"Akek!" ucap Adira mencoba mengejutkan Pertapa Tua yang sedang menyiapkan makan malam.
"Hahaha, Kakek sudah merasakan keberadaanmu dari lima langkah lalu. Makanya, rajin-rajinlah bermeditasi agar ilmu meringankan badanmu semakin hebat," ucap Pertapa Tua tertawa.
"Uhh.." Adira mengerucutkan bibirnya.
"Ayo sini bantu Kakek siapkan makan malam," ucap Pertapa Tua memberikan centong nasi kepada Adira.
Adira pun mulai menyendokkan nasi dan daun singkong ke dalam dua buah piring.
"Sopnya sebentar lagi matang. Dira tunggu di meja ya," ucap Pertapa Tua masih memasak sop mereka.
"Iya Akek." Adira pun berjalan menuju meja makan sambil membawakan piring mereka.
###
Setelah selesai makan, Adira berteriak mencari monyetnya yang tak terlihat di dalam kabin maupun gua. "Ayi! Ayi!"
"Akek.. Ayi ilang.." ucap Adira menghampiri Pertapa Tua dengan raut hampir menangis.
"Cup cup, cucu Kakek jangan nangis ya.. Coba Kakek carikan Ayi sebentar," ucap Pertapa Tua lalu memejamkan matanya.
Lingkaran angin mulai berhembus keluar dari dalam tubuhnya. Tak lama, ia membuka matanya.
"Ayi ..." ucap Adira menahan tangisnya.
"Ayi nggak kemana-mana kok. Dia sedang mengumpulkan buah-buahan buat Dira. Sebentar lagi juga pulang," ucap Pertapa Tua mengelus kepala Adira dengan lembut.
Tak lama, terdengar suara Ayi di dalam gua, berseru-seru dengan hebohnya.
"Ayi!!" ucap Adira berlari menuju gua.
Betul kata Pertapa Tua, Ayi pulang membawa buah-buahan banyak sekali. Ayi pun berjalan dengan pelan mendekat Adira, berusaha agar tidak menjatuhkan buah-buahan dalam pelukannya, kemudian menyerahkan buah-buahan tersebut kepada Adira.
"Maacih, Ayi," ucap Adira memeluk Ayi dengan erat.
Ayi pun berlompat-lombatan dengan riang. Senyuman lebar merekah di wajah kecilnya.
Pertapa Tua, Adira, dan Ayi pun menikmati buah-buahan yang dikumpulkan Ayi bersama-sama.
"Ayo tidur, besok subuh kita ke air terjun untuk belajar bela diri. Ayi mau tidur dengan Dira atau dengan Loreng?" ucap Pertapa Tua sambil menggandeng Adira.
Dengan cepat, Ayi langsung melompat ke pundak Adira. Ayi tentu saja tak mau tidur dengan harimau besar pemarah itu.
###
Subuh hari, saat hari masih gelap, dan hewan-hewan masih tertidur, Adira dan Pertapa Tua sudah berangkat menuju air terjun ditemani oleh nyanyian hewan malam.
"Dira, ikuti gerakan Kakek ya." Pertapa Tua pun mulai menarikan beberapa jurus, memainkan tongkat bambu serirama dengan gerakan tubuhnya.
Setelah selesai, Dira pun melompat ke luar danau dan mengambil sepotong bambu kecil yang tergeletak di pinggir danau lalu menirukan gerakan Pertapa Tua.
Berkat mustika dalam tubuhnya, menirukan pergerakan Pertapa Tua tak susah. Gerakan-gerakan sulit pun jadi terlihat mudah di mata Adira. Mereka tak henti-hentinya berlatih hingga matahari mulai tersenyum menyapa mereka.
"Cukup," ucap Pertapa Tua sambil menghentikan latihan Adira.
"Latihan pagi ini cukup sampai sini. Sekarang Kakek akan pergi ke desa untuk mengobati warga, kamu lanjutkan meditasimu hingga Kakek pulang ya." Pertapa Tua pun berdiri meninggalkan Adira dan Ayi di tengah danau.
###
Setelah berganti pakaian, Pertapa Tua melayang dengan cepat dan berhenti di bibir desa. Setelah itu, ia berjalan masuk mengitari desa sambil mengawasi kondisi sekitar.
Pertapa Tua memang sering mengunjungi desa-desa setempat. Entah untuk mengobati para warga, atau untuk membatu mereka bercocok tanam. Terkadang, para warga memberinya beras, minyak, atau uang sebagai ucapan terima kasih.
"Pagi, Pak Tabib. Apa kabar?" sapa Bu Romlah dengan sopan.
"Baik Bu. Bagaimana kabar suamimu?" jawab Pertapa Tua dengan sopan.
"Kondisi suami saya sudah jauh membaik, Pak. Sejak meminum ramuan obat dari Pak Tabib, suami saya sudah bisa berjalan kembali. Dia bahkan sudah mulai bekerja sejak kemarin," ucap Bu Romlah berterima kasih.
"Syukurlah.. Itu semua berkat Sang Penguasa Alam," ucap Pertapa Tua sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai panjang.
"Oh iya, Bu. Saya mau tanya. Saya punya cucu perempuan, usianya dua tahun, tetapi saya tak tahu pakaian apa yang cocok dengannya. Terakhir kali saya membelikannya pakaian, teman saya menertawai saya," ucap Pertapa Tua mengingat respon Loreng saat ia memakaikan baju kebesaran untuk Adira.
"Oh.. Kalau Pak Tabib mau, saya ada baju bekas putri saya yang masih bagus-bagus. Tunggu di sini sebentar ya, saya ambilkan," ucap Bu Romlah segera masuk ke dalam rumah.
Pertapa Tua pun duduk di depan toko kelontong milik juragan terkaya di desa itu. Sambil mengangguk-angguk, ia tersenyum senang. Meski kaya, tetapi keluarga itu tidak sombong dan banyak membantu warga desa. Karena hal itu juga, Pertapa Tua mau menyembuhkan penyakit Pak Romlah yang terbilang cukup parah.
Sambil melihat-lihat, mata Pertapa Tua terfokus pada ikat rambut cantik berhiaskan boneka monyet kecil. Hmm.. Rambut Adira sudah mulai panjang. Terkadang, ia suka menggaruk-garuk lehernya karena gatal.
Segera diambilnya ikat rambut itu, dan juga sebuah gunting.
"Pak Tabib, ini pakaian dan juga ada sedikit oleh-oleh untuk Pak Tabib dan cucu Pak Tabib," ucap Bu Romlah sambil menyerahkan sebuah dus yang terbungkus rapi.
"Bu, saya mau beli gunting dan karet ini, berapa?" ucap Pertapa Tua.
"Nggak usah, Pak. Bawa saja," ucap Bu Romlah tak mau menerima uang pemberian penolongnya.
"Wah.. Terima kasih banyak, Bu. Semoga rejeki kalian lancar," ucap Pertapa Tua kemudian pamit kembali berkeliling.
###
Ayi yang masih berusia dua bulan, merasa bosan karena sudah dua jam Adira hanya duduk diam. Keinginannya untuk bermain, membuatnya berteriak dan menarik-narik rambut Adira.
"Sstt.. Ayi.. Alau agi cemedi alus tenan.." ucap bocah kecil itu masih sambil memejamkan matanya.
Ayi yang masih bosan pun tetap mengganggu Adira. Adira sendiri tetap fokus dalam meditasinya. Ayi yang merasa dihiraukan akhirnya kelelahan dan bermain sendiri dengan ikan-ikan di danau.
Tak lama, Ayi kembali berteriak dan menjambak rambut Adira. Kali ini lebih kencang sehingga Adira terbangun.
"Ayi! Anan nakal!" ucap Adira menggembungkan pipinya dan melipat lengannya di dada.
Tetapi Ayi tetap berteriak sambil menarik-narik lengan Adira, sambil menunjuk ke suatu tempat. Adira yang heran akan tingkah laku Ayi pun segera menengok ke arah yang ditunjuk oleh Ayi.
Ular. Ular yang sangat besar.
"Hus! Hus! Ulal nakal! Pelgi!" ucap Adira mencoba mengusir ular yang menakuti Ayi.
Tanpa ada rasa takut, Adira memukul ular tersebut. Tentu saja ular tersebut menjadi marah. Ular itu mulai menyerang Adira, dan Adira menghindar dengan cepat.
Ayi yang ketakutan melihat Adira melawan ular besar, segera berlari ke gua untuk memanggil Loreng Diajak kabur kenapa malah melawan! batin sang bayi monyet dengan geram.
Melihat Adira yang menghindar, ular itu pun terus-terusan menyerang Adira. Adira sendiri tak mau kalah, dengan cepat, ia melompat ke badan ular itu dan memukulnya lagi.
Tapi apa daya, perbandingan ukuran tubuh mereka sangat jauh. Dengan sekali hentakan, ular besar sepanjang sepuluh meter itu berhasil menjangkau Adira dan melilit tubuh Adira.
Dengan sekuat tenaga, Adira menggigit tubuh ular itu. Ular itu pun kaget dan melepaskan lilitannya dari tubuh Adira.
Bocah mungil itu kini sudah berlumur darah, dan entah sudah berapa banyak darah ular itu yang ikut tertelan saat menggigitnya.
Ular itu kini merasa kesakitan. Ia semakin marah dan mulai mematuk Adira kesana-kemari, mengikuti lompatan Adira.
Meski Adira lincah, tetapi ular itu sangat besar. Sekali hentakan, ular itu bisa bergerak tiga meter jauhnya. Tak elak, ular itu pun berhasil mematuk Adira tepat saat Loreng tiba dengan auman yang kencang, menggema di seluruh penjuru hutan.
Dari bibir hutan, Pertapa Tua mendengar auman kemarahan Loreng. Ia pun melayang secepat kilat menuju ke air terjun.
Saat sampai di sana, ia menemukan Adira yang sudah tergeletak dengan darah berlumuran di seluruh tubuhnya.
Pertapa Tua yang tahu bahwa darah itu adalah darah ular, segera berlari menghantam ular besar itu hingga mati.
Pertapa Tua kembali memeriksa kondisi Adira. Sambil memejamkan mata, ia memeriksa. denyut nadi Adira. Betapa kaget dirinya saat mendapati darah dan racun ular yang ikut mengalir dalam nadinya.
"Hmm.. Mungkin memang jodohmu.." ucap Pertapa Tua sambil melirik ular besar di depannya.
Ular Sakti. Ratu Ular yang hanya muncul saat merasa ada kekuatan yang setara atau melebihi dirinya. Mengikuti insting hewannya, Ratu Ular tersebut pasti ingin memusnahkan kekuatan yang mungkin akan mengancam kekuasaannya suatu hari nanti.
Pertapa Tua kemudian mengeluarkan gunting yang baru didapatnya lalu membelah tubuh ular itu. Dikeluarkannya jantung ular yang masih berdetak itu, kemudian dimasukkannya ke dalam mulut Adira.
Dengan sedikit tenaga dalam, Pertapa Tua mendorong jantung yang masih berlumuran darah dan licin itu segera masuk melewati tenggorokannya. Setelah jantung tersebut tertelan sempurna, Pertapa Tua meminumkan ramuan obat yang selalu ia simpan di dalam jubahnya.
Diletakkannya tubuh Adira tepat di bawah derasnya air terjun, lalu Pertapa Tua duduk di sebelah Adira sambil menunggu reaksi ramuan tersebut bekerja.
"Nas... Anas.." ucap Adira mulai meracau.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...HAI!! Terima kasih buat para pembaca yang sudah mendukung saya agar tetap semangat melanjutkan cerita ini setiap harinya!!...
...Agar saya tetap semangat update, dukung saya terus dengan memberikan LIKE, dan VOTE sebanyak-banyaknya ya!!...
...Jangan lupa tinggalkan bintang lima...
...(⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️)...
...dan klik FAVORIT agar tak ketinggalan episode selanjutnya ya!!...
...Terima kasih.❤...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
User Minor
seru
2023-02-23
0
Alva Arif
anjutkan
2022-05-23
0
Maria Valentine Widyawati
hihihi...mana ada nama suami ngikuti nama istri..pak Romlah...wkwkwk
2022-01-23
0