mengernyit.
Rendy yang tak kalah bingung pun, ia menepuk bahu Razka. "Sudahlah, terlalu banyak kejutan hari ini dari Putrimu, mereka sudah menunggu kita," katanya menunjuk pada semua anggota keluarga yang berjalan menghampiri mereka. Razka mendesah.
Ia berbalik memunggungi Ayra, dan berjongkok. Gadis kecil itu mengerti, ia melingkarkan tangannya di leher Ayahnya. Razka bangkit dan melangkah dengan Ayra yang berada di belakang punggungnya. Rendy ikut melangkah bersama Bryant.
"Sayang, bagaimana caramu bisa membaca dan menulis?" tanya Razka ingin tahu. Ayra yang berada di belakang punggungnya. Meletakkan kepalanya di bahu Razka.
"Ayah ingat pernah membelikan aku sebuah laptop mainan?" tanyanya pada Razka. Laki-laki itu terdiam berpikir lalu mengangguk.
"Di dalam sana, ada permainan mengenal huruf. Aku selalu memainkannya. Juga belajar menuliskannya. Bukankah Ayah pun sering membacakan aku sebuah dongeng bergambar?" sahutnya. Razka kembali mengangguk.
"Aku sering meniru tulisannya di atas buku yang Ayah belikan. Aku sudah bisa membaca dan menulis sebelum aku masuk sekolah, Ayah," jelasnya. Yang justru membuat Razka semakin khawatir.
"Tapi seharusnya kau hanya memainkannya, bukan mempelajarinya, sayang! Kau masih sangat kecil. Tidak seharusnya kau bisa membaca dan menulis di usiamu yang masih balita," tegas Razka.
Ayra berpikir, "Aku tidak memiliki alasan untuk ungkapan Ayah yang ini. Karena aku hanya mengikuti kemauanku saja," katanya. Razka kembali mendesah.
Rendy yang mendengarkan sebenarnya pun bingung terhadap gadis kecil itu. "Sudah aku katakan, terlalu banyak kejutan hari ini dari Putrimu," katanya mengulangi ucapannya.
Razka menoleh, tapi tidak mengatakan apa pun. Mereka terus berjalan mendekati keluarga yang lain.
"Sayang!" Suara Mamah memangil Ayra. Razka menurunkan tubuh Ayra, dan membiarkannya berlari menghampiri Mamah.
"Kau tidak boleh berlari tanpa memberitahu kami seperti tadi, sayang. Itu membuat kami khawatir," ucap Mamah lembut. Ia memeluk dan menciumi cucunya.
Ayra mengangguk, "Maafkan Ayra, Omah. Ayra tidak akan mengulanginya lagi," sesalnya menatap mata Mamah yang menyiratkan kekhawatiran sekaligus kelegaan. Mamah tersenyum dan mengangguk.
"Ya sudah, ayo kita kembali ke tenda!" ajak Papah yang diangguki semua orang. Mereka kembali berjalan, Mamah menggandeng tangan Ayra melangkah bersama Papah.
Razka masih memikirkan bagaimana cara Putrinya bisa membaca dan menulis dari sebuah mainan. Ia mendesah beberapa kali.
Ia harus tahu, bagaimana Ayra di sekolah. Ia ingin mendengar langsung dari guru di sana. Apakah pihak sekolah tahu? Tapi selama ini pihak sekolah pun tak pernah memberitahu hal ini pada Razka. Ia akan mencari tahunya. Dan harus mendatangi sekolah Ayra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
Semangat🙂
2021-01-28
1
Wati Simangunsong
bgs donk bocah umur 5 thn bs bca...
2021-01-28
1