Mahkota Bunga
"Oek... Oek..."
Suara tangisan bayi menggema menenuhi mobil mercedes benz yang mereka naiki.
Sepasang suami istri yang sedari tadi bersenda gurau menikmati kebahagiaan mereka atas kelahiran putri pertamanya, sedikit panik saat mendengar putri kecilnya menangis dengan kencang.
"Cup cup.. Putri Ibu lapar ya? Atau mau ganti popok?" ucap Andini sambil menimang-nimang bayi dalam gendongannya.
Bima yang duduk di sebelahnya, langsung membantu Andini memeriksa popok putrinya.
"Pak Juki, tolong berhenti sebentar ya, kami mau ganti popok Adira dulu," perintah sang majikan kepada supirnya.
"B-baik T-Tuan..." ucap Juki tergagap.
Setelah mobil ditepikan, Andini pun turun dari mobil dan mengganti popok Adira di luar.
Bima yang menyadari suara supirnya yang bergetar, mulai memandangi wajah supirnya itu. Pucat pasi. Keringat mengucur deras di seluruh wajahnya.
"Pak Juki, ada apa? Bapak sakit? Perlu saya gantikan menyetir?" tanya Bima penuh perhatian.
Juki yang kaget karena majikannya menyadari gelagat anehnya, menjawab dengan spontan,"N-Nggak, Tuan.. Mungkin cuma masuk angin. Malam-malam di hutan begini cukup dingin, Tuan. Saya ijin kecilkan ACnya saja ya, Tuan.." Juki berusaha mengontrol suaranya agar tak terdengar gugup.
"Iya, Pak. Matikan saja nggak papa. Kalau Pak Juki nggak enak badan, bilang ya. Nggak papa saya yang gantikan menyetir," ucap Bima menepuk pundak supirnya yang sudah bertahun-tahun kerja dengannya.
"Sudah, Pa," ucap Andini masuk kembali ke dalam mobil.
Juki pun mulai menginjak gas mobil, dan melajukan mobil dengan perlahan. Tujuan mereka masih jauh, Jakarta. Tapi saat ini, mereka masih berada di Jawa Tengah. Setelah kembali menidurkan Adira, pasangan suami istri itu pun tertidur.
Mobil silver itu masih berjalan dengan perlahan, mengikuti liuk-liuk jalanan aspal satu arah. Beberapa meter di depannya, Juki melihat dua buah plang pertanda bertuliskan 'Alas Sewu' yang mengarah ke kiri, dan 'Tawangmangu Kota' mengarah ke kanan.
Dengan hati berdebar, dan keringat yang mengucur semakin deras, pria paruh baya itu mulai membelokkan setirnya ke kiri. Jalanan aspal yang tadi dilewatinya, kini berubah menjadi tanah bebatuan.
Jalanan yang tidak rata itu sontak membangunkan kedua penumpang dewasa di kursi belakang.
"Loh, Pak? Ini kita di mana?" tanya Bima yang tak bisa melihat sekitar. Tak ada lampu-lampu jalan di kanan kiri mereka. Hanya pepohonan rindang di kanan kiri dengan jalanan tanah berkerikil yang dapat dilihatnya melalui kaca depan mobil.
"Itu, Tuan.. Tadi jalan utamanya ditutup, ada perbaikan jalan. Tadi disuruh lewat sini, Tuan.." ucap Juki berusaha mengeluarkan suara setenang mungkin.
"Oh gitu.. Pak Juki tau daerah sini?" tanya Bima sedikit khawatir.
"Tadi katanya suruh ikutin jalan setapak ini saja," ucap Juki.
"Hati-hati ya, Pak. Jalannya nggak rata," ucap Andini berusaha menjaga putrinya agar tetap terlelap.
Mobil masih melaju perlahan, semakin masuk ke dalam hutan tersebut. Dengan jantung semakin berdegup kencang, Juki menghentikan mobilnya setelah melihat pohon yang diikat kain merah.
"Tuan.." ucap Juki.
"Kenapa, Pak?" tanya Bima khawatir.
"A-anu.. Saya kebelet kencing.. Saya permisi dulu ya," ucap Juki tak bisa menutupi kegugupannya.
"Ya sudah, hati-hati ya, Pak," ucap Bima sedikit heran, dan terus mengamati Juki yang terus berjalan masuk ke dalam hutan.
"Oek.. Oek.."
Tangisan kencang Adira menepiskan kecurigaan Bima. Kini, Bima dan Andini fokus menenangkan putrinya yang mulai kelaparan. Dengan lembut, Andini menyusui putri pertamanya itu. Tangisannya mulai berhenti.
"Ma, terima kasih ya sudah melahirkan putri secantik Adira.." ucap Bima mengecup kening istrinya.
"Maafin Mama ya, Pa.. Mama nggak bisa kasih anak laki-laki seperti harapan keluarga besar Papa.." ucap Andiri sedikit sedih.
"Ma, itu semua kan sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Lagipula keluarga Papa sayang kok dengan kehadiran Adira. Buktinya Papa mah mengadakan syukuran di villanya, kan?" ucap Bima lagi.
"Iya, Pa.. Pa, Kok Pak Juki nggak balik-balik ya?" ucap Andini khawatir.
Tak lama, beberapa orang pria berpakaian hitam mulai mendatangi mobil mereka.
"A.. Apa ini, Pa?" teriak Andini terkejut.
Bima pun sama sekali tak menyangka akan ada penyamun di tengah hutan begini. Dengan ketakutan, ia memeluk istri serta putrinya itu.
"Dorong mobil itu!" ucap salah satu pria.
Beberapa orang pria pun mulai mendorong mobil mereka menuju jurang di sebelahnya.
Bima yang sudah jelas tak bisa mengalahkan belasan pria-pria bersenjata itu, langsung mendorong istri dan anaknya keluar dari mobil, sebelum mobil itu jatuh ke dalam jurang terjal.
"Ma.. Selamatkan Adira.." teriak Bima.
Andini memeluk Adira dengan erat, mereka jatuh berguling entah menuju kemana. Dengan segenap kekuatannya, Andini menjaga Adira agar tidak terluka. Didekapnya kepala mungil Adira dengan telapak tangannya, dan dilindunginya tubuh Amira dengan kedua lengannya. Ia sudah tak peduli dengan darah yang bercucuran di sekujur tubuhnya, asal putrinya selamat.
Dhuarr!!!
Terdengar suara ledakan dari belakangnya. Andini tentu saja tahu, suara ledakan itu tidak lain tidak bukan adalah mobilnya. Dia juga tahu, suaminya masih berada di dalam mobil saat mobil itu jatuh ke dalam jurang.
"Pa ... Maafkan Mama ..." ucapnya lirih sambil menitikkan air mata.
###
"Saya sudah melaksanakan perintahmu! Sekarang kembalikan istri dan anak saya!!" teriak Juki kepada seorang pria yang ditemuinya di balik pohon itu.
"Hahaha, sana. Anak dan istrimu ada di dalam hutan itu. Cepetan, keburu dimakan macan!" ucap pria itu dengan nada mengejek.
Tanpa memikirkan apapun, Juki langsung berlari menuju arah yang ditunjuk oleh pria dengan suara serak tersebut.
"Pak.. Bapak.." terdengar tangisan seorang bocah yang kira-kira berusia dua-tiga tahunan.
"Rendra... Renda... Kamu nggak papa, Nak? Ibumj di mana, Nak..?" tanya Juki dengan cemas. Diperiksanya seluruh tubuh putranya itu. Tak ada luka berat, hanya beberapa goresan ranting-ranting kering dari sekitar hutan.
"Ibu.. Ibu.. Ibu di cana.." ucap Rendra menunjuk dengan jari kecilnya.
Juki mengikuti telunjuk putranya, yang mengarah kepada seorang wanita yang tergeletak di tanah.
Terlihat jelas dari kejauhan, sebilah pisau berkilau memantulkan temaram rembulan mencancap di perut istrinya. Tak ada lagi tenaga yang tersisa di tubuhnya. Juki merangkak menuju raga istrinya yang sudah tak bernyawa. Darah merah pekat menggenang pada pakaian putih yang dikenakannya.
"La-Lastri... Lastri!! Maafkan aku.." jerit Juki memeluk jasad istrinya.
"Bapak..." ucap Rendra berlari menyusul Juki.
Dengan segera, Juki melepas pakaiannya dan menutupi jasad istrinya, agar putranya tak melihat kejadiaan naas yang menimpa istrinya. Diusapnya wajahnta dengan kasar, menghapus air mata yang tersisa di pipinya.
"Pak.. Ibu kenyapa.." tanya Rendra melihat ibunya ditutupi kain.
"Maafkan Bapak, Nak.. Bapak tidak bisa menjaga ibumu.." ucap Juki pelan. "Kita makamkan ibumu ya."
Juki pun langsung mengambil bebebrapa batu di sekitarnya, dan menggunakannya untuk mengais tanah.
Setelah berusaha beberapa jam, akhirnya Juki selesai memakamkan dan mendoakan istrinya.
"Pak, aku lapal.." ucap Rendra dalam gendongan Juki.
"Sabar ya, sebentar lagi kita sampai."
###
"Oek.. Oek.." Adira menangis dengan keras.
Andiri membelai lembut putrinya dengan segenap tenaga yang tersisa. Tubuhnya sendiri sudah tak bisa digerakan. Mungkin beberapa rusuknya sudah patah. Tapi Andini masih memeluk Adira dengan lembut, menjaganya agar tidak terluka.
Di sela-sela pandangannya yang sudah kabur, ia melihat seorang pria tua dengan pakaian serba putih, dengan rambut dan janggut yang juga putih.
Perlahan, pria itu mendekati Andini, memeriksa denyut nadinya. Dengan hembusan nafas berat, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"T-tuan.. Putri sa-ya ... Adira ... To-long selamatkan dia.." ucapnya dengan terputus-putus.
"Baiklah.. Pergilah dengan tenang.." ucap Sang Pria mengambil Adira dari pelukan Andini.
"Terima kasih, Tuan.. Budimu akan saya balas di kesempatan lain.." ucap Andini mulai memejamkan matanya.
Sang Pria yang dikenal dengan sebutan 'Pertapa Tua' oleh warga sekitar, mulai menggali lubang besar, dan memakamkan Andini di sana. Diberinya batu seadanya sebagai nisan wanita yang tak dikenalnya itu.
Setelah memakamkan Andini, Pertapa Tua langsung membawa Adira ke rumah kabinnya di tengah hutan dan menidurkannya di sana.
Merasa pekerjaannya belum selesai, Pertapa Tua kembali menuju ke tepi jurang. Dilihatnya sebuah rongsokan mobil di dalam jurang yang masih mengepulkan asap bekas kecelakaan barusan. Kira-kira tiga ratus meter dalamnya.
Pertapa tua itu mulai melompat dan melayang ke dalam jurang tersebut. Diperiksanya mobil itu, dan didapati jasad seorang pria di kursi penumpang.
Dikeluarkannya jasad pria itu perlahan. dam Pertapa Tua mendapati pria itu sedang menggenggam erat sebuah foto. Foto wanita yang ditemuinya tadi, sedang tersenyum ke arah kamera sambil menggendong bayinya yang baru lahir.
Dibaliknya foto tersebut,
'Adira Angkasa Samudra, 19-03-2003'
Disimpannya foto itu ke dalam jubahnya, lalu Pertapa Tua menggendong jasad Bima menuju tempat Andini disemayamkan.
Digalinya satu buah lubang lagi di sebelah makam Andini, lalu Pertapa Tua menguburkan Bima di dalam sana, bersebelahan dengan makam istrinya.
"Semoga jiwa kalian dipertemukan di nirwana," ucap Pertapa Tua sambil meletakkan nisan di makam Bima.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Hai~...
...Author kembali dengan novel baru...
...Semoga pembaca suka yaa.....
...Terima kasih atas dukungannya selama inii~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
User Minor
keren
2023-01-30
0
Mumud Maryati
aku mampir euy 😍
2022-10-10
0
Alva Arif
up
2022-05-23
0