"Ekehm!" Razka berdehem, untuk membuat sadar guru wanita yang tak berkedip menatapnya. Ia memalingkan wajahnya menatap pada secangkir teh di atas meja.
Guru wanita itu beranjak duduk di kursi yang ada di hadapan Razka. Ia masih menunduk, sesekali akan mencuri pandang sembari tersenyum malu pada Razka.
Hal itu tentu saja membuat Razka merasa tidak nyaman. Ada apa dengan wanita itu? Razka bertanya-tanya dalam hati.
"Maaf, apakah Anda guru dari Putri saya Ayra?" tanya Razka menatap guru wanita itu dengan tajam dan dingin.
Ia mengangkat wajahnya, menatap gugup pada Razka yang bersikap dingin padanya. "I-iya-"
"Aku ingin guru kelas Putriku diganti!" Razka memotong ucapan guru wanita itu. Menurutnya guru itu tidak pantas mengajar kelas Ayra. Ia tidak suka melihat sikapnya yang tidak tegas.
Guru wanita itu terperangah, mulutnya terbuka, ia menatap Razka dengan mata yang membelalak lebar.
"Ma-maksud, Anda?" tanyanya terbata. Razka meliriknya dengan tajam. Sudut matanya bagai mata pedang yang siap menghunus jantung musuh.
"Tuan Besar!" Laki-laki tua yang menjabat sebagai kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah tersebut, memekik terkejut. Ia bangkit dari kursinya, dan berjalan cepat menghampiri Razka.
"Carikan guru yang mumpuni untuk mengajar Putriku! Bukan guru sepertinya!" tegas Razka sekali lagi.
"Tapi, apa masalahnya, Tuan Besar?" tanya kepala sekolah meminta penjelasan Razka.
"Sikapnya yang seperti wanita penggoda, aku khawatir akan menular pada anak-anak yang masih polos seperti Putriku dan teman-temannya," ujar Razka dengan tegas.
Guru wanita tadi semakin menunduk malu, ia yang awalnya berniat membuat Razka tergoda dan terpesona dengan sikap malu-malunya tadi, harus menelan pil pahit kegagalan sebelum berperang.
Kepala sekolah menoleh tak percaya pada guru wanita itu. Ia menelisik guru wanita yang duduk di sampingnya berdiri, dan seketika terkejut saat melihat tiga kancing kemeja guru wanita tadi yang sengaja terbuka.
Ia menoleh kembali pada Razka dengan raut wajah yang memerah malu. "Maafkan kelalaian saya, Tuan Besar. Ini adalah kesalahan saya sebagai kepala sekolah di sini. Jika Anda menginginkan saya memecatnya dari sekolah-"
"Tidak perlu!" potong Razka sebelum kepala sekolah itu melanjutkan ucapannya, "aku yakin, dia membutuhkan perkejaan ini. Dan jika dia dikeluarkan dari sekolah karena masalah ini, itu akan membuatnya terbebani. Jadi, hanya berikan saja guru yang lebih baik untuk mengajar kelas Putriku," sambungnya lagi.
Guru wanita tadi menatap Razka tak percaya, ia malu sekaligus merasa bersalah telah mencoba untuk menggodanya.
"Terimakasih, Tuan Besar. Jika seperti itu yang Anda inginkan, kami akan memberikan guru terbaik untuk mengajar di kelas Putri Anda," tukas kepala sekolah.
"Baiklah, sekarang jelaskan padaku bagaimana Putriku di sekolah?" tanya Razka pada pokok utama tujuannya datang ke sekolah.
Kepala sekolah melirik guru wanita itu tadi, ia sedikit kesal karena sikap guru itu yang tidak mencerminkan sikap seorang guru.
"Sekarang, jelaskan pada Tuan Besar bagaimana perkembangan Putrinya di sekolah. Jangan mempermalukan dirimu sendiri!" ucap kepala sekolah tegas.
Dia hanya mengangguk, "Maafkan saya, Tuan Besar. Ayra sama seperti anak yang lainnya. Hanya saja, terkadang Ayra agak kesulitan untuk mengenal huruf," jawab guru tersebut hati-hati.
Dahi Razka mengernyit dalam, bagaimana mungkin anaknya kesulitan mengenal huruf sementara membaca saja, ia sudah sangat lancar.
"Benarkah?" tanya Razka menegaskan. Guru itu mengangguk. Razka mendesah, "baiklah, boleh saya melihatnya belajar? Hanya dari luar saja, jangan beritahukan padanya," sambungnya. Guru itu hanya mengangguk.
Razka bangkit, "Baiklah, Pak. Terimakasih, saya permisi! Dan untuk Anda, jika masih ingin mengajar di kelas Ayra, perbaiki sikap dan penampilan Anda!" ucap Razka seraya berbalik dan melangkah pergi diikuti guru kelas Ayra yang membenarkan kancing bajunya sembari berjalan.
Razka berdiri di depan pintu, membiarkan guru kelas Ayra melewatinya dan masuk ke dalam kelas. Ia memulai kelas dengan ceria.
Razka berdiri di jendela, menyembunyikan kehadirannya dari Ayra. Razka memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Ayra.
Normal. Seperti anak seusianya. Tidak ada gelagat yang dia tunjukan bahwa dia seorang yang cerdas. Semuanya normal. Razka mendesah. Ia melihat Ayra maju ke depan.
Guru wanita itu memintanya untuk menyebutkan huruf-huruf yang ditulis di papan tulis. Ia tersenyum, Ayra pandai menyembunyikan kenyataan dalam dirinya. Ia bersyukur. Itu artinya semua orang tidak tahu tentang rahasia besar dalam dirinya.
Ia menghela napas sejenak sebelum berbalik, baru satu langkah kakinya mengayun, telinganya mendengar suara riuh dari dalam kelas.
Razka menarik kakinya, dan kembali mendekati jendela. Rupanya Putrinya yang sedang diteriaki, gadis kecilnya berdiri dengan kepala tertunduk. Kenapa Razka menjadi kesal melihatnya.
"Lihatlah, si anak piatu itu! Mengenal huruf pun dia tidak bisa! Haha!" ledek seorang anak laki-laki bertubuh paling besar.
"Dani! Kau tidak boleh berkata seperti itu! Bagaimana pun Ayra adalah teman kalian. Mengerti!" hardik guru wanita itu dengan tegas. Bukan kali ini saja dia menegur anak laki-laki itu, dia sering melakukannya.
"Mengerti, Bu!" jawab mereka serempak. Tanpa sadar Razka mengepalkan tangannya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak masuk ke dalam kelas.
Razka kembali melihat ke dalam, guru wanita itu sedang berjongkok di hadapan Ayra. Ia mengusap-usap lembut kedua bahu Ayra. Sepertinya sedang menasihatinya untuk tidak bersedih.
Ayra kembali ke bangkunya, ia duduk dengan tenang. Wajahnya sudah kembali berubah ceria. Sepertinya, ia tidak merasa terganggu sama sekali dengan kalimat hinaan yang dilontarkan salah satu temannya itu.
Razka melirik jam dinding, kemudian melirik sebentar pada Ayra dan bergegas pergi dari sana.
Razka mengambil jalan lain agar tidak berpapasan dengan kelompok wanita penggosip di sana.
Mengangguk pada satpam yang berjaga, ia menaiki motornya, memakai helm dan bergegas pergi meninggalkan sekolah Ayra.
Ia terlambat ke restauran, harusnya setiap pagi sebelum memulai aktivitas, ia memberikan wejangan-wejangan untuk menambah semangat para karyawannya.
Razka memacu motornya dengan cepat. Dia ingin segera sampai. Memberikan semangat tambahan pada seluruh karyawannya.
Ah, sialnya. Ia terjebak macet. Razka menyelinap di sela-sela padatnya kendaraan di jalan tersebut. Beruntung ia menggunakan sepeda motor, bukan mobil. Ia masih bisa mencari jalan meski hanya celah sempit sekali pun.
Kesialan kedua, rupanya lampu lalu lintas sedang merah. Ia terpaksa berhenti karena tujuannya adalah lurus ke depan.
Bunyi klakson mobil dan motor saling bersahutan. Menambah kebisingan di jalan raya ini. Razka dengan cepat memacu sepeda motornya begitu lampu berubah hijau.
Ia memasuki area parkir dan mengunci motornya. Razka berjalan menuju pintu depan untuk menyapa para pekerjanya.
Namun, langkahnya terhenti begitu ia melihat seseorang yang sedang berdiri di depan pintu masuk restaurannya.
Razka termangu, tak ada ekspresi apa pun yang ditampilkannya. Orang tersebut, tersenyum sedih, Razka terus bertanya dalam hati, untuk apa dia berdiri di sana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
Ana
Aul kah...?
Nisa kah...?
Salman kah...?
2021-04-17
1
Saharani Nursakinah
ih...jd penasaran thor...
2021-01-31
1
Wati Simangunsong
kira2 cp y.yg brdiri itu yy..?
jd penasarann
2021-01-31
1