Razka yang sedang dikelilingi para bocah di bawah pohon mangga itu, tak henti menyunggingkan senyum di bibirnya. Rasa syukur akan kebahagiaan yang ia dan Ayra dapatkan tak henti pula ia panjatkan pada Yang Kuasa.
Dia yakin, Aisyah pun ikut tersenyum di tempatnya sana melihat putrinya yang dilimpahkan kasih sayang dan kebahagiaan dari semua orang.
"Sayang, apa kau ingin berenang di sana?" tanya Deri pada Ayra. Tangan pemuda itu mengelus pucuk kepala Ayra dengan lembut. Rasa sayangnya pada Ayra tidak bisa diukur oleh apa pun. Deri begitu menyayanginya.
Ayra menggeleng, "Aku takut berenang di laut, Kak. Aku hanya ingin bermain pasir saja di sana," jawabnya diakhiri dengan senyuman dan tatapan mata pada Bryant. Bocah keturunan Negeri seberang itu hanya tersenyum. Dan hanya kepada Ayra ia sangat bermurah senyum.
"Kau ingin membuat istana pasir?" tanya Razka yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka. Ayra mengangguk senang.
"Tentu, Ayah. Aku ingin membuat istana pasir. Bisakah kita membawa alat-alatnya?" tukasnya dengan tatapan memohon pada Razka.
"Baiklah, Ayah siapkan dulu ya semuanya," ucap Razka. Mereka mengangguk.
"Titip mereka!" pesannya pada Deri dan Mia, kedua tangannya membelai rambut kedua orang yang diambilnya dari tempat kumuh itu.
Mereka berdua mengangguk, Razka beranjak dari duduknya. Ia bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Razka berjalan ke gudang, mencari keperluan para bocah untuk membuat istana pasir.
Ia melirik dapur, para wanita sedang memasak apa saja di sana untuk bekal mereka. Sedangkan para suami, mereka masih di rumah masing-masing.
"Ayah Razka!"
Brugh!
Sebuah seruan lucu dari mulut mungil seorang bocah yang usianya sama dengan Akmal, dibarengi tubrukan tubuhnya pada kaki Razka.
Razka menunduk, bocah itu mendongak. Tersenyum lebar memperlihatkan sederet gigi susunya yang rapi. Razka mengusap rambut keriting bocah itu. Ia lantas berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tinggi bocah itu.
"Di mana bundamu?" tanya Razka, karena di dapur tadi ia tidak melihat Mega. Hanya ada namah, Emil, Sasha dan bibi Nuri yang ditemani bu Sum dan Sri. Yah, bocah itu bernama Farel anak pertama Mega dan Hendi. Adik satu ayah Mia.
"Bunda pulang memanggil ayah," jawabnya. Razka mengelus kedua bahu bocah itu. Usianya empat tahun, kelahirannya hanya berbeda beberapa bulan saja dengan Akmal putra Emil dan Fachru.
"Kau mencari kak Ayra?" tanya Razka. Farel mengangguk dan tersenyum, "dia di depan bersama yang lainnya. Pergilah! Tapi jangan usil ya!" sambung Razka.
Bocah itu kembali tersenyum lebar, ia berbalik dan berlari menuju pintu depan rumah. Bocah super jahil yang sering berebut mainan dengan Akmal hanya karena menginginkan perhatian lebih dari Ayra.
Razka menggeleng, ia kembali beranjak dan berdiri dari jongkoknya. Baru akan melangkah mamah memanggilnya.
"Nak!" Suara mamah datang dari arah dapur. Razka menoleh dan tersenyum, "kau menyiapkan itu untuk mereka?" tanya mamah lagi saat matanya melirik pada barang-barang yang disiapkan Razka untuk bermain pasir.
"Benar, Mah. Mereka ingin membuat istana pasir. Jadi aku menyiapkan semuanya," tukas Razka, mamah menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, Mamah mau ke kamar dulu," katanya. Razka mengangguk seraya ikut melangkah setelah mamah melangkahkan kakinya.
Ia terus berjalan menaiki anak tangga, di ruang keluarga terdengar suara beberapa orang yang sedang mengobrol. Itu papah, paman Max, dan Fachru.
Razka yang terus berjalan menaiki anak tangga, tak acuh pada obrolan mereka. Ia akan menyiapkan baju ganti Ayra dan dirinya.
Razka mulai mengambil koper kecil, ia memasukkan pakaian Ayra juga pakaian miliknya. Razka membuka laci, bermaksud mencari handycam yang selalu digunakannya untuk merekam kegiatan Ayra. Tapi sesuatu terjatuh. Sebuah amplop.
Seperti sebuah surat, Razka mengambilnya. Ia meletakkan handycam di atas nakas. Razka membolak-balik amplop itu. Tidak ada nama si penerima dan si pengirim. Surat apa ini? Dahinya berkerut.
Namun, seketika ia terhenyak saat mengingat amplop putih polos itu. Ia segera membuka amplop tersebut dan menarik selembar kertas berwarna pink polos dari dalam sana.
Membukanya dan membaca kata pembuka dari surat itu,
Teruntuk calon Imamku...
Surat Aisyah, matanya berkaca-kaca melihat tulisan tangan yang berderet rapi di atas kertas tersebut. Tulisan yang ditulis dengan tinta warna merah, samar terlihat. Karena tertuang di atas kertas berwarna merah muda.
*Bismillaahirrahmaannnirrahiim
Malam ini aku menyapamu, tanpa tahu siapa sebenarnya dirimu dan di mana kau “bersembunyi”
Aku hanya seorang gadis biasa tanpa paras yang rupawan.
Aku hanya seorang gadis biasa yang masih sering melakukan kekhilafan.
Aku hanya seorang gadis biasa yang masih dangkal ilmunya.
Jika saat ini kau bertemu denganku, aku yakin kau tidak akan memandang ke arahku sebab segala keburukanku tadi.
Jika saat ini kau bertemu denganku, tentulah aku akan sangat malu terhadapmu karena aku masih teramat buruk bagimu.
Tahukah kau?
Jika aku mendambamu sebagai sosok yang shalih.
Sebagai sosok yang berilmu.
Dan sebagai sosok yang lembut hatinya.
Keshalihanmu yang akan mengantarku pada surga-Nya
Keshalihanmu yang akan menuntunku untuk selalu taat terhadap-Nya.
Keshalihanmu yang akan menghindarkanku dari panasnya api neraka
Keshalihanmu yang akan menjagaku dari segala bentuk kemaksiatan.
Keshalihanmu yang akan membawa keluarga kecil kita dalam dekapan kasih-Nya.
Dengan ilmumu kau akan membukakan mataku kepada apa yang aku masih buta terhadapnya.
Dengan ilmumu kau akan melengkapi pengetahuanku akan agamaku.
Dengan ilmumu kau akan menjadi pelita dalam gelapnya akalku.
Dan dengan ilmu yang kau berikan padaku akan kudidik anak-anak kita kelak berlandaskan ajaran Islam.
Lembutnya hatimu yang akan selalu mendekapku dengan segala kasihmu ketika aku bersedih dan rela memberikan pundakmu untukku menumpahkan kesedihanku.
Lembutnya hatimu yang akan menghadirkan sejuta bahagia.
Lembutnya hatimu yang akan selalu menghadirkan ketenangan dalam batinku.
Dan kelembutan hatimu yang kelak akan menaungi keluarga kecil kita dengan cinta kasihmu.
Aku bukan sosok yang sempurna.
Kini aku tengah memperbaiki fisikku agar kelak kau tidak merasa malu ketika berjalan bersisian denganku.
Aku tengah berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki akhlakku agar kelak kau tidak menyesal terhadapku.
Aku tengah berjuang untuk menjadi seorang muslimah sejati ditengah keterbatasan ilmuku dan keyakinan yang sering tergoyahkan agar aku benar-benar pantas menjadi seorang pendamping bagimu yang kuharapkan seorang yang shalih.
Sekali lagi, aku bukan sosok yang sempurna.
Aku tak sepandai Aisyah.
Masih banyak hal yang belum kuketahui dan aku masih sangat bodoh.
Aku tak sebijak Khadijah.
Ada banyak hal yang sering membuat keegoisanku muncul.
Aku tak setegar Fatimah.
Keyakinanku masih sering tergoyahkan.
Itu sebabnya aku membutuhkanmu untuk menjadi penyemangatku dalam memperbaiki diri dari segala kekuranganku.
Aku membutuhkanmu untuk menjadi teman dalam perjalananku untuk menggapai surga-Nya.
Aku membutuhkanmu untuk menjadi imamku dan anak-anak kita kelak dalam meraih ridho-Nya.
Wahai calon imamku, siapapun dan di manapun kau berada.
Yakinlah, di sini aku menunggumu.
Dalam penantianku ini aku tengah memperbaiki diri dan akhlakku.
Aku menginginkanmu sebagai imam yang shalih.
Itu sebabnya aku berusaha menjadi seorang yang shalihah, karna aku tau bahwa jodoh adalah cerminan kita.
Aku percaya, jika kelak Allah akan mempertemukan kita di saat yang tepat.
Di saat aku telah lebih baik dari saat ini hingga aku benar-benar pantas mendampingimu.
Aku percaya, jika kelak Allah akan mempertemukan kita di saat kita telah sama-sama siap.
Siap untuk mengikat cinta kita dalam ikatan yang suci.
Siap untuk berjalan beriringan membangun keluarga yang dipenuhi ridho-Nya, berjalan bersama menuju surga-Nya.
Wahai calon Imamku,
InsyaAllah aku akan berusaha menjadi seorang bidadari yang dipersiapkan untukmu walau aku tak sesempurna bidadari yang ada di surga.
InsyaAllah aku akan menjaga diriku yang kelak akan menjadi hakmu nantinya.
InsyaAllah aku akan terus memperbaiki diri dan menambah ilmuku agar aku mampu menjadi pendamping yang shalihah dan ibu yang mampu mendidik anak-anak kita kelak.
InsyaAllah aku akan menunggumu tanpa menjerumuskan diriku kedalam jerat syaitan yang bernama “pacaran”.
Aku akan menunggumu hingga kau datang menemui waliku untuk meminangku.
Aku berdo’a semoga kelak kita benar-benar dipertemukan dalam kesempurnaan kasih-Nya.
Aku berdo’a semoga kelak kau benar-benar seseorang yang shalih yang mampu membimbingku dan bertanggung jawab atas diriku.
Aku berdo’a semoga kaupun selalu berdo’a untukku agar aku selalu teguh dalam penantianku terhadapmu.
Agar Allah selalu menjaga hatiku dan hatimu untuk tetap saling bertaut walau saat ini kita saling buta terhadap satu sama lain.
Wahai calon imamku,
Percayalah, aku menunggumu di sini :)
Aku mencintaimu dengan segenap hatiku karena Allah tanpa mengetahui siapa dan di mana dirimu kini :)
Assalammu’alaikum Calon Imamku,
“I KNEW I LOVED YOU BEFORE I MET YOU”
Tertanda,
Calon bidadarimu*.
Razka mendekap surat itu di dadanya, dengan wajah yang menunduk, setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Diikuti tetesan-tetesan berikutnya yang semakin menganak sungai.
Ia merindukan sosok Aisyah, ia merindukan istrinya. Cinta yang dijaganya, semakin kuat setelah membaca tulisan tangan Aisyah.
"Aku merindukanmu, sayang," lirihnya dalam rintihan. Hatinya menjerit rapuh. Jika bukan karena Ayra, maka dia tidak akan setegar ini. Jika bukan karena gadis kecilnya, dia tidak akan sekuat ini. Karena malaikat kecilnya itulah, Razka selalu memupuk rasa cintanya pada Aisyah. Ia tak ingin tempatnya digantikan wanita lain. Razka menutup hatinya serapat mungkin, tak ingin membuka celah sedikit pun untuk wanita-wanita lain.
"Ayah!" Tangisnya terhenti saat mendengar panggilan Ayra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
si ibu pengganti blm muncul ya ada dibab brp
2022-03-23
1
Ana
Msh di bab sedih 😭🤧
2021-04-17
2
Memet Jess
msh loading,blm paham
2021-04-16
5